Cuti Ayah, Mampukah Mencetak Generasi Berkualitas?


Oleh Ummu Kholda

Pegiat Literasi



Setiap negara pastinya ingin mempunyai generasi yang kuat dan berkualitas. Namun saat ini, justru yang terjadi sebaliknya. Generasi yang ada kondisinya begitu rapuh, mudah terbawa arus kehidupan yang bebas, tidak mau terikat dengan aturan. Akibatnya, dalam menjalani kehidupannya di masyarakat tumbuh menjadi SDM yang lemah dan kurang berkualitas. 


Kondisi yang demikian dinilai pemerintah akibat kurangnya perhatian seorang ayah mendampingi keluarga  dikarenakan kesibukannya dalam bekerja sehari-hari. Oleh karena itu pemerintah berupaya agar peran ayah lebih ditingkatkan dalam membantu istri di rumah terutama ketika istri melahirkan. Untuk itu pemerintah berupaya merancang aturan, terutama bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) pria agar bisa ikut mendapatkan cuti. 


Pemberian cuti bagi ayah ini dimaksudkan agar para ayah bisa memaksimalkan perannya ketika mendampingi istri melahirkan atau saat mengasuh bayinya. Demikian pula bagi mereka yang istrinya mengalami keguguran. Hal itu nantinya akan termuat di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai manajemen ASN. Dan saat ini RPP tersebut masih digodok bersama di Komisi II DPR. (Idntimes.com, 24/3/2024) 


Sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (PAN)/RB Abdullah Azwar Anas, menyatakan bahwa cuti yang sudah diatur adalah cuti bagi ASN perempuan yang melahirkan, akan tetapi cuti bagi ASN pria belum diatur secara khusus. Maka dari itu, cuti untuk mendampingi istri melahirkan akan menjadi hak ASN pria yang diatur dan dijamin oleh negara. Ia juga menambahkan, hak 'cuti ayah' sudah jamak dilakukan di sejumlah perusahaan multinasional dan sudah diterapkan di beberapa negara dengan waktu lama cuti yang bervariasi. Mulai dari 15 hari, 30 hari, 40 hari, hingga 60 hari. Namun untuk lama cuti ASN di Indonesia masih dibahas di parlemen. 


Dengan adanya 'cuti ayah' pemerintah berharap seseorang seorang ayah mempunyai waktu lebih untuk mendampingi istri maupun tumbuh kembang anaknya, serta mendorong peningkatan generasi dan SDM yang berkualitas sejak dini. Mungkinkah program ini akan terwujud? Karena sejatinya persoalan generasi dan upaya mewujudkan generasi berkualitas bukan tugas individu ayah saja melainkan negara dengan aturannya yang bersifat sistemik.


Kapitalisme Pangkal Masalah  Hilangnya Peran Ayah


Peran ayah sangat dibutuhkan bagi seorang anak. Namun tidak sedikit generasi yang saat ini kehilangan figur dan sosok pelindung. Yakni seorang ayah yang menjaga dan mendidiknya hingga ia tumbuh menjadi generasi yang tangguh lagi berkualitas. Para ayah disibukkan untuk bekerja, sehingga waktu untuk berkumpul dengan keluarga sangatlah minim. Belum lagi faktor kemiskinan yang membuat para ayah belum mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Jangankan untuk memberikan pendidikan yang terbaik, untuk makan sehari-hari pun sulit. Ditambah lagi hilangnya fungsi negara sebagai pengurus rakyat menyebabkan persoalan individu dan kelurga seperti kesejahteraan dan rasa aman tidak menjadi prioritas. Negara hanya mampu membuat aturan tanpa memperhatikan dampak dan kemaslahatannya bagi publik terutama nasib generasi di masa depan.


Tersebab itulah, kebijakan 'cuti ayah' sejatinya tidak akan menjadi solusi selama sistem yang diterapkan masih sama. Bahkan tidak akan berefek secara komprehensif. Karena jika ayah cuti, otomatis harus ada orang yang menggantikan pekerjaannya selama ia cuti. Belum lagi masalah gajinya. Untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat saja pemerintah masih belum mampu, bagaimana bisa pemerintah memberikan cuti begitu saja kepada ASN pria. Sementara biaya selama mereka cuti tidak ada yang menanggung. 


Jika kita cermati, sejatinya kualitas generasi dipengaruhi oleh banyak faktor yang mengiringi perjalanan hidup seorang anak. Oleh karenanya, pembentukan generasi yang berkualitas membutuhkan support system  yang berkualitas, termasuk ayah yang berkualitas. Mirisnya saat ini para ayah juga menjadi korban sistem yang diterapkan sehingga belum bisa menjadi ayah yang berkualitas. Karena faktor kemiskinan dan sulitnya lapangan pekerjaan tidak sedikit para ayah yang terjerat pinjaman online (pinjol) demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, membayar anak sekolah hingga untuk pengobatan yang tidak murah. 


Kebijakan 'cuti ayah' memang tidak sepenuhnya keliru, karena tak dimungkiri memang dibutuhkan. Namun, persoalannya tidaklah sesederhana itu. Dikeluarkannya kebijakan tersebut nyatanya belum menyentuh akar persoalan yang mendasar. Karena menurunnya kualitas generasi sangat dipengaruhi oleh sistem yang menopang kehidupan saat ini. Yakni kapitalisme sekuler.


Kapitalisme yang berasaskan manfaat, telah membentuk generasi yang hanya mengejar manfaat dunia, di mana ada keuntungan maka hal itu akan dilakukan. Sementara sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, mendorong para generasi mengabaikan aturan agama sebagai standar berpikirnya. Alhasil, perilaku mereka jauh dari norma agama. 


Jelaslah lahirnya kebijakan 'cuti ayah' yang dikeluarkan penguasa saat ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan generasi. Penyelesaian semacam ini hanya bersifat sementara, selama seorang istri melahirkan atau keguguran sehingga mendapat dukungan dari suami. Karena justru sistem sekuler kapitalistiklah yang selama ini telah menggerus peran para ayah atas landasan produktivitas ekonomi semata. Tidak sedikit anak yang hanya dibesarkan secara fisik besar badannya, akan tetapi tidak dengan jiwanya, sehingga mudah disusupi ide-ide sekuler yang merusak. 


Dalam sistem kapitalis ini nyaris semua tanggung jawab diserahkan kepada individu, negara seolah berlepas tangan. Pemenuhan kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, juga kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan juga keamanan bertumpu pada keluarga secara mandiri. Hal ini pun kerap mendorong perempuan untuk terjun ke publik dan mengabaikan peran domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga demi membantu ekonomi keluarga. 


Sistem Islam Mengembalikan Peran Ayah 


Islam sebagai agama sekaligus pandangan hidup memiliki cara tersendiri dalam menuntaskan berbagai permasalahan termasuk masalah generasi. Dalam Islam, generasi yang berkualitas bukan hanya tanggung jawab keluarga yakni orang tua, tapi dibutuhkan support system dari negara dengan segala kebijakannya. 


Keluarga merupakan institusi terkecil yang dari sinilah awal mula pembentukan generasi. Masing-masing anggota keluarga mempunyai fungsi yang saling mendukung satu dengan lainnya. 


Islam memosisikan seorang ayah sebagai kepala/pemimpin dan penanggung jawab keluarga. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 34, yang artinya:"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum wanita, oleh karena Allah Swt. telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. 


Kepala keluarga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Hal ini tentu harus ada dukungan dari negara yakni tersedianya lapangan kerja. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya agar para ayah mampu menafkahi secara layak. Dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga maka seorang ayah dapat memaksimalkan perannya dalam melindungi  dan mendidik anak-anaknya, hingga menjadi sosok ayah yang diidamkan dan mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi yang berkualitas. 


Sejarah mencatat, dari keluarga yang kokohlah lahir tokoh-tokoh besar seperti Abdullah bin Umar ra, Abdullah bin Zubair ra, Usamah bin Zaid, hingga generasi Shalahuddin al-Ayyubi dan Muhammad al-Fatih. Mereka terbentuk tidak hanya dari ibu yang hebat tetapi juga peran ayah yang tak kalah hebatnya. 


Selain itu, peran masyarakat juga sangat diperlukan dalam rangka aktivitas amar makruf nahi mungkar. Dengan adanya dakwah maka masyarakat akan tercegah dari tindakan yang melanggar aturan. 


Peran negara juga tak kalah pentingnya. Negara sebagai pengurus umat (raa'in) akan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Sabda Nabi saw. yang artinya:" Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Muslim) 


Tak hanya itu, negara juga sangat menjaga akidah umat. Terutama menjaga dari pemikiran-pemikiran kufur yang dapat meracuni dan merusak otak para generasi. Yakni dengan memberikan pendidikan yang berbasis akidah Islam, sehingga lahirlah para generasi cerdas taat syariat yang tidak hanya secara akademis namun juga berkepribadian Islam. Yang berpola pikir dan pola sikap Islam. 


Dengan begitu, mereka akan menjadi pribadi yang berperilaku Islam dan berakhlak mulia. Tidak mudah rapuh, dan tergiur kesenangan duniawi yang bersifat sementara, akan terapi generasi yang kuat dan berkualitas. Semua fungsi itu akan berjalan jika negara tidak lagi mengadopsi sistem batil kapitalisme sekuler. Karena hanya dengan penerapan Islam secara kaffah semuanya akan terwujud secara sempurna, termasuk terwujudnya generasi yang berkualitas. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post