Angka Pernikahan Menurun, Ada Apa?


Oleh: Erik Sri Widayati, S.Si.


Angka pernikahan di Indonesia terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data yang mengungkap bukti bahwa makin banyak warga Indonesia yang enggan menikah. Menurut Laporan Statistik Indonesia 2024, ada tren penurunan jumlah perkawinan yang cukup signifikan dalam enam tahun terakhir. Akan tetapi, penurunan paling drastis terjadi dalam tiga tahun terakhir. Berdasarkan data jumlah pasangan yang menikah sepanjang 2023 lalu, turun 128.093 dibandingkan tahun 2022. Laporan tersebut, hanya mencakup pernikahan bagi masyarakat beragama Islam. Data pernikahan diperoleh dari Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.


Penurunan angka pernikahan ini terjadi di semua provinsi di Indonesia. DKI Jakarta misalnya, terjadi penurunan angka pernikahan sebesar hampir 4.000. Di Jawa Barat, penurunan yang terjadi mencapai hampir 29 ribu. Kondisi yang sama juga terjadi di provinsi padat penduduk lainnya, seperti Jawa Tengah yang menyusut hingga 21 ribu dan Jawa Timur yang menurun hingga 13 ribu. Jika ditarik ke belakang, tren penurunan angka pernikahan sebetulnya sudah terjadi sejak 2012. (Kompas.com, 07/03/2024)


Inilah fakta angka pernikahan saat ini. Tampak adanya kekhawatiran untuk menikah pada kaum muda. Hal ini dipengaruhi banyak hal. Misalnya kekhawatiran pernikahan akan berujung dengan perceraian. Atau kekhawatiran berdasar atas pertimbangan ekonomi, karier, maraknya perselingkuhan, maupun karena belum cukupnya persiapan menikah dari sisi mental dan finansial. 


Memang banyaknya pernikahan yang berujung dengan perceraian tentu mempengaruhi keinginan kaum muda untuk memilih menikah atau tidak. Kebanyakan mereka tidak mempunyai ilmu bagaimana berumah tangga. Referensi mereka tentang pernikahan tidak jauh dari realitas pernikahan selebritas atau cerita yang hadir melalui bacaan, lagu-lagu maupun film yang mereka tonton. Termasuk bagaimana cara mereka menyelesaikan konflik yang muncul dalam rumah tangga.


Alhasil masuklah paham liberal tentang pernikahan. Misalnya penundaan pernikahan karena menghambat karir, anggapan hubungan seks tidak harus dengan pernikahan, atau gagasan menikah tetapi tidak ingin punya anak istilahnya “childfree” karena menganggap anak akan menambah masalah dan sulit bagi pasangan menikmati hidup. 


Pernikahan yang sejatinya sesuatu yang bersifat fitrah. Yang dengannya manusia bisa beranak-pinak tidak punah. Memang kehidupan kaum muda saat ini sangat hedonistik. Jauh dari tatanan agama. Mereka memilih untuk menjalin hubungan tanpa status yang justru mendatangkan mudarat. Mulai dari fakta hamil di luar nikah, aborsi, perselingkuhan, gonta-ganti pasangan, hingga menjadi penyuka sesama jenis. Dampak lanjutannya munculnya HIV/AIDS, depresi, hingga pembunuhan sadis pasangannya.


Inilah yang memicu munculnya fenomena enggan menikah di kalangan muda. Fakta yang harus diperhatikan dengan serius. Pernikahan bukan sekadar hubungan antara dua orang, melainkan dalam tataran yang lebih luas, pernikahan berperan besar bagi keberlanjutan peradaban manusia.


Pernikahan dalam Islam 

Menikah tentu tidak modal nekad tetapi membutuhkan ilmu dan kesiapan. Menurut Islam pernikahan merupakan pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin, dengan aturan yang khusus. Peraturan tersebut menetapkan bahwa keturunan manusia hanya dihasilkan dari hubungan pernikahan saja. Melalui pernikahan inilah, akan terjaga spesies umat manusia. 


Islam menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayh).


Rumah tangga bukanlah institusi yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam klaim superioritas gender. Syariat Islam telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Bukan karena superioritas laki-laki atas perempuan atau sebaliknya, tetapi tatanan yang pas yang menghasilkan kehidupan yang serasi menuju tatanan masyarakat yang harmoni. Semuanya demi kemaslahatan manusia menurut pandangan Allah, bukan karena ada atau tidak adanya kesetaraan.


Allah menetapkan kewajiban mencari nafkah kepada laki-laki, mendidik istri, atau menjadi pemimpin keluarga. Sementara syariat menganjurkan perempuan untuk taat pada suami, melayani suaminya dan mendidik anak-anaknya. Semua itu semata karena tuntutan syariat, bukan karena adanya superioritas laki-laki atas perempuan. 


Arus Budaya Liberal

Indahnya konsep pernikahan di dalam Islam tidak difahami dengan benar. Semua ini karena masyarakat berada di tengah arus budaya liberal dan kehidupan yang serba bebas. Liberalisme telah menuntun manusia menjalani hidup dengan rutinitas untuk mencari materi. Mereka tidak mampu memaknai kebahagiaan, bingung cara untuk mewujudkan ketenangan, selain berharap pada materi yang mereka dapat. 


Di sisi lain, sistem kehidupan yang kapitalistik hari ini telah menjadikan pengurusan negara atas rakyatnya terabaikan. Dampaknya terabaikan hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera. Sulitnya memenuhi kebutuhan keluarga menjadi bayangan yang menakutkan bagi pasangan suami istri. 


Demikianlah bukanlah masyarakat liberal kapitalistik yang memberikan kebaikan. Tetapi masyarakat membutuhkan Islam sebagai tatanan dalam kehidupan. Mulai dari mengarahkan pandangan hidup dan makna kebahagiaan yang ingin dicapai. Sehingga setiap kesulitan menjadi pasangan suami-istri dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai syariat tidak dianggap sebagai beban. Sebaliknya dianggap sebagai kesempatan untuk mendapatkan keridhaan Allah dan kebaikan bagi akhiratnya.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post