Caleg Gagal, Tarik Bantuan Amal


 Oleh : Yanna Ash-Shoffiyah 

(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)


Fenomena caleg gagal di beberapa daerah yang dialami oleh sejumlah calon terpilih dan timsesnya tengah mengalami kekecewaan berat pasca Pemilu. Hal ini terbaca di beberapa wilayah di negeri ini. 


Warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur dihebohkan dengan penarikan material paving oleh salah satu calon anggota legislatif (caleg). Paving blok tersebut ditarik kembali setelah sempat dikirim menggunakan truk untuk pembangunan salah satu sudut jalan Desa Jambewangi. (KOMPAS.Com 17 Februari 2024).


Hal serupa juga terjadi di Subang, seorang calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan saat Pemilu 2024. Selain membongkar jalan, caleg yang diketahui bernama Ahmad Rizal itu menyalakan petasan di menara masjid di Tegalkoneng, Desa Tambakjati, Kecamatan Patokbeusi, Subang. Akibat dari aksi teror petasan yang dilakukan siang dan malam tersebut, seorang warga berusia 60 tahun meninggal dunia karena serangan jantung. (Okenews, 25 Februari 2024).


Berlomba Meraih Kursi Panas 

Sesungguhnya, fenomena kegagalan caleg menduduki kursi panas hingga berujung pada stress, depresi dan gangguan-gangguan jiwa dipicu oleh beberapa faktor:


Pertama, adanya pemahaman yang ada dalam benak para calon legislatif hari ini bahwa jabatan pasti akan mendatangkan keuntungan. Semakin seseorang punya jabatan, maka semakin banyak keuntungan yang hendak diraupnya. Karena dia faham betul dengan jabatan tersebut, dia akan dapat membuka pintu-pintu bisnis yang akan membuatnya mudah untuk mendapatkan pundi-pundi kekayaan. Sehingga para calon legislatif tidak akan sungkan untuk “membeli suara rakyat” dengan harga yang sesungguhnya jauh lebih murah daripada keuntungan yang nantinya akan diperoleh jika menduduki kursi pejabat.


Untuk itulah, sangat jelas dikatakan bahwa pasta demokrasi adalah pesta yang berbiaya sangat tinggi. Menurut LPM FE UI, modal menjadi caleg cukup variatif. Modal caleg untuk menjadi anggota DPR RI paling besar dibandingkan menjadi caleg DPRD atau DPRD kabupaten/kota. Berikut rinciannya: Calon anggota DPR RI: Rp 1,15 miliar - Rp 4,6 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 250 juta - Rp 500 juta.


Sementara Prajna Research Indonesia juga pernah melakukan penelitian soal modal menjadi caleg. Berikut rinciannya: Calon anggota DPR RI: Rp 1 miliar - Rp 2 miliar. Calon anggota DPRD Provinsi: Rp 500 juta - Rp 1 miliar. Calon anggota DPRD kabupaten/kota: Rp 250 juta - Rp 300 juta.


Dana-dana tersebut dialokasikan untuk biaya akomodasi ke daerah-daerah pemilihan minimal sebulan 2 kali, diantaranya untuk biaya transportasi, makan, penginapan dan sebagaimya. Selain itu untuk biaya tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa hingga biaya saksi dan tentu saja akan ada biaya tambahan lainnya yang kemungkinan akan membengkak biayanya dari perencanaan. (CNBC Indonesia, 28/08/23)


Kedua, lemahnya kondisi mental individu para caleg. Dari awal pencalonan, caleg telah menghabiskan dana yang sangat besar dengan harapan keuntungan yang lebih besar pula. Namun gagalnya memperoleh suara pemilu membuat para caleg "tidak terima" dan kecewa terhadap masyarakat yang sudah mereka suap yang berjanji akan memberikan suara mereka, namun nyatanya tidak terbukti. Tidak mengherankan jika tidak ada rasa “ksatria” sama sekali yang tumbuh dari individu caleg. Mereka tidak bisa menerima secara ikhlas apa yang menjadi qodho’ atas dirinya. 


Kekalahan dalam Pemilu harusnya tidak membuat para caleg mengambil kembali apa yang telah diberikan atau marah, karena hal tersebut menunjukkan lemahnya kepemimpinan dari personal calon legislatif. Orang yang kuat kepemimpinannya akan ikhlas menerima apapun yang telah diqodho'kan kepadanya oleh Allah SWT, dia akan berharap pemberian yang pernah diberikan kepada warga dia niatkan karena Allah dengan harapan supaya bermanfaat untuk ummat. Namun sayangnya karakter yang kuat kepemimpinannya akan sangat sulit ditemui di sistem demokrasi yang mahal dan serba menuntut keuntungan ini.


Islam Solusi Solutif

Islam memandang bahwa jabatan adalah sebuah amanah. Dimana apabila seseorang diberikan amanah, maka orang tersebut wajib memenuhi amanahnya. Tidak mengkhianatinya. Sangat berat azab di sisi Allah ketika seseorang diberi amanah kemudian dia tidak menjalankan amanah tersebut terlebih jika orang tersebut mengkhiantainya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. Al-Anfal ayat 27, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. 


Maka atas dasar nash tersebut, seseorang yang menjalankan atau diberikan amanah hendaknya memahami betul bahwa hal itu adalah perintah Allah, dan hendaknya takut kepada Allah, seseorang yang diberikan amanah kemudian dia tidak melaksanakannya atau malah mengkhianatinya akan menemui azab yang pedih di sisi Allah.


Di dalam Islam, jabatan legislatif (pembuat hukum) adalah mutlak disandarkan kepada Asy Syari', yakni Allah SWT. Maka, hukum dalam Islam tidak boleh dimusyawarahkan di meja legislatif, apalagi sudah ada kejelasan hukumnya baik haram maupun halal. Tidak layak melegalisasi minuman keras (khamr) yang sudah jelas keharamannya, begitu juga keharaman terkait kebijakan privatisasi harta milik umat yang dijual ke pihak swasta, serta kebijakan-kebijakan lainnya.


Seseorang yang diberi amanah untuk mengemban amanah rakyat haruslah orang yang mempunyai kepribadian Islam yang kuat dengan visi dan misi menegakkan syariat Islam di muka bumi. Pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang mempunyai pola pikir dengan menjadikan aqidah Islam sebagai standart dalam kehidupannya kemudian dia akan melaksanakan setiap hukum Syara' di setiap aktivitas kehidupannya.


Bagaimana mungkin seseorang yang berkepribadian Islam ketika menyumbangkan dan memberikan bantuan akan diambil kembali karena apa yang menjadi tujuannya tidak tercapai. Bagaimana mungkin seseorang yang berkepribadian Islam akan melakukan suap supaya dipilih menjadi wakil rakyat. Bagaiamana mungkin seseorang yang berkepribadian Islam akan “mengobral janji” lantas tidak menunaikan janjinya.


Sistem Islam juga mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Sehingga kita akan senantiasa menjaga jabatan atau kekuasaan sesuai dengan syariatNya. Wallahu’lam bi shawab.



Post a Comment

Previous Post Next Post