(Anggota Penulis Muslimah Jambi dan Aktivis Dakwah)
Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 dikhawatirkan menimbulkan permasalahan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut akan membebani masyarakat terutama kelas menengah. Pasalnya kenaikan tarif PPN bisa lebih tinggi dari kenaikan upah. (cnnindonesia.com, 13/03/2024)
Bumerang kemiskinan semakin besar, saat ini saja rakyat untuk mencari kerja sulit, persaingan ketat, kenaikan upah minimum tidak sebanding dengan kenaikan harga barang. Pastinya inflasi terus meningkat tajam, masyarakat yang kelas menengah tidak hanya sekedar mengurangi belanja, akan tetapi juga terpaksa mengeluarkan tabungan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena harga barang semakin melambung tinggi.
Ini sudah jelas akan menambah daftar rakyat miskin baru. Hidup rakyat yang kian sulit terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja mereka harus mengeluarkan biaya yang mahal. Ditambah lagi beban tiap bulan yang juga naik seperti tarif listrik, air, dan sebagainya.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak pada biaya tambahan yang harus dikeluarkan konsumen saat membeli barang. PPN secara umum akan dinaikkan menjadi 12% di tahun 2025, dari yang saat ini sebesar 11%, itu akan dipungut oleh pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Hal ini diatur pada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Walaupun yang menjadi subjek pajaknya adalah perusahaan atau wajib pajak (WP) Badan. Akan tetapi tarif PPN tersebut dipungut kepada konsumen yang membeli barang-barang yang terkena tarif PPN. Jadi perusahaan hanya sebagai pemungut pajak yang menjadi perantara antara konsumen dan pemerintah.
Beginilah jika hidup diatur dengan kehidupan yang berstandarkan sistem kapitalis sekuler, yang menjadikan standar menetapkan aturan dengan asas manfaat dan materi. Tidak lagi dipikirkan apakah aturan tersebut membebankan rakyat atau tidak, yang dipikirkan hanyalah bagaimana caranya agar pemasukan pendapatan negara bertambah.
Berbeda jauh dengan sistem yang berstandarkan dari Islam, dimana rakyat dijadikan sebagai amanah untuk diri’ayah (diurusi) dengan asas ketetapannya adalah berdasarkan kaidah hukum syara’ yakni halal dan haram. Dalam Islam pajak (dhoribah) itu diperbolehkan dipungut pada saat kas negara kosong atau pada saat kondisi darurat. Subjek yang dikenakan adalah pada rakyat yang mampu atau rakyat menengah ke atas bukan rakyat fakir dan miskin. Sedangkan dalam sistem kapitalis sekarang dipungut untuk semua rakyat, tidak peduli jika rakyat itu miskin.
Dalam kitab Al Amwal yakni Sistem Keuangan Negara Islam tulisan Syeikh Abdul Qodim Zallum pada Bab Pajak dikatakan bahwa pada dasarnya pemasukan rutin Baitul Mal (kas negara) yang ditetapkan Allah Swt sebagai hak kaum muslim, dan menjadi kewajiban Baitul Mal seperti dari harta fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum yang dialihkan menjadi milik negara. Semua itu cukup untuk membiayai apa yang menjadi kewajiban Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak, yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatan. Maka pada kondisi tersebut negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum muslim.
Selain itu, secara syar’i Allah Swt dan Rasul-Nya telah menetapkan pembiayaan atas berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, harus dipenuhi oleh Baitul Mal, baik dalam kondisi ada uang atau harta didalamnya maupun tidak. Jika tidak ada uang maka kewajiban tersebut beralih kepada kaum muslim untuk membiayainya.
Maka jelas sekali jika di dalam sistem Islam pungutan pajak bukanlah pemasukan utama yang harus dipungut dari rakyat. Akan tetapi pajak merupakan pemasukan negara yang dipungut saat kas negara kosong dan dalam kondisi darurat atau sangat dibutuhkan. Karena dalam Islam sumber pemasukan kas negara telah mampu memenuhi pembiayaan yang harus dikeluarkan negara. Seperti pemasukan dari harta milik umum yang dikelola oleh negara.
Ada tiga jenis harta milik umum yang dikelola oleh negara, yakni :
1. Sarana-sarana umum yang diperlukan seluruh kaum muslim dalam kehidupan sehari-hari.
2. Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya.
3. Barang tambang atau sumber kekayaan alam yang jumlahnya tak terbatas.
Ketiga jenis pengelompokan ini beserta cabang-cabangnya dan hasil pendapatannya merupakan milik bersama kaum muslim ataupun rakyat non muslim yang hidup di bawah naungan negara Islam, dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara atau kas negara (Baitul Mal). Maka Khalifah sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara’ akan mendistribusikan harta tersebut kepada rakyatnya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan warga negaranya.
Islam tidak mengenal PPN, karna pajak yang dikenakan pada barang kebutuhan pokok adalah haram. Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan mendesak. Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dalam urusan administrasi) negara. Juga tidak diperbolehkan mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, atau pajak bumi dan bangunan, termasuk pajak terhadap barang dagangan. Karena pajak seperti itu dalam Islam adalah perlakuan yang dzalim dan hal tersebut dilarang dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya
“Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai secara dzalim.” (HR. Ahmad, Ad-Darami, dan Abu Ubaid)
Maka sekali lagi dikatakan bahwa pajak di dalam Islam akan diambil dari kaum muslimin yang mampu saja atau kepada kaum muslim yang memiliki kelebihan harta, setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna sesuai dengan standar hidup tempat mereka tinggal.
Jika kita masih berada di bawah aturan sekuler kapitalis atau peraturan yang menjadikan manusia sebagai pembuat hukum, maka kita sebagai umat manusia akan selalu merasakan kesempitan hidup. Sebagaimana yang Allah Swt sampaikan dalam Firman Nya Surat Thaha (20) ayat 124, yang artinya
“ Barang siapa yang berpaling dari peringatan Ku (Alquran) maka akan merasakan kehidupan yang sempit. Dan pada hari kiamat akan Kami kumpulkan mereka dalam keadaan buta.”
Dan Allah Swt pun berjanji yang disampaikan dalam Al Quran Surat Al’Araf ayat 96, bahwa jika penduduk suatu negeri itu beriman dan bertakwa kepada Nya, maka Allah Swt akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi manusia pada saat ini berpaling dari aturan dan hukum Allah, sehingga Allah Swt siksa akibat dari perbuatan manusia itu sendiri.
Jelas sekali, bahwa kesempitan hidup yang kita rasakan saat ini adalah karena tidak diterapkannya aturan Allah Swt secara sempurna di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, jika tidak mau dipungut pajak secara dzalim dan jika ingin sejahtera seluruh warga negara terutama di Indonesia ini maka harus mau terapkan syariat Islam yang berasal dari Allah Sang Pemilik Kehidupan secara totalitas dalam bingkai negara. Wallahu’alam bishowab
Post a Comment