Aroma 'Uang Sup' Mengundang Para Tikus di Negeri Gorong-Gorong


Oleh: Kurnia Dewi


'Uang Sup' dalam bahasa Turkiye memiliki arti korupsi. Korupsi dan segala peranakannya, seperti  political financing, vote-buying dan money politic amat mudah ditemui bahkan dianggap lumrah  di negeri-negeri yang memuja kapitalisme sebagai ideologi mereka. Korupsi bisa dilakukan oleh penguasa, militer (the big fishes) dan elite politik yang mampu menimbulkan efek destruktif besar (grand corruption), serta bisa juga hanya dilakukan oleh individu maupun petugas di birokrasi pemerintahan dalam skala kecil (petty corruption) seperti penyalahgunaan dana bansos dan suap administrasi atau layanan publik. Budaya korupsi ini berkembang secara sporadis di ekosistem yang mendukung perkembangbiakannya, yaitu di negeri berideologi kapitalisme. Mengapa?


Pertama, kapitalisme mengembangkan pendidikan minim integritas. Mereka hanya berfokus pada bagaimana seseorang yang lulus sekolah mampu bekerja/memperoleh pekerjaan. Fokus pada perolehan materi sebagaimana standar kebahagiaan dari kapitalisme adalah materi/harta/kekayaan. Rakyat tidak dididik dan dituntut untuk berbuat serta beraktivitas sebagaimana satu-satunya tuntunan manual book manusia yang shahih, yaitu al-Qur'an. Jika individu dan negara berpegang teguh pada al-Qur'an, niscaya mereka akan selalu merasa takut dan enggan untuk melakukan tindakan hina seperti korupsi.  Sebagaimana firman Allah Swt.,


"Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. al-Baqarah: 188)


Rasulullah saw bersabda,


“Allah melaknat orang yang memberi suap, menerima suap, sekaligus perantara suap yang menjadi penghubung antara keduanya.”


Kedua, kapitalisme adalah ideologi yang bathil. Mengacu pada alasan pertama, akan muncul pertanyaan "jika kapitalisme menggunakan al-Qur'an, apakah kapitalisme akan musnah?" Jawabannya adalah tidak. Karena selamanya al-Qur'an dan kapitalisme tidak akan berada dalam satu jalur. Akidah dari kapitalisme adalah fashlu diin anil hayat (pemisahan agama dari kehidupan). Mereka menganggap agama diperuntukkan hanya mengurus individu dengan Tuhannya (ibadah mahdhah/ritual) saja. Bukan untuk mengatur aktivitas individu apalagi negara. Yang mampu dilakukan kapitalisme hanyalah kompromi jalan tengah/moderasi, yang mana ini berbahaya untuk menghancurkan agama dari dalam. Seperti yang mereka lakukan pada kekhilafahan terakhir, Ottoman, kapitalisme menghancurkan mereka dari dalam melalui praktik moderasi dan menyuburkan ikatan nasionalisme.

Maka berangkat dari akidah pemisahan agama dari kehidupan ala kapitalisme, manusia yang hidup di dalamnya tidak akan mengindahkan rambu-rambu halal dan haram selama itu mampu memberikan kebahagiaan bagi mereka. Jika ideologi ini tetap dipaksakan, akan berpengaruh pada segala aspek terutama pemerintahan. Segala aturan/undang-undang yang tercipta tidak akan mampu memberikan aturan terbaik untuk menindak segala permasalahan umat termasuk korupsi. 


"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Allah Pelindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."

(QS. al-Baqarah: 256-257)


"Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."

(QS. an-Nur: 55)


Sehingga Islam harus diterapkan sacara toral sebagai sebuah ideologi negara jika hendak memberantas korupsi.


Ketiga, sanksi tegas jarang terjadi di negara penganut kapitalisme karena mereka (para tersangka) akan dilindungi oleh HAM. Dalam aturan Islam, pelaku korupsi mendapat hukuman sesuai efek yang ditimbulkan tanpa pandang bulu apakah tersangka adalah penguasa ataukah rakyat sipil, kaya atau miskin, muslim atau kafir. Hukuman yang diberikan beragam mulai dari cambuk, potong tangan dan kaki, pengasingan, penjara, hingga hukuman mati. Keadilan hukuman ini bersandar pada syari'at Islam, bukan aturan semena-mena atau semau penguasa.  Terbukti selama Islam berdiri selama 13 abad sebagai sebuah negara (sebelum runtuh di tahun 1924), hanya terdapat 200 kasus korupsi. Hal ini hanya memungkinkan jika diterapkan syari'at Islam yang memberikan efek jera sekaligus penebusan dosa bagi para pelaku korupsi. (Al-Anshari, 2006: 287, Zallum, 2002).

Post a Comment

Previous Post Next Post