Oleh Ria Juwita
Mua
Syar'i dan Pendidik Generasi
Pasca berakhirnya pesta demokrasi, muncul
kembali fenomena gagal caleg dan timses yang kecewa berakhir depresi hingga
bunuh diri. Dikutip oleh Mediaindonesia, Seorang tim sukses calon anggota
legislatif (caleg) warga Desa Sidomukti, Kabupaten Pelalawan, yang berinisial
WG, 56 tahun, nekad gantung diri di pohon rambutan, di kebun karet miliknya,
sekitar pukul 11.00 WIB, pada hari Kamis (15/2).
Sungguh fenomena gagal caleg ini telah
membuat seseorang berpikir pendek. Semua ini karena sistem kapitalis sekularis
yang diemban oleh negeri ini. Di mana sistem ini memisahkan agama dari
kehidupan masyarakatnya.
Dalam sistem ini, kursi kekuasaan sungguh
menggiurkan bagi siapa saja yang menginginkannya. Dengan harapan mendapatkan
gaji besar dan berbagai kewenangan yang mampu menjadikan pemenangnya
mendapatkan apapun yang mereka inginkan. Sehingga banyak sekali yang
mencalonkan sebagai caleg dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan orang
biasa sampai kalangan artis.
Namun, mekanisme partai yang mengharuskan
caleg berupaya dan berstrategi sendiri, untuk meraup suara tanpa dibantu mesin
politik partai, dengan hal ini para caleg menempuh berbagai upaya, salah
satunya dengan membeli suara, berkedok bantuan ataupun terang-terangan
pembagian uang tunai.
Tentu hal tersebut membuat caleg harus
menyiapkan anggaran dana yang besar. Agar memperoleh dukungan suara, perlu
disayangkan dana yang mereka pakai bisa saja hasil menjual aset, berutang,
bahkan meminjam uang rentenir dengan bunga yang tinggi. Itu semua mereka tempuh
demi meraih kursi yang mereka dambakan.
Sehingga besar harapan dan menjadikan
mereka berobsesi untuk bisa meraih kursi tersebut melihat dana yang mereka
keluarkan bukan dana yang sedikit. Dan ketika mereka gagal dalam pemilihan saat
ini, sangat besar peluang mereka terserang stress, inipun menggambarkan betapa
lemahnya mental para caleg dan timses tersebut.
Pemerintah berupaya menghadapi fenomena tersebut,
dengan menyediakan beberapa rumah sakit jiwa, selain itu pemerintah pun
mengimbau untuk seluruh caleg agar mempersiapkan mental dan keuangan yang kuat,
sebelum melakukan pencalonan, agar setelah mendapati hal yang tidak di
inginkan, sedikit kemungkinan terjadi hal serupa.
Namun itu semua bukan solusi, sehingga
fenomena ini kembali terulang dan memakan banyak korban selain mendapatkan
gugatan cerai dari istrinya, stress bahkan mengakhiri hidupnya. Sungguh miris
tergambar bahwa jabatan yang diperebutkan sejatinya bukan untuk meriayah umat,
melainkan demi kepentingan pribadi saja.
Berbeda dengan Pemilu dalam Sistem Islam
Pemilu hanya sebuah (uslub) atau cara dan
harus terikat dengan hukum syarak, dan hanya dilakukan pada keadaan tertentu.
Karena, tidak adanya periodisasi masa jabatan dalam Daulah Islam. Pemimpin
boleh diganti semisal berhalangan atau bahkan melanggar syariat.
Mekanisme pemilu dalam Islam sangat
efektif, dan tidak memerlukan biaya yang besar. Karena, tidak adanya
pengeluaran untuk suap, baligo dsb. Calon pemimpin harus masuk dalam syarat
ataupun kriteria yang telah ditetapkan yakni, merdeka, adil, laki-laki, muslim,
berakal sehat,dan bersedia mengemban amanah sesuai hukum syarak, tidak ada
praktik suap ataupun mengkomersilkan keperluan publik terhadap rakyat, karena
hukumnya haram, pemimpin harus fokus mengurusi urusan rakyat.karena tugas
pemimpin adalah melayani umat, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Dan
negara pun dibatasi oleh syariat, tidak diberi wewenang untuk membuat hukum,
hanya berkewajiban menerapkan hukum syariat Islam yang berasal dari Allah SWT.
Inilah sistem yang seharusnya di terapkan di negara kita dan mengganti sistem
kapitalis sekularis buatan Barat yang sudah jelas rusak.
Waallahualam bissawab.
Post a Comment