Oleh. Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah)
Hari pertama di masa tenang jelang hari pencoblosan pemilu 2024 menjadi ramai dengan rilisnya film dokumenter Dirty Vote. Film berdurasi 1 jam 57 menit 22 detik mengungkapkan fakta dan analisis tiga pakar hukum tata negara tentang dugaan kecurangan pemilu.
Film yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono itu rilis pada hari Minggu, 11 Februari 2024 pada akun youtube PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Indonesia. Hingga pukul 09.30 WIB Senin (12/2/2024) atau 20 jam setelah diunggah, video tersebut telah ditonton 2,5 juta kali. Dirty Vote juga menjadi trending topik di platform X, lebih dari 450 ribu unggahan yang menyebutkannya (detik, 12/02/2024).
Selama hampir dua jam, tiga akademisi ahli tata negara dan hukum, Bivitri Susanti, Feri Amsari, dan Zainal Arifin Mochtar, bergantian memaparkan indikasi kecurangan pemilu 2024. Dimulai tentang mengapa harus satu putaran serta bagaimana skenario untuk memenangkan pemilu dalam satu putaran.
Ada pula tentang pemecahan suara partai dengan membentuk shadow partai. Dibahas pula kinerja MK hingga melahirkan "anak haram" konstitusi. Tak luput disorot kinerja Bawaslu dan KPU. Serta ketidaknetralan para pejabat negara dari tingkat desa hingga presiden.
Pemaparan dilengkapi dengan data, fakta berupa foto, video dan kesaksian, beserta dasar hukum dan normatif. Disajikan secara jelas dan lugas hingga membentuk analisis yang menguatkan indikasi adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif pada pemilu 2024.
Hal yang Lazim
Sebenarnya yang ditampilkan pada film dokumenter Dirty Vote bukanlah hal yang baru dan luar biasa. Menurut mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, film itu masih lebih ringan dibandingkan kenyataannya (liputan6, 12/02/2024).
Menarik jika kita menyimak kalimat penutup dari Bivitri Susanti dalam film tersebut. bahwa semua ini sebenarnya ini bukan rencana atau desain yang hebat-hebat amat. Skenario seperti ini dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara dan sepanjang sejarah. (prokal, 11/02/2024).
Memang benar apa yang disampaikannya. Dalam sejarah perjalanan negara Indonesia pun, ada masa saat rezim orde baru hendak mempertahankan kekuasaannya dengan mengubah bentuk negara demokrasi parlementer menjadi demokrasi terpimpin. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai dasar hukum pelaksanaan demokrasi terpimpin. Soekarno berkuasa penuh dan membungkam kritik dengan penangkapan dan penjara. Buya Hamka adalah salah satu korbannya.
Tabiat Demokrasi
Asas sekularisme, memisahkan agama dengan kehidupan termasuk negara, membuat demokrasi begitu labil. Bergonta-ganti aturan dan hukum adalah santapan harian demokrasi. Pedihnya, semua aturan dan hukum yang dilahirkan tak pernah memuaskan semua orang.
Tersebab manusia didaulat untuk membuat hukum dan aturan. Maka akan bermain kepentingan pribadi serta golongan si pembuat aturan. Dengan kemampuan akal yang terbatas dan lemah, produk hukum yang dibuatnya tak pernah memberikan solusi. Justru menimbulkan konflik dan pertentangan serta perpecahan.
Jargon "Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" hanyalah mimpi yang takkan pernah terwujud. Pesta demokrasi itu mahal sehingga memerlukan campur tangan para pemilik modal. Pemilu yang memberikan mahkota kemenangan kepada pemilik suara terbanyak, membuka peluang bermain bagi para kapital.
Suara rakyat hanya berharga di ajang pemilu. Selepas pemilu, senyaring apapun suara rakyat tetap tak terdengar di kursi empuk penguasa. Diantaranya yaitu terbitnya UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang hanya mengutamakan kepentingan para kapitalis.
Sekalipun seluruh elemen masyarakat menolak termasuk ahli hukum juga aktivis lingkungan, namun UU Ciptaker tetap disahkan. Pun demikian dengan berbagai kebijakan yang menzalimi rakyat seperti kenaikan harga BBM, listrik, elpiji, BPJS, dll. Termasuk pengelolaan pelayanan publik yang diserahkan pada swasta. Kekuasaan oligarki pun terwujud di sistem demokrasi.
Demokrasi lahir dari rahim kapitalisme yang berorientasi materialisme. Tak ada orientasi akhirat dalam kehidupan berdemokrasi. Alhasil, para penguasa hanya sibuk mengamankan kedudukannya demi meraup kekayaan dengan segala cara. Meskipun harus berbuat korup dan menzalimi rakyat. Kekuasaan diktator pun menjelma di sistem demokrasi.
Alternatif Sistem
Sungguh, kita tak bisa berharap pada sistem demokrasi. Sudah waktunya kita berpikir out of the box, mencari sistem alternatif yang bisa menggantikannya. Sistem itu adalah Khilafah, yang sudah terbukti lebih dari 13 abad memimpin dunia dan membawa manusia dalam kehidupan yang adil dan sejahtera.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Pemimpinnya disebut khalifah.
Penerapan hukum Islam yang bersumber dari Allah Swt. inilah yang akan menutup kecurangan dan kezaliman. Maqashid syariah pun terwujud lewat implementasi syariat dalam bingkai khilafah. Adapun maqashid syariah itu adalah menjaga agama, akal, harta, jiwa, keturunan, kehormatan diri, keamanan dan keutuhan negara.
Will Durant seorang sejarawan Barat memuji kesejahteraan negara Khilafah. Dalam bukunya yang berjudul The Story of Civilization, ia mengatakan: "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka"
Kepemimpinan dalam Islam adalah amanah yang memiliki koneksi akhirat. Rasulullah Saw bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Alhasil, khilafah tidak akan melahirkan pemimpin zalim dan gila kekuasaan serta rakus harta. Sebaliknya, para pemimpin di sistem Islam hanya sibuk memikirkan dan mengurus serta memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment