Dari tahun ke tahun bahan bakar minyak (BBM) kendaraan selalu naik. Itupun diwarnai protes dari berbagai kalangan tapi tetap saja bbm tetap naik. Di pembukaan tahun ini pun pemerintah mewacanakan akan menaikan pajak kendaraan bermotor berbahan bakar bensin. Alasannya adalah untuk mengurangi polusi udara di wilayah Jakarta (cnbcindonesiacom, 19-01-2024).
Perlu diketahui besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) per tahun untuk daerah DKI Jakarta berada di angka lima persen. Yang nantinya akan naik menjadi sepuluh persen. Jika pajak ini diberlakukan dalam waktu dekat. Itu artinya ada penambahan lima persen. Rencananya akan diberlakukan per satu Februari 2024. Namun rencana ini buru-buru di klarifikasi oleh bawahan Kemenko Marves Luhut Binsar Panjaitan bahwa aturan pajak tersebut belum akan dilaksanakan dalam waktu dekat, sementara dalam tahap pengkajian mendalam.
Meski baru sekedar wacana tidak akan dinaikkan dalam waktu dekat, tetap saja kenaikan harga pajak terhadap kendaraan bermotor ini tentu akan lebih menyulitkan masyarakat. Mengingat rakyat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah lebih banyak menggunakan kendaraan bermotor berbahan bakar bensin karena lebih murah dan mudah dijangkau. Jelas ini berdampak terhadap kehidupannya.
Kepentingan Pengusaha
Sudah mafhum dalam sistem saat ini marak dijumpai pejabat yang merangkap jabatan. Meski dalam aturan perundang-undangan seorang pejabat tidak boleh menjabat pada dua tugas pada saat bersamaan. Namun hal itu ditabrak dibiarkan begitu saja tanpa ada pemberian sanksi. Contoh kasus ada seorang rektor juga menjabat sebagai pejabat bank.
Bahkan menurut Pakar Ekonomi Faisal Basri ada selevel menteri menjadi ketua asosiasi pengusaha. Asosiasi kendaraan listrik memiliki usaha yang menghasilkan sepeda motor listrik. Supaya lebih laku dia minta sepeda motor BBM dikenakan pajak lebih tinggi. Dengan alasan mengendalikan kesehatan lingkungan (polusi udara). Tetapi lanjut beliau, kebijakan itu dibuat sebab ada kepentingan disana (dikutip: Podcast NBW, 21-01-2024).
Jadi alasan untuk mengurangi polusi udara hanyalah alasan yang dibuat-buat, bahkan dibuat untuk menutupi hidden agenda kepentingan para pengusaha. Bukan benar-benar konsen untuk menumpas buruknya kualitas udara (polusi) di ibukota. Imbasnya rakyat pula yang harus menanggung beban dan menjadi korban dari kerakusan para pengusaha yang hanya mementingkan bisnisnya. Tanpa peduli terhadap nasib rakyat kecil.
Alhasil kebijakan ini dibuat syarat hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan merugikan rakyat. Sehingga rakyat tak punya pilihan. Dengan tingginya harga pajak kendaraan, mau tidak mau rakyat tergeserkan beralih pada penggunaan kendaraan listrik. Buntutnya para pengusaha tersebut mendapatkan kucuran keuntungan. Sementara rakyat terus saja dibebani dengan berbagai pungutan pajak.
Disisi lain alasan mengurangi polusi udara, dinilai solusi ini tidaklah tepat mengingat banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya polusi udara. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional Provinsi DKI Jakarta mencatat, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta berada di angka lebih dari 26 juta kendaraan, terdiri dari mobil penumpang, bus, truk, serta sepeda motor. Kendaraan bermotor menghasilkan gas karbon monoksida yang menjadi salah satu penyumbang polutan di Indonesia.
Sementara penyumbang polusi udara terbesar di daerah ibukota berdasarkan data Infrastructure for Climate Action Report yang dikeluarkan UNOPS—kolaborasi antara UN Environment Program (UNEP) dan University of Oxford—pada 2021, menunjukkan bahwa infrastruktur bertanggung jawab terhadap 79% total terjadinya emisi gas rumah kaca di dunia dan 88% biaya yang diperlukan untuk beradaptasi (adaptation costs).
Dari pemaparan diatas, polusi kendaraan bukan satu-satunya penyumbang pencemaran udara di wilayah ibu kota. Faktanya, pembangunan kapitalistik yang memungkinkan terjadinya industrialisasi besar-besaran juga turut memperparah pencemaran udara. Ditambah, lemahnya pengawasan analisis dampak lingkungan. Masih banyak kasus pembakaran hutan yang tidak pernah tuntas terselesaikan karena melibatkan korporasi besar. Begitu juga dengan pembuangan limbah sisa industri kerap merugikan masyarakat di sekitarnya (muslimahnews.net, 23-01-2024).
Tabiat Kapitalisme
Dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler pajak dianggap sebagai sumber pemasukan utama negara. Maka tak heran jika sumber-sumber yang bisa mendulang untuk pemasukan pajak akan di gencot habis-habisan. Pada akhirnya rakyat selalu yang menjadi tumbal. Hingga akhir Juli 2023 penerimaan negara dari pajak mencapai Rp 1.109,1 triliun atau 64, 6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Capaian penerimaan ini tercatat tumbuh sebesar 78 persen secara tahunan (cnbcindonesia.com).
Artinya segala pembiayaan negara seperti pembangunan, gaji pegawai negara, pendidikan, kesehatan, dan lainnya bersumber dari harta rakyat berupa pajak. Padahal ditengah pajak yang terus naik dan meluas diberbagai sektor, kesejahteraan rakyat tak kunjung didapatkan. Oleh karena itu rencana menaikkan pajak kendaraan motor berbahan bakar minyak merupakan kebijakan yang zalim. Sebab persoalan utama adalah penerapan sistem kapitalisme, yang menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama APBN. Selama sistem ini tetap dipertahankan, pajak akan terus membebani masyarakat. Apalagi pajak dinegeri ini diwajibkan atas seluruh masyarakat. Mirisnya orang-orang kaya dinegeri ini justru mendapat tax amnesty (pembebasan pajak).
Sungguh negara dalam kapitalisme mengabaikan perannya sebagai pengurus umat. Mereka justru berpihak kepada korporasi atau para pemilik modal. Padahal negeri ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan bisa menjadi sumber pemasukan besar negara. Namun akibat penerapan ekonomi kapitalisme meniscayakan seluruh kekayaan alam, diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi. Alhasil semakin nyata sistem kapitalisme merupakan penyebab utama dalam menetapkan pajak yang mencekik rakyat sebagai sumber pemasukan negara. Maka umat hari ini sudah seharusnya melihat ada sebuah sistem hidup yang mampu mengeluarkan masyarakat dari jeratan pajak. Yakni sistem yang berasal dari Allah swt al khalik almudabir yaitu sistem Islam.
Tidak ada tarif Pajak
Islam adalah sistem hidup sempurna dalam menyelesaikan persoalan secara tuntas dan mendasar termasuk dalam menyelesaikan problem polusi di ibukota. Untuk menjaga polutan dan keseimbangan lingkungan negara telah memiliki mekanisme penataan struktur pembangunan agar terhindar dari pencemaran lingkungan. Misalnya negara menetapkan kebijakan agar meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi dan dialihkan ke transportasi publik. Selain itu gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, bangunan sekolah, kampus universitas, sampai pasar dibuat dalam satu rute yang mudah diakses oleh warganya sehingga mereka tak perlu lagi menggunakan transportasi, namun cukup dengan berjalan kaki sebab jaraknya dapat dijangkau. Kebijakan ini dibuat tersebar merata di seluruh daerah sehingga tidak terjadi dikotomi antara warga yang ada di perkotaan maupun warga yang ada dipinggian kota. Semua warga mendapatkan fasilitas yang sama. Disisi lain negara juga akan menetapkan pelayanan transportasi publik untuk mengurangi penumpukan volume kendaraan penyebab polusi udara. Mulai dari bus, angkutan umum, kereta, tranportasi udara maupun transportasi udara.
Khilafah Islamiyah juga, akan mampu membiayai negara tanpa pajak. Islam adalah negara yang berfungsi sebagai rain atau pengurus urusan umat akan memberlakukan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh dan didukung oleh sistem politik Islam. Dari mana pembiayaan itu berasal? Setidaknya ada tiga sumber utama kepemilikan. Pertama sektor kepemilikan individu seperti sedekah, hibah, zakat, dan lainnya. Khusus untuk zakat tidak boleh tercampur dengan harta lainnya. Kedua sektor kepemilikan umum seperti pertambangan, minyak bumi, batu bara, gas, kehutanan dan sebagainya. Ketiga sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, ghanimah, fai, usyur, dan sebagainya. Syariat Islam juga telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos yang harus berjalan. Jika dibaitul mal ada harta maka dibiayai oleh baitul mal. Jika negara lagi terjadi kekosongan kas pemasukan, kewajiban tersebut berpindah dalam bentuk dharibah (pajak).
Pajak tersebut hanya diambil pada muslimin yang memiliki kelebihan harta dan mampu, setelah mereka memenuhi kebutuhan dasar dan perlengkapan secara sempurna. Sesuai dengan standar dan tempat hidup mereka tinggal. Namun hal ini tidak berlaku permanen. Sebab pungutan yang dikenakan sekedar menutupi kekurangan selisi ketika ada suatu pembiayaan yang wajib. Ketika kebutuhan tersebut telah terpenuhi serta pemasukan dari pos utama telah berjalan dan telah tercukupi, maka tarikan pajak akan dihentikan.
Karena itu dalam khilafah tidak ada penerapan pajak tidak langsung, pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual beli, pajak kendaraan bermotor dan berbagai jenis pajak lainnya. Sebagaimana hari ini, negara memberlakukan berbagai pungutan pajak. Demikianlah hanya khilafah yang mampu membangun negara tanpa pajak yang mencekik rakyat. Wallahualam.
Post a Comment