Oleh Sri Gita Wahyuti, A.Md
Aktivis Pergerakan Muslimah
Setelah wacana kenaikan tarif listrik pada
bulan Maret mencuat, pemerintah kemudian menegaskan bahwa tidak akan ada
kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan BBM hingga Juni 2024 mendatang.
Namun hal ini tidak bisa membuat rakyat
merasa senang, karena tidak ada jaminan bahwa setelah Juni 2024 pemerintah
tidak akan melanjutkan kebijakan menaikkan TDL. Terlebih menurut ketentuan
Permen ESDM No. 28/2016 jo. Permen ESDM No. 8/2023, penyesuaian tarif tenaga
listrik bagi pelanggan nonsubsidi dilakukan setiap tiga bulan, mengacu pada
perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro, yakni kurs, Indonesian
crude price (ICP), inflasi, serta harga batu bara acuan (HBA).
Dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal,
kebijakan menaikkan harga listrik secara bertahap seolah hal yang wajib
dilakukan. Pasalnya pada tahun 2009, pemerintah telah merumuskan UU mengenai
ketenagalistrikan dan menyebutkan bahwa dalam mengelola kelistrikan, pemerintah
bukanlah pemain tunggal, tapi ada pihak swasta yang juga ikut terlibat dalam menyediakan
energi listrik bagi rakyat.
Bahkan setelah pengesahan UU Omnibus Law
Cipta Kerja dan diberlakukan pada November 2020, negara memberikan kemudahan
investasi bagi investor swasta dalam negeri maupun asing dalam bidang energi
listrik. Alhasil, karena keterlibatan pihak swasta inilah tarif listrik naik di
tingkat konsumen.
Makin kuatlah cengkeraman swasta, apalagi
setelah pembangunan megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW pada 2015 dengan
skema PPA (Power Purchase Agreement), PLN wajib tetap membayar energi listrik
yang tidak terjual sesuai ketentuan PPA yang menjadi kesepakatan bersama.
Masalahnya jika swasta turut serta dalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat pastinya memiliki tujuan tertentu
yakni mencari keuntungan. Sangat wajar apabila akhirnya pemerintah menarik
subsidi listrik secara bertahap. Jadi problem yang terjadi sebenarnya adalah
adanya alih tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat kepada pihak
swasta. Juga adanya pengalihan kepemilikan umum menjadi kepemilikan pribadi.
Adapun dalam pandangan Islam, listrik
adalah harta yang termasuk kategori kepemilikan umum. Rasulullah saw. pernah
bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad yang
berbunyi, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air,
dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Dalam hadis tersebut, listrik termasuk
kategori “api” karena dapat menyalakan barang-barang elektronik. Batu bara
sebagai bahan pembangkit listrik, termasuk dalam barang tambang yang berjumlah
besar sehingga haram hukumnya jika dikelola oleh individu atau swasta.
Rasulullah saw. bersabda, diriwayatkan
Abyadh bin Hammal al-Mazaniy, “Sesungguhnya ia bermaksud meminta (tambang)
garam kepada Rasulullah. Maka, beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya,
berkata salah seorang laki-laki yang ada di dalam majelis, ‘Apakah engkau
mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah
engkau berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau
bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).
Tindakan Rasulullah tersebut merupakan
dalil larangan individu memiliki barang tambang yang meliputi setiap barang
tambang apa pun jenisnya dengan syarat jumlahnya banyak seperti air yang
mengalir. Untuk itu pengelolaan sumber pembangkit listrik, yaitu batu bara,
serta layanan listrik haruslah berada di tangan negara. Dengan alasan
apapun, individu atau swasta tidak boleh
mengelolanya.
Hanya negara saja yang memiliki wewenang
untuk mengelola kepemilikan umum. Untuk memenuhi kebutuhan akan listrik, negara
bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni (1) menyediakan sarana dan prasarana
pembangkit listrik yang mencukupi, (2) mengeksplorasi bahan bakar listrik
secara mandiri, (3) pasokan listrik didistribusikan dengan harga murah dan
terjangkau oleh rakyat, (4) keuntungan yang diambil dari pengelolaan listrik
bisa digunakan untuk kebutuhan rakyat lainnya, seperti pendidikan, kesehatan
dan lain-lain.
Jadi yang harus dilakukan negara saat ini
adalah melakukan perombakan tata kelola atas kepemilikan umum tersebut dengan
mengacu kepada Islam kafah. Kebijakan liberal khas kapitalisme tak layak
dipertahankan karena sudah makin jelas kerusakannya dan menjadikan kehidupan
rakyat makin terhimpit.
Wallahu 'alam bishawwab
Post a Comment