Pesta Demokrasi Mimpi Para Oligarki


Oleh:Ummu Aqilla


Pesta demokrasi akan segera dilaksanakan dengan di tandai rakyat indonesia masih sibuk dengan menyalurkan aspirasinya,akan tetapi tidak berlaku bagi cerita di balik pergelarannya yang masih riuh di gadang gadangkan tentang capres dan cawapresnya dan para caleg calegnya.


Setiap kali pernyelenggaraan pemilu, entah itu pilpres, pileg atau pilkada selalu diwarnai polemik. Baik berupa kerusuhan antar pendukung, politik uang maupun kecurangan yang menyertainya.


Justru yang terbukti adalah kuasa uang dan Oligarki menjadi lebih kuat hal itulah yang di khawatirkan oleh para Founding Father/Mothers bahwa sistem demokrasi liberal melanggengkan kekuasaan kafitalisme.


Karena kuasa uang dan modal untuk memenangkan pertarungan dalam pemilu maka tidak bisa dihindari nafsu mengakumulasi modal ketika menjabat  berakibat terbukti banyaknya wakil rakyat yang berurusan dengan korupsi dan di tangkap KPK.


Kalau ditelaah dana Bansos yang diberikan pemerintah dikhawatirkan disalahgunakan dan didompleng untuk kepentingan peserta pemilu baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden.


Walaupun pemerintah membantah, tapi masyarakat melihat fakta yang berbeda. "Pemerintah sudah pasti membantah, penyaluran bansos jelas disebutkan tidak berkaitan dengan pemilu termasuk pilpres. Bansos merupakan hak rakyat sebagai perlindungan saat harga kebutuhan merangkak naik. Namun publik disuguhi kenyataan yang lain. Misalnya menteri perdagangan yang juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan saat berkampanye di Kendal Jawa Tengah, Bansos dan bantuan langsung tunai (BLT) itu berasal dari Jokowi. bukan dari negara," Jelasnya.


Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi dermawan, memprediksi bahwa angka golput di pemilu 2024 berada di kisaran 18%-29% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres. Kondisi ini menjadikan pihak-pihak tertentu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, dengan melegalkan kebijakan yang menjadikan ODGJ mempunyai hak sebagai pemilih di pemilu. Ditambah lagi, pemilu sudah diwarnai tuduhan kecurangan yang berimbas pada turunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti partai politik dan aparat hukum.


Sistem ini juga sangat rumit sangat berat bagi para penyelenggara pemilu  dan pemborosan uang negara karena biaya  yang besar tidak bisa di hindari.


Beginilah wujud demokrasi kapitalisme, dimana demokrasi yang berbiaya mahal memang membuka peluang segala bentuk kecurangan, tak terkecuali politik uang. Di sisi lain rendahnya kesadaran politik dalam masyarakat membuat para calon wakil rakyat sangat mudah melakukan money politic.


Demokrasi menjadi ajang rebutan kekuasaan antar para pejabat. Bukan lagi mengayomi rakyat, pejabat hari ini malah sibuk dengan semangat menumpuk kekayaan dari jabatan namun miskin perhatian kepada rakyatnya. Seolah rakyat hanya dibutuhkan saat para pejabat menginginkan suara masyarakat pada proses Pemilu dan Pilkada. Hal itu dilakukan dengan mengumbar janji-janji manis yang ternyata sebagian besar tidak diwujudkan sampai batas waktu mereka lengser dari jabatannya, miris. Inilah jebakan sistem demokrasi yang merupakan turunan dari Sistem Kapitalis yang saat ini menguasai dunia. Tidak ada hal "indah" yang dilahirkan dari sistem ini, melainkan sejumlah pederitaan demi penderitaan yang dirasakan umat manusia.


Masyarakat tidak menyadari jika suaranya dibeli oleh para calon, agar para calon bisa duduk di kursi kekuasaan. Akibatnya yang terpilih hanyalah orang-orang yang dikenal, diketahui dan disukai oleh masyarakat sekitar saja melalui politik uang yang diterima. Dan kondisi ini, semakin hari kian tumbuh subur.


Beginilah jika sistem demokrasi yang diberlakukan, meniscayakan permainan politik uang untuk meraih kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk meraih suara terbanyak. Di dalam demokrasi, suara mayoritas sebagai hasil penentu akhir dari suatu keputusan. Padahal kebenaran tidak bisa diukur dari suara mayoritas.


Pemilu adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Namun, pemenang pemilu tidak ada korelasinya dengan masyarakat, karena pemenang kekuasaan sudah ditentukan para kapitalis untuk dijadikan pemimpin.


Tabiat sistem demokrasi adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Seperti yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, siapa yang meraih suara terbanyak tidak dijamin akan menjadi pemimpin. Ada semacam penyiapan atau 'setingan' siapa orang yang akan disiapkan sebagai pemimpin.


Dalam Islam, kepemimpinan tidak bertujuan meraih kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan golongan seperti dalam sistem kapitalis. Akan tetapi, kekuasaan adalah amanah untuk melayani  kemaslahatan umat, menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat untuk mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Karena itu, penerapan aturan Islam akan mendatangkan rahmat bagi manusia dan alam semesta.


Sehingga para calon pemimpin menyadari bahwa kekuasaan atau jabatan merupakan sebuah amanah yang harus diembannya. Yang mana akan dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat sekaligus oleh Allah SWT. Pemimpin dalam Islam tidak akan berlomba-lomba hanya untuk meraih kekuasaan semata.


Allah SWT berfirman:

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)


Oleh karena itu, solusi yang hakiki adalah dengan kembali kepada aturan Islam yang berasal dari Sang Khalik, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah akan menjalankan sistem politik Islam berdasarkan syariat Islam yang wajib dipatuhi oleh negara dan warga negara.


Penguasa akan terhina jika menghianati perintah Allah untuk mengatur kekuasaan dalam Islam, sedangkan rakyat akan menjadi korban penerapan aturan yang rusak.

Dalam pemilihan Khalifah, siapapun yang dibai'at, dia adalah pemimpin yang sah. Rakyatpun akhirnya tidak pusing berdebat tentang quick count, real count dan exit poll seperti yang terjadi dalam sistem Demokrasi ini. Metode Baiat bisa dengan penunjukan seperti terpilihnya Umar bin Khattab menjadi Khalifah, tapi bisa juga dengan teknis musyawarah oleh tokoh masyarakat seperti pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah. pemilihan.


Dalam Islam rakyat memilih pemimpin sebagai wakil rakyat (umat) untuk menjalankan penerapan Islam secara kaffah di dalam negeri dan melakukan dakwah dan jihad ke luar negeri.

Melalui metode baiat, akad antara pemimpin (khalifah) dengan umat mengandung konsekuensi bagi khalifah untuk menjalankan akad tersebut, dan konsekuensi bagi umat untuk sami'na wa atha'na terhadap khalifah, taat terhadap segala kebijakannya yang sesuai dengan syariat Islam, dan siap melakukan koreksi terhadap khalifah ketika menyalahi hukum syara. Artinya, rakyat (umat) yang memilih harus berakal, memahami konsekuensi dari sebuah pilihan. Rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari sistem Islam.


Pada proses pemilihan Khalifah, para tokoh (ahlul halli wal aqdi) yang berjumlah 6 orang akan bermusyawarah untuk memilih pengganti Khalifah Umar bin Khattab. Panitia kecil ini (dengan jumlah 6 orang) tentu saja hemat biaya daripada Pemilu yang diadakan saat ini. Keenamnya sudah merupakan representasi suara rakyat dan para mereka adalah orang-orang yang pilihan dari yang terbaik, dengan dasar dan dukungan berupa kepercayaan dari masyarakyat, sehingga hasil yang mereka keluarkanpun tidak mengecewakan dan disetujui rakyat, yaitu terpilihnya Khalifah Utsman bin Affan.  Hal di atas hanyalah salah satu contoh dari gemilangnya Khilafah Islam dalam mengelola negara. Karena Negara dalam pandangan Islam adalah pengurus rakyat, yang akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT saat Hari Perhitungan. 


Rasulullah Saw. bersabda:


 Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ “


Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”  (HR al-Bukhari).



Diperkuat dengan Sabda Rasulullah Saw. tentang haramnya surga bagi pemimpin yang mengkhianati rakyatnya: 


"Tidaklah seorang hamba yang Allah minta dia mengurus rakyat, dia mati pada hari di mana dia menipu (mengkhianati) rakyatnya kecuali Allah haramkan baginya surga" (HR al-Bukhari dan Muslim).


Dengan tugas yang jelas dan tegas bagi seorang Khalifah sebagaiman sabda Rasulullah Saw:


 Ø¥ِÙ†َّÙ…َا الْØ¥ِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ


 ”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).


Untuk itu, saatnya beralih ke sistem yang sahih yang berasal dari Allah Swt. yang akan membentuk pemimpin yang saleh, amanah dalam memimpin dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Wallahu alam bis shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post