(Pemerhati Kebijakan Publik)
Adanya pesta demokrasi Pemilu 2024, Dinas Kesehatan (Dinkes) Berau bersama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Abdul Rivai, Tanjung Redeb sediakan ruangan khusus. “Ya, ruangan yang disiapkan untuk perawatan khusus bagi calon legislatif (Caleg) yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal dalam Pemilu 2024”. Demikian dipaparkan oleh Kepala Dinkes Berau, Lamlay Sari. (kaltim.tribunnews, 15/2/2024).
Fenomena “caleg gagal kena mental” makin membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan menyebabkan gangguan mental. Setidaknya ada tiga poin sebab pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengantarkan para kontestannya mengalaminya.
Pertama, pemilu dalam sistem demokrasi berbiaya mahal. Bukan lagi rahasia jika para kandidat butuh biaya selangit untuk bisa maju. Misalnya, disampaikan oleh Ketua PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin), butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 triliun untuk menjadi capres. Biaya tersebut digunakan untuk berbagai macam, salah satunya akomodasi ke daerah pemilihan, mulai dari transportasi, penginapan, makan, dan sebagainya. Ada juga biaya kampanye, seperti produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan, dan logistic lainnya. Caleg pun harus membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Ini belum bicara biaya “serangan fajar”. Wajar jika pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari uang politik.
Bayangkan, para kandidat harus menguras harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri. Tidak jarang dari mereka yang akhirnya berutang dan mencari sponsor. Alhasil, jika gagal, mereka akan kehilangan harta benda dan harus mengembalikan semua utangnya. Inilah yang menjadikan mereka akhirnya kena mental ketika gagal.
Kedua, mayoritas caleg bertujuan kekuasaan dan materi. Tidak dimungkiri, ada beberapa dari mereka yang tulus Ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Hanya saja, selain jumlah mereka amatlah minim, juga keberadaan mereka akan terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta. Dikatakan demikian sebab sistem demokrasi, yang asasnya sekuler, hanya akan menghimpun para petarung yang tidak paham agama. Mereka akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi, tidak peduli haram halal, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat. Dari sini saja, kandidat yang Ikhlas akan tersingkir sebab mereka tidak akan mau melakukan kecurangan.
Kehidupan sekuler memang melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Taala. Standar kebahagiaannya hanyalah materi dunia. Wajar jika jabatan menjadi Impian besar mereka yang dianggap mampu menaikkan harga diri atau prestise. Jabatan pun merupakan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas hidup. Wajar juga jika kandidat sekuler yang lemah imannya, depresi saat kalah, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.
Ketiga, jika menelisik lebih dalam atas segala yang terjadi pada setiap pemilu dalam demokrasi, kita akan mendapati bahwa para pemenang tidak sama sekali menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan yang ditetapkan tidak pernah memihak rakyat. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah ilusi yang tidak pernah terealisasi. Faktanya, kebijakan yang ditetapkan hanya berputar pada kemaslahatan oligarki. Lihat saja sejumlah UU pro oligarki, ditetapkan di tengah penolakan rakyat banyak. Alhasil, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terjamin dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat.
Oleh karena itu, sejatinya, pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenang adalah mereka yang tunduk pada pengusaha. Bukankah ini pula yang dapat menyebabkan caleg depresi saat mengetahui suaranya bisa dicurangi, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa?
Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.
Walhasil, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.
Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang pada sanak saudara dan kolega. Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah Swt. yang ia harus syukuri.
Berawal dari niat menjadi wakil rakyat, tetapi berujung gagal dalam pemilihan. Akhirnya stres, sakit jiwa, bahkan ingin bunuh diri. Kondisi ini bukan hanya memprihatinkan, melainkan juga mengerikan. Sudahlah berbiaya mahal, demokrasi juga rentan menyebabkan gangguan mental. Sudah semestinya kita tinggalkan sistem yang terbukti gagal.
Allah Taala berfirman, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS Al-An’am: 116).
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment