Kalah ataupun menang sudah biasa di setiap kompetisi. Tapi berbeda lagi kalau kalah di pemilu, tentu kekecewaan dan kerugiannya pasti lebih besar. Pemilu tanggal 14 februari 2024 memang sudah berakhir. Sejauh ini belum ada informasi resmi dari KPU terkait hasil pemilu secara resmi. Tapi sudah beredar hasil real count sementara yang menunjukkan perolehan suara para caleg. Walaupun pemilu sudah berakhir, tapi tetap ada saja masalah yang muncul setelah pemilu selesai.
Masalah yang muncul setelah pemilu tersebut adalah kekalahan para caleg yang memperoleh suara yang rendah. Karena itulah yang menyebabkan kekecewaan pada para caleg. Sehingganya, tidak sedikit caleg yang gagal meluapkan kekecewaannya. Contohnya saja caleg yang berasal dari Jawa Timur, warga dihebohkan dengan penarikan material paving oleh salah satu calon anggota legislatif. Paving blok tersebut ditarik kembali setelah sempat dikirim menggunakan truk untuk pembangunan salah satu sudut jalan Desa Jambewangi. Diduga, paving tersebut diambil kembali karena caleg itu tidak mendapatkan dukungan suara dari masyarakat desa seperti yang dikehendaki.
Seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan saat Pemilu 2024. Selain membongkar jalan, caleg tersebut juga melakukan Aksi teror petasan ini dilakukannya siang dan malam bersama pendukungnya di sejumlah titik yang perolehan suaranya anjlok.
Di Provinsi Gorontalo pun mengalami hal yang sama, Seorang Caleg di Kota Gorontalo meminta uangnya dikembalikan oleh salah satu warga. Caleg tersebut berdalih, warga tersebut harus mengembalikan uangnya sebesar Rp 75 juta. Caleg dari Kota Gorontalo itu merasa kesal karena dalam pemilu 2024 ini, dirinya kalah. Salah seorang warga mengaku dirinya diminta oleh caleg tersebut untuk memberikan uang Rp 75 juta kepada 500 orang.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tombulilato Gorontalo siap menampung calon legislatif (caleg) yang gagal dalam pemilu 2024.
Hal itu diungkapkan langsung Kepala RSUD Tombulilato, Milyadi Maksum. Menurutnya, kegagalan pemilu sangat berpotensi memicu gangguan jiwa.
Kekalahan sejumlah caleg pada Pileg bukan hanya dirasakan oleh para caleg, tapi juga berdampak pada tekanan pada Timses. Di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dua timses mengalami tekanan hebat hingga harus mengambil kembali amplop yang sebelumnya dibagikan kepada warga pada Sabtu sore.
Berbagai kasus yang dialami para caleg dan timsesnya ini menggambarkan lemahnya kondisi mental mereka sehingga hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika ternyata suara yang diperoleh sedikit, mereka merasa tertekan, stres, depresi, bahkan ada yang bunuh diri.
Pemilu dalam Demokrasi
Fenomena “caleg gagal kena mental” makin membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan menyebabkan gangguan mental. Setidaknya ada tiga poin sebab pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengantarkan para kontestannya mengalaminya.
Pertama, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Bukan lagi rahasia jika para kandidat butuh biaya selangit untuk bisa maju. Misalnya, disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar—Rp4,6 miliar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk menjadi capres.
Biaya tersebut digunakan untuk berbagai macam, salah satunya akomodasi ke daerah pemilihan, mulai dari transportasi, penginapan, makan, dan sebagainya. Ada juga biaya kampanye, seperti produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan, dan logistic lainnya. Caleg pun harus membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Ini belum bicara biaya “serangan fajar”. Wajar jika pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari money politik.
Bayangkan, para kandidat harus menguras harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri. Tidak jarang dari mereka yang akhirnya berutang dan mencari sponsor. Alhasil, jika gagal, mereka akan kehilangan harta benda dan harus mengembalikan semua utangnya. Inilah yang menjadikan mereka akhirnya kena mental ketika gagal.
Kedua, mayoritas caleg bertujuan kekuasaan dan materi. Tidak dimungkiri, ada beberapa dari mereka yang tulus Ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Hanya saja, selain jumlah mereka amatlah minim, juga keberadaan mereka akan terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta.
Dikatakan demikian sebab sistem demokrasi—yang asasnya sekuler—hanya akan menghimpun para petarung yang tidak paham agama. Mereka akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi, tidak peduli haram halal, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat. Dari sini saja, kandidat yang Ikhlas akan tersingkir sebab mereka tidak akan mau melakukan kecurangan.
Kehidupan sekuler memang melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Taala. Standar kebahagiaannya hanyalah materi dunia.
Wajar jika jabatan menjadi Impian besar mereka yang dianggap mampu menaikkan harga diri atau prestise. Jabatan pun merupakan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas hidup. Wajar juga jika kandidat sekuler yang lemah imannya, depresi saat kalah, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.
Ketiga, jika menelisik lebih dalam atas segala yang terjadi pada setiap pemilu dalam demokrasi, kita akan mendapati bahwa para pemenang tidak sama sekali menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan yang ditetapkan tidak pernah memihak rakyat. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah ilusi yang tidak pernah terealisasi.
Faktanya, kebijakan yang ditetapkan hanya berputar pada kemaslahatan oligarki. Lihat saja sejumlah UU pro oligarki, ditetapkan di tengah penolakan rakyat banyak. Alhasil, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terjamin dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat.
Oleh karena itu, sejatinya, pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenang adalah mereka yang tunduk pada pengusaha. Bukankah ini pula yang dapat menyebabkan caleg depresi saat mengetahui suaranya bisa dicurangi, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa?
Kekuasaan dalam Islam
Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.
Walhasil, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.
Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang pada sanak saudara dan kolega. Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah Swt. yang ia harus syukuri.
Wallahu A'lam Bisshowab
Post a Comment