Oleh. Nanda Nurikhdanisa Humairah
Mantan Wakil Gubernur Jakarta ini menjelaskan bahwa dari 80 ribu lebih desa di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata, yang dimana ketika 6.000 desa wisata tersebut berhasil terwujud maka ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. Desa wisata itu juga nantinya dapat berkontribusi sekitar 4,5 persen terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) secara nasional. (Republika, 18/2/2024)
Melihat wacana tersebut memang sangat menggiurkan bukan? Terbukanya 4,4 juta lapangan kerja juga menambah PDB sebesar 4,5%. Tapi jangan senang dulu. Mari kita telisik berawal dari pengertian desa wisata.
Desa wisata secara makna ialah kawasan pedesaan yang menawarkan suasana asli desa, baik segi ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, hingga arsitektur bangunan. Seperti pernyataan Menparekraf bahwa desa wisata dapat membuka lowongan pekerjaan sehingga mengurangi pengangguran di negeri ini.
Selain itu juga dapat menghambat proses urbanisasi, mengingat banyak masyarakat desa yang pindah ke kota untuk mengadu nasib agar kehidupan yang diinginkan bisa terwujud.
Padahal realitasnya, negeri ini kaya akan SDA mulai dari tambang hingga batu bara. Untuk Freeport saja di 2024, dimana Indonesia mempunyai saham 51%, negara sudah mendapatkan 4.016 M dolar. (Muslimahnews, 22/2/ 2024)
Pendapatan ini saja dirasa sangat cukup untuk mendongkrak ekonomi rakyat, Apalagi jika seluruh pendapatan Freeport itu menjadi milik kita, hasilnya pasti dua kali lipat.
Masalahnya SDA yang ada di Indonesia banyak dikeruk oleh asing dan aseng. Mereka dengan bebasnya membawa hasil SDA kita atas persetujuan kongkalikong para penjabat dan penguasa hingga rakyat dapat ampas saja.
Maka, sangat aneh rasanya. Ingin membangun 6000 desa wisata, namun membiarkan para asing aseng itu terus menggerogoti SDA di negeri ini.
Tidak dimungkiri memang, desa wisata bisa membuka lapangan kerja namun permasalahannya yang namanya wisata pasti ada pasang surutnya pengunjung sehingga hal ini tak dapat menjadi tolok ukur masyarakat akan sejahtera.
Alih-alih desa wisata sampai ke kancah internasional yang ada malah menjadi desa ditinggal oleh penduduk sekitar akhirnya menjadi tempat wisata yang tak lagi ditoleh.
Miris sekali, negara kita. Apalagi pemerintah lepas tangan terhadap kebijakan yang diterapkan di desa wisata. Slogannya asal cuan, bebas aturan. Sehingga hal ini dapat menjadi rawannya tempat maksiat, sehingga bukannya meraih berkah malah meraih murka karena tempat wisata dijadikan ajang maksiat contohnya saja tempat nongkrongnya muda-mudi (pacaran).
Tak lupa pula, masyarakat saat ini terpengaruh dengan gaya materialistik yang berasal dari kapitalisme, apapun programnya asal ada untung pasti dijalankan entah itu halal atau haram.
Sekularisme yang menggerogoti tiap negara dengan menjunjung tinggi, kata-kata,"Nggak usah bawa-bawa agama" menjadikan negara memisahkan agama dari kehidupan sehingga menganggap aturan yang dibuat manusia akan sesuai kepentingan yang hasilnya pasti akan menimbulkan kekacauan.
Dalam Islam hal kecil saja diatur apalagi hal besar seperti mengurus negara. Sehingga Islam sering disebut syumuliyatul Islam berarti kesempurnaan Islam, yang mencakup semuanya secara menyeluruh.
Islam tidak akan membiarkan manusia membuat aturan sendiri. Allah tahu bahwa manusia itu lemah, terbatas, dan serba kekurangan. Maka dari itu disamping Allah menciptakan makhluk maka ia juga menurunkan seperangkat aturan agar manusia berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Islam pun sudah punya aturan yang lengkap melalui sistem pemerintahan Islam. Institusi ini akan mengelola keuangan baitul maal yang kemudian dibagi rata.
Orang-orang yang masuk kedalam delapan golongan berhak menerima zakat akan dijamin kehidupannya, sampai mereka bisa mampu bekerja atau keluar dari delapan golongan (asnaf) penerima zakat.
Di bidang industri pun negara akan membangun industri-industri yang mendukung departemen peperangan atau padat karya lainnya. Negara juga akan memberikan tanah yang tidak ada milik ke masyarakat yang mau mengelola tanah itu entah menanam padi atau lainnya, yang nantinya modal dan segala kebutuhannya akan dibiayai oleh pemerintah tentunya tanpa bunga atau riba.
Sistem pemerintahan Islam bukan hanya memperhatikan masalah kesejahteraan saja, tapi dari segi pemahaman akan ditanamkan akidah islam yang kokoh sehingga terbentuk masyarakat berkepribadian Islam.
Jadi, masyarakat desa maupun kota tidak perlu membangun desa wisata hanya demi meraup untung. Kalau memang nanti ada, tempat wisata itu hanya dipakai sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan dari sang khalik.
Wallahu a'lam bishawwab.
Post a Comment