Oleh : Rika Kamila
Sampah plastik secara konsisten menjadi permasalahan utama dalam konteks pencemaran lingkungan, baik itu di darat maupun di laut. Karakteristiknya yang sulit terurai menyebabkan proses pengolahannya menghasilkan zat toksik dan bersifat karsinogenik, serta membutuhkan waktu berabad-abad untuk terurai secara alami. Pada tahun 2023, Indonesia menghasilkan sebanyak 12,87 juta ton sampah plastik. Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyatakan bahwa masalah sampah plastik masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Oleh karena itu, penanganan sampah plastik menjadi fokus utama dalam peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2024 yang akan diselenggarakan pada tanggal 21 Februari. Selain itu, peringatan HPSN 2024 bertujuan untuk mendorong semua pihak, termasuk pemerintah daerah, produsen, dan masyarakat umum, untuk mendukung pencapaian target nasional dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor limbah dan sampah. Jika sampah plastik didaur ulang dengan efisien, dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 16.379.472 per bulan dari produksi 48 ton sampah plastik.
Secara global, permasalahan limbah plastik sering dianggap sebagai tanggung jawab pengguna. Dalam konteks ini, penggunaan plastik serta tanggung jawab setelah penggunaan ditempatkan pada individu yang menggunakannya. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun luput dalam beberapa aspek yang relevan. Aspek pertama adalah regulasi. Meskipun kantong plastik dianggap berpotensi membahayakan, pertanyaannya adalah mengapa masih diizinkan beredar? Seharusnya ada regulasi yang tegas melarang produksi kantong plastik. Dengan mengatur dari sumbernya, regulasi bisa menjadi solusi yang lebih efektif daripada membuat peraturan yang berbeda di setiap tempat. Hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan masyarakat.
Aspek kedua adalah pertimbangan ilmiah. Meskipun ada beberapa alternatif untuk kantong plastik yang diklaim lebih ramah lingkungan, apakah klaim tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah? Sebagai contoh, untuk mengatakan bahwa "tas belanja ramah lingkungan" lebih baik daripada kantong plastik, tas tersebut harus digunakan sebanyak 7.100 kali. Penilaian ilmiah semacam ini seharusnya menjadi tanggung jawab komunitas ilmiah dan menjadi pertimbangan bagi pembuat kebijakan.
Aspek ketiga adalah pengelolaan dan pengolahan limbah pasca-pemakaian. Pengelolaan limbah pada dasarnya adalah tugas negara karena volume limbah rumah tangga yang besar tidak bisa diatasi secara mandiri oleh individu atau komunitas. Namun, pengelolaan sampah oleh negara sering kali tidak optimal. Pemisahan dan pemilahan limbah tidak dilakukan secara konsisten dan sistematis, serta kurangnya sosialisasi dan regulasi tentang hal ini kepada masyarakat. Ini menunjukkan bahwa ada otoritas yang seharusnya mengoptimalkan pengelolaan limbah, tetapi fungsi ini belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi harus bergerak secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah limbah plastik.
Di Indonesia, masalah pengelolaan sampah masih memiliki banyak tantangan. Kelembagaan pengelolaan sampah belum jelas antara regulator dan operator, sumber pendanaan untuk investasi, operasi, dan pemeliharaan terbatas, dan peraturan terkait persampahan masih terbatas dengan penegakan hukum yang lemah. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengelola sampah juga masih rendah.
Permasalahan limbah tidaklah terbatas pada sistem kapitalisme. Setiap pemikiran dan ideologi akan menghadapi tantangan yang serupa, terutama dengan populasi yang besar, industrialisasi yang masif, dan perubahan gaya hidup yang terjadi. Namun, perbedaan akan muncul tergantung pada pandangan hidup yang menjadi dasar pembuatan peraturan untuk mengelola masalah limbah. Sebagai sebuah ideologi, Islam akan menghasilkan aturan yang bersumber dari prinsip-prinsip akidah Islam. Dengan mempertimbangkan bahwa Islam berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt., yang tidak terikat oleh konflik kepentingan manusia dan tidak memiliki sifat lemah, terbatas, atau saling membutuhkan seperti makhluk-Nya, secara logis dapat disimpulkan bahwa aturan yang berasal dari prinsip-prinsip Islam dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi manusia, termasuk masalah limbah. Berbeda dengan aturan buatan manusia yang seringkali memunculkan masalah baru dan tidak mampu menemukan solusi yang berkelanjutan.
Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut sebagai akibat dari perbuatan tangan-tangan manusia. …” (QS Ar-Rum: 41).
Prinsip dasarnya, terkait lingkungan, Islam mewajibkan agar manusia menjaga lingkungan dan tidak merusaknya. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf: 56).
Dengan demikian, limbah yang dapat membahayakan masyarakat dan merusak lingkungan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, harus dikelola dengan benar sehingga potensi-potensi bahaya tersebut dapat dihindari.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Pertanyaannya, bagaimana implementasinya?
Pertama, pada tingkat negara. Khalifah, sebagai pemimpin negara Islam, memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah seputar limbah, sesuai dengan ajaran Rasulullah saw., "Seorang imam (khalifah) adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya." Oleh karena itu, secara prinsip, khalifah harus menetapkan kebijakan yang tepat dalam rantai industri kantong plastik, mulai dari awal hingga akhir. Khalifah berhak menentukan apakah peredaran kantong plastik di wilayah negara tersebut diizinkan atau dilarang. Namun, jika khalifah bukan ahli dalam masalah ini, dia harus berkonsultasi dengan para pakar di bidang tersebut untuk mempertimbangkan opsi yang paling bijak. Wallahu'alam bish ash shawab.
Post a Comment