PIP dan KIP, Kebijakan Setengah Hati


Oleh : Santi Zainuddin 
(Pegiat Literasi)


Kartu Indonesia Pintar (KIP) adalah program bantuan sosial dari pemerintah Indonesia. KIP hanya diperuntukkan bagi kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Adapun program Indonesia Pintar (PIP) merupakan program bantuan berupa uang tunai, perluasan akses, dan kesempatan belajar dari pemerintah untuk peserta didik dan mahasiswa dari keluarga miskin atau rentan miskin untuk membiayai pendidikan.  Program ini dinilai masyarakat sebagai program setengah hati, karena menyelesaikan masalah di permukaan saja, bukan masalah dasar (inti).


Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim melaporkan, hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100 persen target, yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima. Bantuan itu menelan anggaran sebesar Rp 9,7 triliun setiap tahunnya.


Penyaluran bantuan PIP dilakukan Kemendikbudristek melalui Pusat Layanan Pembiayaan (Puslapdik). Nadiem menuturkan, dengan semangat Merdeka Belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong royong dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan.  “Semangat tersebut kami lakukan agar penyaluran bantuan PIP semakin terjamin dalam hal ketepatan sasaran, waktu, jumlah, dan pemanfaatannya,” tutur Nadiem.


Selanjutnya, Nadiem akan terus meningkatkan kualitas pelaksanaan program PIP sebagai bagian dari upaya pemerataan hak dan kualitas pendidikan. Dengan demikian, semua anak Indonesia dapat merasakan manfaat dari program tersebut. (Republika/26/1/2024)


 *Program Setengah Hati tanpa Solusi Pasti* 


Sepintas, program ini seakan menunjukkan kepedulian negara pada kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Namun, ternyata program ini sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan negara kepada seluruh warga untuk mendapatkan layanan pendidikan secara murah.


Berdasarkan Susenas 2022, jumlah WNI yang pemuda (16—30 tahun) diperkirakan ada sebesar 65,82 juta jiwa atau hampir seperempat total penduduk Indonesia (24,00 persen). Dari sisi tingkat pendidikannya, hanya sekitar 10,97 persen pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi (PT). Itu pun lebih banyak dicapai oleh pemuda yang tinggal pada kelompok distribusi pengeluaran rumah tangga yang tinggi. Artinya, kelompok masyarakat dengan pengeluaran pendapatan yang rendah cenderung tidak mengakses pendidikan tinggi.


Persoalan terkait mahalnya biaya pendidikan di Indonesia pun pernah tergambar dalam hasil survei HSBC pada 2017 lalu. Indonesia berada di urutan ke-15 sebagai negara dengan biaya pendidikan termahal secara global. Terungkap dari catatan rata-rata biaya yang harus dikeluarkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya dari tingkat SD hingga kuliah mencapai US$18.433, setara dengan 249,73 juta.


Sejatinya, problem layanan pendidikan saat ini merupakan dampak dari tata kelola pendidikan yang kapitalistik, yakni ketika pendidikan diposisikan sebagai jasa yang harus dikomersialkan (sesuai perjanjian General Agreement on Trade in Services). Akhirnya, pendidikan diselenggarakan mengikuti pasar kapitalistik. Yang bermodal yang dapat mengakses, sedangkan yang miskin harus rela dengan biaya pendidikan yang makin mahal atau bahkan tidak bisa mengakses sama sekali.


Meski pemerintah telah menerbitkan peraturan, semisal UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (PT), sehingga berkewajiban meningkatkan akses dan kesempatan belajar di PT dan menyiapkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif, tetapi faktanya hal itu tidak berjalan.


PIP dan KIP hanyalah program setengah hati. Ketulusan negara memberikan layanan murah pendidikan sangat disangsikan. Jika tulus, seharusnya negara mencabut peraturan dan tata kelola kapitalistik yang menyebabkan mahalnya biaya pendidikan. Negara juga seharusnya serius meningkatkan kesejahteraan dengan cara meninggalkan tata kelola ekonomi kapitalistik sehingga semua rakyat sama-sama berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan.


Disisi lain, jika memang benar-benar tulus, negara seharusnya memperbaiki berbagai birokrasi dan administrasi yang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan bantuan pembiayaan. Sebagaimana diketahui, syarat wajib agar terdaftar KIP adalah memiliki akun KIP di situs resmi. Padahal, akses untuk sampai ke situs resmi pun amat beragam. Tidak semua lapisan masyarakat mampu, terlebih pendaftaran juga harus dilakukan oleh mandiri. Ini tentu menghadirkan kesulitan sendiri.


Belum lagi sejumlah syarat lain yang harus dipenuhi, seperti peserta KIP harus memiliki potensi akademik baik, tetapi memiliki keterbatasan ekonomi dan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru pada Prodi dengan Akreditasi A atau B (dimungkinkan dengan pertimbangan tertentu pada Prodi dengan Akreditasi C). Syarat ini pun memberatkan.


Proses pembuatan akun KIP juga tidak bisa melalui perantara desa ataupun sekolah. Ketika siswa tidak membuat akun KIP masing-masing, secara otomatis mereka tidak terdaftar KIP. Nah, betapa banyak yang akhirnya tidak berkesempatan mendapatkan KIP.


Demikianlah, berbagai syarat mendapatkan bantuan tersebut memang begitu rumit. Mungkin terkesan wajar karena jumlah penerima begitu sedikit dibandingkan jumlah peminatnya. Namun, kondisi ini senyatanya menunjukkan sikap nirempati dari negara. Seyogianya negara memudahkan dan mencari berbagai cara agar layanan pendidikan benar-benar dirasakan seluruh lapisan masyarakat.


Ironisnya, inilah yang terjadi. Negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai operator. Tata kelola seperti ini menegaskan kelalaian negara dalam tanggung jawabnya sebagai pengatur urusan rakyat.


 *Islam Memandang* 


Negara sejatinya bisa menjamin layanan pendidikan secara murah bahkan gratis jika saja mau menerapkan sistem Islam secara kafah (Khilafah), baik dalam tatanan politik maupun ekonomi.


Dalam tatanan politik, negara secara tegas berfungsi sebagai penanggung jawab dan pelaksana langsung pengelolaan pendidikan. Negara tidak akan melemparkan tanggung jawab kepada swasta (korporasi) ataupun masyarakat. Negara pun tidak boleh mengomersialkan pendidikan kepada rakyat.


Adapun secara ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga memiliki sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan. Biaya pendidikan akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Semua diatur melalui mekanisme Baitulmal.


Pendidikan merupakan kebutuhan primer masyarakat yang harus dijamin pemenuhannya oleh negara secara langsung. Negara akan memastikan seluruh rakyat mendapatkan pelayanan tersebut, tidak mengenal miskin atau kaya, pintar atau tidak. Semuanya dilayani dan diberi kemudahan akses. 


Demikianlah pengaturan pendidikan dalam sistem Islam (Khilafah). Akses layanan pendidikan mudah, kemajuan masyarakat pun bukan hal sulit. Bukan hanya Indonesia emas saja yang terwujud, dunia pun akan gemilang karenanya. Wallahu 'alam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post