Pinjol Dana Pendidikan, Petaka atau Solusi?

 


Oleh Ninik Rahayuningsih

Pegiat Literasi

 

Baru-baru ini mencuat berita kerjasama Institut Teknik Bandung yang berkerjasana dengan Pinjol PT Inclusive Finance Group (Danacita) dalam memberikan kemudahan pembiayaan uang kuliah tunggal (UKT). Bahkan Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Pengembangan, Muhammad Abduh, mengatakan bahwa kerjasama ini sudah dimulai sejak Agustus 2023 silam dan aplikasinya baru bisa diakses mulai bulan januari 2024 kemarin (media online mencoba.id, 31/01/24).

 

Selain ITB, setidaknya sudah ada 83 perguruan tinggi yang menggunakan layanan danacita ini. Bahkan ada kampus di kota malang, Institut Teknologi Nasional, sudah meneken MoU serta penandatanganan naskah Perjanjian Kerja Sama (PKS/MoA) dengan danacita sejak tahun 2022 secara online (danacita, 15/02/22). Apakah benar bahwa keberadaan pinjol legal ini dapat menjadi solusi terhadap semakin tingginya biaya pendidikan bagi pelajar dan mahasiswa ataukah justru sebaliknya, menyimpan bom waktu permasalahan dunia pendidikan yang makin pelik?

 

Melansir dari situs resmi perusahaan, inancial technology (fintech) danacita ini merupakan lembaga jasa keuangan non bank yang berdiri sejak tahun 2018 dan sudah mengantongi ijin dari OJK sebagai lembaga penyedia jasa pinjaman online terutama bagi para pelajar dan tenaga profesional, serta memiliki misi membangun masa depan generasi muda di Asia Tenggara. Tercatat hingga saat ini ada sekitar 27.440 pengguna danacita dengan total mitra pendidikan mencapai 148  yang terdiri dari perguruan tinggi dan tempat kursus. Keberadaan fintech ini diklaim menjadi alternatif lebih baik daripada pinjaman yang berasal dari perbankan. Ada banyak kelebihan yang ditawarkan diantaranya kemudahan akses pinjaman tanpa jaminan, uang muka, biaya administrasi, serta bunga pinjaman yang kompetitif dengan pinjol lainnya. Prosesnya pun dilakukan secara online hanya dengan mengakses aplikasinya langsung (cnnindonesia, 29/01/24).

 

Jika ditelisik secara mendalam, setidaknya ada 2 hal yang menjadikan solusi pinjol ini justru membawa petaka bagi masa depan bangsa dan masyarakat Indonesia. Pertama, keberadaan pinjol ini seperti madu berbalik racun dimana secara tidak langsung akan semakin mengurangi tugas negara dalam memberikan jaminan pendidikan yang layak dan mudah diakses bagi seluruh masyarakat. Dengan semakin tingginya biaya pendidikan (akibat dari liberalisasi sektor pendidikan) menjadikan tanggung jawab jaminan pendidikan oleh negara itu jadi sulit diraih. Karena beban pembiayaan itu sekarang beralih ke pundak masing-masing individu rakyat dengan iming-iming kemudahan mengajukan pinjaman dana pendidikan dari lembaga swasta. Negara merasa tidak perlu lagi untuk mengurusi masalah pendidikan terutama biaya pendidikan karena sudah ada lembaga swasta yang membantu memberikan dana pinjaman. Meskipun disisi lain, negara mengklaim bahwa anggaran pendidikan dari APBN dari tahun ke tahun mengalami kenaikan, bahkan tahun ini anggaran mencapai 600T lebih. Seolah paradoks dengan realistas yang terjadi, menjadi pertanyaan selanjutnya kemanakah 600T lebih itu jika semakin lama campur tangan pemerintah dalam dunia pendidikan (masalah biaya pendidikan) semakin berkurang entah karena program liberalisasi pendidikan ataupun munculnya lembaga keuangan swasta pemberi pinjaman. Kedua, dengan memberikan andil lembaga swasta penyedia pinjol berbasis bunga (riba) berarti negara ini secara sengaja membiarkan rakyatnya untuk terlibat dalam aktifitas kemaksiatan (memakan riba) yang sangat diharapkan dalam islam. Negara justru membuka kran seluas-luasnya atas keharaman ini menimpa masyarakat. Padahal sudah banyak diketahui akan mudhorot dari menggunakan riba ini, selain juga dosa yang sangat besar disisi Allah SWT, seperti dosa menzinahi ibu kandung sendiri. Naudzubillahi mindzalik.

 

Dua petaka diatas menjadi hal yang lumrah terjadi pada negara yang menerapkan sistem sekulerisme - kapitalisme seperti yang terjadi sekarang ini. Sistem ini meniscayakan aturan kehidupan (sektor pendidikan) diatur dengan undang-undang dan regulasi buatan penguasa yang jauh dari ajaran agama (islam). Tidak aneh jika riba yang oleh islam dianggap sebagai dosa besar, justru dalam sistem sekarang dihalalkan bahkan diberikan fasilitas oleh negara. Negara yang seharusnya bisa menjadi pengayom dan pemelihara urusan rakyat yang termanahkan dalam UUD 1945 pun tidak terjadi. Negara justru menjadi wakil swasta dan asing dalam menjamin kemakmuran mereka, alih-alih memperhatikan rakyatnya. Jika tulus mengurusi rakyat tentunya tidak  akan namanya biaya pendidikan mahal apalagi sampai membiarkan riba merajalela.

 

Sesungguhnya rakyat ini sudah begitu jenuh dan bosan bahkan mungkin hampir putus asa terhadap kejamnya kehidupan yang telah diciptakan oleh sistem sekuler kapitalisme ini. Dimana kepentingan rakyat harus kalah dengan kepentingan elit penguasa (oligarki) dan kepentingan swasta asing. Sungguh rakyat begitu merindukan sistem yang baru, sistem yg benar dan layak bagi manusia, yaitu sistem yang lahir dari pencipta kehidupan, Sistem Islam yang diridhoiNya. Insyaallah dengan sistem ini, keberkahan akan selalu melimpahi rakyat dan penguasa, sebagaimana janjiNya

 

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan." (Q.S. Al-A’raf: 96)


Wallahualam bissawab

 

Post a Comment

Previous Post Next Post