Pegiat Literasi, Komunitas Rindu Surga
Pemilihan Umum (Pemilu) tinggal menghitung hari. Seperti biasa pesta demokrasi ini dilakukan setiap lima tahun sekali. Tujuannya tidak lain adalah memilih presiden dan para anggota legislatif yang dicalonkan oleh berbagai partai pengusungnya. Mirisnya, para calon legislatif (caleg) terkadang belum siap kalah alias gagal terpilih. Bahkan belum siap secara mental menghadapi pertarungan kekuasaan tersebut. Akibatnya, tidak sedikit para caleg yang stres, terkena gangguan mental ketika diketahui bahwa dirinya gagal terpilih menjadi wakil rakyat. Alhasil, selanjutnya mereka harus mendapatkan perawatan intensif untuk perbaikan mental dan belajar menerima kenyataan.
Untuk itulah, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan bagi caleg yang gagal terpilih. Karena berdasarkan pengalaman sebelumnya, banyak peserta pemilu yang berpotensi stres pasca-perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lebih lanjut Aziz juga mengingatkan kesiapan Rumah Sakit dan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk menerima pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan. (detikNews.com, 26/1/2024)
Fenomena tersebut membuktikan bahwa pemilu pada sistem hari ini rentan terhadap gangguan mental. Sistem demokrasi yang berbiaya mahal, tentu sudah menjadi rahasia umum. Menurut LPM FE UI, modal untuk menjadi caleg cukup variatif. Paling besar adalah modal caleg untuk menjadi anggota DPR RI dibandingkan dengan anggota DPRD atau DPRD Kabupaten/Kota. Calon anggota DPR RI sekitar Rp1-2 miliar, DPRD Provinsi Rp500 juta-1 miliar, DPRD Kabupaten/Kota Rp250-500 juta. Modal tersebut lazim digunakan untuk berbagai kebutuhan. Seperti biaya akomodasi ketika kunjungan ke daerah-daerah, biaya kampanye, membeli atribut, logistik, dana untuk tim sukses, bansos, dan lain sebagainya. (CNBC Indonesia, 24/8/2023)
Dapat dibayangkan mereka harus berjuang keras hingga menguras tenaga, pikiran, harta, bahkan berutang hingga mencari sponsor. Sehingga wajar saja ketika gagal terpilih, mereka kebingungan dan stres.
Tak hanya itu, saat ini yang menjadi tujuan mayoritas caleg adalah meraih kekuasaan dan materi. Meskipun tidak dimungkiri ada sebagian mereka yang mempunyai niat tulus dan ikhlas ingin melakukan perubahan terhadap kondisi bangsa. Namun jumlahnya yang minim, akan kalah bersaing dengan mereka yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta. Mereka dibutakan oleh jabatan dan kekuasaan, hingga lupa bahwa semua itu adalah amanah untuk mengurus rakyat yang akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Selain itu, pemilu dalam sistem demokrasi juga belum dapat menjadi representasi rakyat. Para pemenang tidak dapat mewakili perasaan rakyat. Apalagi soal kebijakan, masih jauh dari harapan untuk berpihak kepada rakyat. Undang-undang yang dikeluarkan hanya berputar pada kepentingan oligarki yang telah berjasa mengawal para caleg hingga duduk di kursi kekuasaan.
Itulah kepemimpinan dalam sistem yang diemban saat ini yakni kapitalisme sekuler. Sistem yang mengagungkan kekuasaan dan materi, juga asasnya yang sekuler telah menjauhkan agama dari berbagai urusan kehidupan. Alhasil, lahirlah para penguasa, pejabat yang haus kekuasaan juga harta. Apalagi hari ini, jabatan menjadi impian masyarakat, karena dapat menaikkan harga diri atau prestise, juga sebagai jalan mendapatkan keuntungan atau materi dan berbagai kemudahan serta fasilitas lainnya.
Tak hanya itu, pendidikan yang diterapkan di negeri ini juga mempengaruhi mental para caleg. Pendidikan yang berbasis sekuler kapitalis terbukti gagal membentuk individu yang berkepribadian kuat dan mulia. Mereka tidak memahami hakikatnya sebagai seorang hamba yang harus tunduk pada aturan syariat. Sehingga ketika menjadi pejabat sibuk memikirkan dirinya, keluarganya hingga kelompoknya. Rakyat belum dijadikan prioritas utama dalam kerjanya. Alhasil, kesejahteraan dan keadilan pun belum dapat terwujud, bahkan masyarakat kian hari makin sengsara dampak dari berbagai kebijakan yang dibuatnya.
Kondisi yang demikian tentu berbeda ketika masyarakat yang hidup dalam naungan Islam. Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki sistem hidup untuk mengatur manusia. Dalam hal kepemimpinan, Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang harus dilaksanakan sesuai ketentuan Allah Swt. karena kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Sabda Rasulullah saw. yang artinya: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)
Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya untuk memegang jabatan, maka orang tersebut harus benar-benar yakin bisa amanah dalam menjalankannya. Karena jika tidak amanah, maka Allah Swt. tidak segan untuk memasukkannya ke dalam neraka.
Selain itu, menjalankan amanah jabatan negara harus sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sehingga mereka harus mengerti agama, jangan sampai jabatan tersebut mencelakakan dirinya dan seluruh umat. Oleh karena itu, para kandidat dalam sistem Islam adalah mereka yang taat dan patuh kepada Allah Swt. dan memahami bahwa tujuannya hanyalah meraih ridha Allah Swt. semata, bukan yang lain. Ketika mereka tidak terpilih, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya. Karena apapun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik menurut Allah Swt. Hal tersebut juga didukung oleh sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang menghasilkan individu bermental kuat dan mulia, berkepribadian Islam yang kokoh.
Adapun dalam hal pengangkatan kepala negara, Islam telah menetapkan metode baku yakni baiat syar'i. Seorang calon pemimpin akan dibaiat jika mendapat dukungan dari rakyatnya. Dukungan tersebut tidak harus berupa pemilu langsung yang menghabiskan banyak uang negara. Namun dapat diperoleh melalui metode perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya, lalu Majelis Umat (wakil umat) yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan pemilu dalam Islam juga bersifat langsung, akan tetapi pemilihan langsung tersebut bukanlah metode, melainkan teknis yang bersifat opsional atau mubah.
Islam juga telah menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari saja. Dalilnya adalah ijmak sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra. yang sempurna di hari ketiga padsca-wafatnya Rasulullah saw.. Batas waktu yang singkat ini akan membatasi masa kampanye, sehingga tidak perlu menghabiskan tenaga dan perhatian berlebih, serta biaya yang besar. Teknisnya juga dibuat sederhana, sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai.
Demikianlah, betapa kita dapat melihat begitu jauh perbedaan pemilihan kepemimpinan dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam. Pemilu dalam sistem demokrasi cenderung menghasilkan berbagai keburukan, sementara dalam sistem Islam menghasilkan pemimpin yang amanah dan hanya taat pada aturan syariat. Sehingga akan terwujud kepemimpinan yang adil, dan mampu menyejahterakan rakyatnya melalui aturan-aturannya yang ditetapkan secara menyeluruh (kafah). Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Post a Comment