Fenomena Caleg Gagal, Potret Buram Penduduk Negeri Ini


Oleh Irmawati


Paska pemilu terdapat berbagai fenomena Caleg yang gagal terpilih dan timses yang kecewa. Mulai menderita stress, bunuh diri, hingga mengambil kembalu pemberian pada masyarakat.


Dilansir dalam tvone News (18/02/2024), dua timses di kab. Cirebon Jawa Barat mengalami tekanan hebat dan mengambil amplop sebelumnya yang diberikan. Selain itu, di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat salah satu caleg melempar rumah tim sukses karena diduga melakukan kecurangan. 


Sementara itu, dua orang timses caleg di Kabupaten Cirebon , salah satu diantaranya mengalami depresi setelah caleg yang digadang-gadangkan justru meraih suara anjlok. Bahkan telah dua kali pemilihan ia gagal mengantarkan calonnya duduk di kursi legislatif tingkat kabupaten. Meski telah berupaya dengan maksimal untuk memenangkan calegnya dengan melakukan sosialisasi hingga membagikan sembako dan uang. 


Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya mental para caleg dan timsesnya yang hanya siap menang, namun tidak siap kalah. Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan, mengingat keuntungan yang akan didapatkan. 


Karena itu, berbagai cara dilakukan untuk menarik simpati masyarakat, mereka rela membeli suara rakyat dengan modal yang besar. Harapannya mendapatkan suara yang banyak. Bahkan mereka rela melakukan apapun mulai dari menjual tanah, mobil, rumah ataupun rela berhutang untuk menyiapkan modal kampanye yang begitu besar.


Di samping itu, menggambarkan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya tinggi dan rentan resiko. Akibat sistem kapitalisme yang berlaku di dalam masyarakat yang memandang jabatan sangat menguntungkan, menggiurkan dan meningkatkan taraf hidup ekonominya. Maka, sangat wajar jika banyak orang yang berambisi menjadi anggota dewan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya. 


Inilah potret rusaknya sistem kehidupan yang berlaku saat ini. Menjadikan individu jauh dari agamanya. Kekeliruan dalam memahami hakikat kebahagiaan yang tolak ukurnya hanya materi semata. Begitu pun dengan masyarakat dalam sistem ini tercipta menjadi materi yang berorientasi pada materi dengan menghalalkan segala cara. 


Dalam sistem ini kekuasaan hanya bisa di dapatkan oleh orang yang  memiliki banyak uang. Sedangkan aturan yang diterapkan dalam pemerintahan yaitu aturan yang berasal dari manusia bukan aturan sang pencipta.


Berbeda halnya dengan sistem Islam. Islam dengan seperangkat aturannya mampu menyelesaikan segala persoalan umat. Termaksuk terkait masalah pemerintahan. Islam memandang pemimpin sebagai amanah yang akan dipertanggung jawabkan. Amanah yang tanggung jawabnya besar yaitu mengurusi urusan umat dalam segala aspek kehidupan. 


Selain itu, Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum syara. Dalam Islam, hukum pemilu mubah, karena pemilu merupakan cara (uslub) untuk mencari pemimpin. Akan tetapi, pemilu akan diselenggarakan dengan mekanisme sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, penuh kejujuran, tanpa tipuan maupun janji-janji.


Para calon akan diikat dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan yakni Islam, laki-laki, baligh, berakal, merdeka dan mampu. Syarat-syarat tersebut harus dimiliki calon pemimpin. Sehingga tak hanya berkepribadian Islam, tetapi menjadi pemimpin semata-mata hanya mengharap  Ridha Allah bukan karena maslahat atau manfaat.


Selain itu, tata cara memilih pemimpin dalam Islam akan dilaksanakan secara mudah dan tidak membutuhkan waktu lama. Karena dalam Islam tidak ada persaingan antara calon-calon pemimpin. Akan tetapi, semua itu hanya bisa dijalankan bila muslim mengambil Islam sebagai way of life dengan penerapan Islam secara keseluruhan dalam bingkai khilafah.


Waahu A'lam Bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post