Oleh Lafifah
Aktivis
Muslimah
Suka
cita menyambut hari raya seringkali dilakukan masyarakat dengan berbagai
persiapan dari menyiapkan baju lebaran, menu lebaran, oleh-oleh untuk keluarga,
bahkan untuk ongkos mudik.
Maka
tidak sedikit Tunjangan Hari Raya (THR) selalu dinanti-nanti oleh rakyat, baik
pegawai negara maupun swasta. Betapa tidak, selama ini rakyat hanya mendapatkan
gaji rutin setiap bulan, sedangkan ketika Ramadan, mereka biasanya mendapatkan
THR sebesar satu kali gaji. Alhasil, pada bulan itu rakyat mendapatkan dua kali
gaji.
Sayangnya,
tidak semua rakyat bisa mencicipi “kesejahteraan” ini, meski ia pegawai negara.
Pemerintah sudah memastikan bahwa perangkat desa dan honorer tidak akan
mendapatkan THR dan gaji ke-13 pada tahun ini.
Menteri
Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa perangkat desa, termasuk kepala
desa, bukan termasuk aparatur sipil negara (ASN) sehingga pemerintah tidak
menganggarkan THR untuk mereka. (Dikutip media online Antara, 15/3/2024)
Kita
bisa membayangkan nasib para tenaga honorer. Selama ini mereka mendapatkan gaji
yang kecil, di bawah gaji ASN. Tentu ada harapan agar pada momen lebaran ada
THR untuk melengkapi kebahagiaan hari raya. Namun, harapan itu musnah seiring
pengumuman pemerintah.
Ketika
perangkat desa dan tenaga honorer tidak mendapatkan THR, bagaimana mereka bisa
memenuhi kebutuhannya? Apakah mereka tidak berhak menikmati lebaran dengan
sukacita?
Duka
tenaga honorer dan perangkat desa karena tidak mendapat THR ini merupakan
keniscayaan dalam sistem kapitalis yang Indonesia terapkan hari ini. Sistem
kapitalis telah menjadikan kekayaan alam dikuasai oleh segelintir oligarki
kapitalis. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang semestinya masuk ke APBN dan
digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru masuk ke kantong para oligarki
kapitalis.
Hasilnya,
pundi uang para oligarki makin gendut, sedangkan APBN kurus sehingga hanya
mengandalkan pada pemasukan dari pajak dan utang. Selain itu, sumber pemasukan
negara di dalam sistem kapitalis sangat terbatas, yang utama hanyalah pajak.
Sedangkan sumber lain tidak ada. Akibatnya, anggaran menjadi sempit.
Anggaran
negara yang cekak ini menjadikan pemerintah itung-itungan ketika hendak
memberikan hak rakyat, termasuk THR. Seharusnya semua pegawai, apa pun
statusnya, berhak mendapatkan THR. Akan tetapi, realisasinya tidak demikian.
Para pejabat yang sudah kaya mendapatkan THR besar, sedangkan tenaga honorer
yang kekurangan justru tidak mendapatkannya.
Kondisinya
berbeda dengan sistem Islam. Baitulmal dalam Daulah Khilafah memiliki 12 pos
penerimaan tetap. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi
Daulah al-Khilafah bahwa terdapat tiga bagian pemasukan negara.
Pertama,
bagian fai dan kharaj, meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, fai, dan
khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi
dharibah (pajak).
Kedua,
bagian pemilikan umum. Meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan;
seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan
seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Ketiga,
bagian sedekah. Meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat
pertanian, dan seksi zakat ternak.
Dengan
demikian, total ada 15 seksi pemasukan bagi Baitulmal. Dengan banyaknya pos
pemasukan ini, wajar pemasukan Daulah Khilafah sangat besar hingga mampu
menyejahterakan rakyatnya dengan kesejahteraan hakiki, yaitu terpenuhinya
sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi tiap-tiap
individu rakyat secara kontinue, bukan hanya pada momen-momen tertentu seperti
Hari Raya.
Negara
Khilafah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ini bagi tiap-tiap rakyat, bukan
hanya pegawai negara. Setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim,
pegawai negara maupun bukan, semuanya berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan.
Adapun
terkait pegawai negara, khilafah akan menerapkan syariat Islam terkait
pengupahan (ijarah). Allah Swt. berfirman, “Berikanlah kepada mereka upahnya.”
(QS Ath-Thalaq: 6)
Para
pegawai mendapatkan gaji sesuai dengan akad yang mereka buat dengan negara.
Akad itu mencakup jenis pekerjaan, jam kerja, tempat kerja, juga upah yang
disepakati kedua belah pihak yang besarannya berbeda-beda sesuai besarnya
tanggung jawab yang diemban.
Wallahualam
bissawab
Post a Comment