Oleh Siti Aisah, S.Pd
(Pendidikan Kabupaten Subang)
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan menjadi persoalan penting. Bullying atau kekerasan dalam pergaulan antar anak-anak tidak bisa disebut hanya bercanda diantara mereka. Apalagi jika ‘bercanda’ ini sudah ke dalam pelecehan atau melukai mental bahkan fisik anak.
Dilansir dari situs Liputan6.com (3/3/2024) Penyidik Polresta Barelang, Kepulauan Riau menangkap empat orang wanita terduga pelaku tindakan perundungan atau bullying dengan kekerasan terhadap anak di Batam. Laporan tersebut tentang adanya dua korban yang mengalami penganiayaan berinisial SR, 17 tahun dan EF, 14 tahun. Menurut keterangan korban dan pelaku, mereka ternyata kerap terlibat saling menjelek-jelekan. Motif pelaku melakukan aksi perundungan adalah karena kesal dan sakit hati dengan korban. Artinya pelapor dan pelaku ini saling membully-lah. Korban pun sering menjelek-jelekan pelaku, dan menuduh korban mencuri barang pelaku yang kemudian pelaku tidak terima.
Atas hal tersebut, pihak kepolisian menjerat dengan dua pasal yang berbeda, mengingat tiga dari empat pelaku merupakan anak di bawah umur, dan satu pelaku lainnya sudah dinyatakan dewasa. Berdasarkan hal ini Pelaku dapat dijerat dengan Pasal 80 (1) jo. Pasal 76 c UU 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72 juta, dan juga dijerat dengan Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan secara bersama-sama dengan ancaman penjara 7 tahun.
Sayangnya, meski sudah terjadi berulang kali tapi seperti tak ada solusi tuntas. Orang tua, sekolah, lingkungan apalagi negara seperti abai. Hal ini terlihat dari semakin tingginya kasus kekerasan pada anak dengan pelaku anak. Padahal dampak dari bullying ini dapat berkepanjangan. Apalagi bila dilakukan secara sistematis misal oleh kelompok/gang. Bullying bukan saja melukai materi atau fisik anak, tapi mental korban. Hingga tidak sedikit dari orang tua yang juga tidak peka dengan tindak bullying yang menimpa anak-anak mereka. Sehingga terlambat menyadari bahwa anak mereka telah menjadi korban bullying.
Ucapan anak-anak yang kerap tak pantas dan dimaklumi sebagai bercanda pun kerap menjadi biasa. Namun, hal ini setidaknya menjadi pemicu tindakan bullying anak secara mental. Emosi yang meledak-ledak dan pemicu yang awal dari saling ejekan ini pun bisa berujung pada jeruji besi dan ranjang rumah sakit.
Untuk itu ada beberapa hal yang wajib diketahui orang tua tentang bullying yang kerap hadir ditengah pergaulan anak-anak. Jika berbicara tentang tempat terjadinya bullying. Maka hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada tempat yang benar-benar aman untuk anak. Namun hal ini bukan bermaksud untuk menjadikan orang tua paranoid, akan tetapi ini ditujukan agar orang tua selalu aware. Peka dan waspada. Karena banyak orang tua tidak percaya ketika anaknya menjadi korban bahkan pelaku bullying. Sehingga tidak mau melakukan tindakan penyelamatan dan menuntut pihak sekolah agar lebih perhatian lagi pada siswa-siswa mereka.
Selanjutnya Bullying pun kerap terjadi dengan orang terdekat. Bisa teman atau bahkan juga bisa terjadi terhadap saudara kandung. Harap percaya bahwa kakak bisa tega mem-bully adiknya sendiri. Merebut makanan dan mainan, mengintimidasi, bahkan hingga memukuli saudara kandung mereka sendiri. Tidak sedikit orang tua yang melihat hal ini sebagai kenakalan biasa, padahal bila terjadi secara simultan/terus menerus, ini sudah merupakan tindak bully yang harus segera ditangani. Lalu seperti kasus bully yang lain, kejadian yang menimpa saudara kandung juga bisa menciptakan lingkaran bully antar saudara atau kepada teman.
Disisi lain, para pelaku dan korban bully umumnya biasa berbohong. Korban bully enggan berbicara terus terang apa yang terjadi. Hal ini bisa jadi karena takut. Apalagi bila pelaku berjumlah banyak. Maka ia mengambil cara berbohong sebagai self defense. Jika terjadi disekolah korban akan berpura-pura sakit agar tidak bersekolah. Atau meminta uang jajan tambahan karena ia acap dimintai uang oleh pelaku. Pelaku juga lihai berbohong untuk menutupi tindakan bully-nya. Sehingga memang tidak mudah membongkar kasus bully, utamanya bila dilakukan secara sistematis. Oleh karena kejadian ini harus dicermati dengan seksama, diselesaikan dengan tuntas, dan dipotong hingga ke akar-akarnya.
Perlu diperhatikan bahwa korban bullying ini sangat membutuhkan support dari orang tua. Sehingga sempatkanlah waktu untuk berbicara dengan anak dari hati ke hati. Ajak dia untuk bercerita tentang kejadian sehari-hari. Saat ia berbicara jangan diinterupsi apalagi disalahkan. Banyak korban bully enggan bercerita kepada orang tua karena mereka merasa tidak nyaman dengan sikap orang tua mereka sendiri. Orang tua yang sibuk sulit untuk mendengarkan dan mendeteksi anaknya menjadi korban. Maka jadilah orang tua yang selalu memberi perhatian penuh kepada anak, sesibuk apapun. Utamanya para ibu, hendaklah benar-benar menjalankan peran sebagai ummun wa rubbatu bayt, ibu dan pengatur rumah tangga. Karena ibu biasanya memiliki ketrampilan emosional untuk mendekati putra-putri mereka. Bila tidak, hal ini bisa menjadi persoalan besar bagi perkembangan kepribadian anak.
Maraknya kasus bully ini tidak lain akibat dari dampak buruknya sistem pendidikan, lingkungan dan lemahnya pendidikan orang tua. Ini adalah buah dari sekulerisme yang mencabut prinsip-prinsip agama dari kehidupan masyarakat, termasuk anak-anak. Bahkan sekolah Islam dan pesantren yang mengajarkan banyak pelajaran agama ikut terpengaruh, karena menjadikan agama sebagai pengetahuan bukan sebagai pedoman hidup. Dalam sekulerisme lahirlah kebebasan kepribadian yang dalam pergaulan berlaku prinsip survival of the fittest, atau hukum rimba. Siapa kuat dia menang. Terbukti di negara-negara yang menganut sekulerisme tindak bullying subur terjadi.
Penyelesaian kasus ini pun tak pernah tuntas. Korban maupun pelaku diminta berdamai, tanpa pemberian efek jera kepada pelaku dengan alasan masih di bawah umur. Padahal Islam pun mengijinkan pemberian sanksi yang bersifat mendidik bagi anak-anak, seperti pukulan pada anak yang tidak mau mengerjakan shalat saat berumur 10 tahun, ataupun sanksi lain dalam rangka menegakkan kedisiplinan yang mendidik, bukan menyakiti.
Karenanya bullying baru akan bisa diselesaikan dengan menghilangkan prinsip-prinsip hidup sekulerisme, lalu menjadikan Islam sebagai landasan kehidupan. Kemudian menjadikan Islam sebagai aturan, pemikiran dan perasaan yang mengikat semua anggota masyarakat.
Wallahu’alam bish-shawwab.
Post a Comment