Pesta Demokrasi Menjelang, Serangan Fajar Berdatangan


Oleh : Mesi Tri Jayanti S.H.


Pesta demokrasi tinggal menghitung hari. Banyak partai kandidat yang memberikan “serangan fajar” kepada masyarakat dalam bentuk amplop dan sembako, maupun berbagai fasilitas lain yang memiliki nilai uang. Serangan fajar alias praktik politik uang bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa ini. Tentu saja, demi memenangi kontestasi, siapa pun rela melakukan berbagai macam cara, termasuk bagi-bagi serangan fajar.  


Sejak pemilu-pemilu sebelumnya, praktik kotor ini terus saja terjadi. Aktivitas memberi atau menerima uang/barang dengan tujuan keuntungan politis, terus saja berlangsung meskipun sudah ada aturan yang melarangnya.


Praktik curang ini secara tidak langsung menampakkan dengan gamblang noda demokrasi. Kejujuran suara rakyat yang dielu-elukan ternyata mampu dibeli dengan uang. Tidak heran, siapa saja yang punya banyak modal, ialah yang berpeluang untuk menang. Inilah wajah asli demokrasi yang merupakan sistem buatan manusia. Manusia dapat mengakali setiap aturan yang diputuskan, termasuk soal pemilihan.


Lebih jauh lagi, praktik ini juga mendorong prilaku korupsi karena adanya biaya politik yang tinggi. Pasalnya, calon peserta pemilu atau pilkada harus mengeluarkan biaya puluhan hingga ratusan milyar untuk memenangkan pemilihan. Biaya ini dapat digunakan untuk membayar tim kampanye, iklan, dan menyogok pemilih untuk meraup suara pemilih. 


Untuk menutupi biaya politik yang tinggi, calon peserta pemilu atau pilkada yang melakukan politik uang akan cenderung untuk melakukan korupsi setelah terpilih. Logika sederhananya, seorang yang menggelontorkan modal di awal yang besar, pasti ingin modal kembali. Dengan gaji yang sedikit, maka solusinya adalah dengan korupsi. Korupsi dapat dilakukan dengan cara menyalahgunakan jabatan atau kewenangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.


Adapun korban terbesar praktik politik kotor ini lagi-lagi adalah rakyat. Alih-alih dididik agar cerdas politik, rakyat justru dibiarkan bodoh agar terus bisa dikorbankan. Masa depan mereka digadai hanya demi memuaskan ambisi berkuasa segelintir orang, juga parpol-parpol rakus yang mengusungnya. Mereka tetap menderita, meski katanya sudah bebas merdeka.


Kondisi ini wajar terjadi sebab secara fitrah, manusia memiliki garizah baqa’ (garizah eksistensi); menjadikan mereka ingin disanjung, dihormati, dan menguasai segalanya. Akan tetapi, dalam sistem demokrasi, demi memenuhi semua ambisi, manusia rela melakukan berbagai cara agar dapat berkuasa, termasuk bertindak curang dengan politik uang.


Perlu diketahui bahwa, politik uang tidak hanya ada di negeri ini melainkan juga di negara-negara luar. Artinya, politik uang ini dipengaruhi oleh nuansa aturan yang diterapkan, yakni mengambil kapitalisme sebagai landasan aturan. Apalagi pesta demokrasi sendiri mengikuti standar negara-negara Barat kapitalistik.


Kapitalisme merupakan ideologi yang mengedepankan kepentingan duniawi (materi) dengan sekularisme sebagai dasarnya. Inilah yang menyebabkan sistem pemerintahan apa pun, jika landasannya adalah kapitalisme, pasti akan rentan dengan politik uang. Kapitalisme mengutamakan hasil, tidak penting prosesnya jujur dan adil ataupun tidak.


Berbagai aturan mengenai politik uang memang sudah digalakkan. Misalnya, pasal 47 UU 1/2015 tentang Penetapan PP Pengganti UU 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota; juga pasal 228 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Hanya saja, aturan ini seolah sekadar tulisan di atas kertas dan dibuat untuk dilanggar. Buktinya, bertahun-tahun aturan tersebut ada, nyatanya politik uang terus bergentayangan.


Begitulah, selama “niat baik” penghapusan politik uang ini berdasarkan pada aturan buatan manusia, selama itu pula tidak akan pernah bisa menghapus praktik haram ini.  


Dalam Islam jelas mengharamkan berlaku curang, termasuk politik uang. Politik uang telah ditegaskan Allah SWT di dalam kitab suci Al-Quran sebagai strategi baku kaum kafir dan munafik. Selain itu, politik uang juga sebagai bentuk kecurangan mereka untuk memenangkan persaingan atau pertempuran.


Hal itu tertulis pada QS. al-Anfal 36-37 : "Sesungguhnya orang-orang kafir itu akan terus menggelontorkan harta benda mereka (mata uang dan lainnya) untuk mencegah masyarakat dalam menjalankan ajaran Allah SWT, mereka akan terus menggelontorkan harta mereka hingga menjadi bangkrut dan ludes. Setelah itu, mereka dapat dikalahkan di dunia dan dikumpulkan di dalam neraka jahanam saat mereka mati (banyak orang yang senang menerima gelontoran uang itu), dengan demikian Allah SWT menyaring orang orang yang kotor hatinya dari orang-orang yang bersih hatinya. Lalu, Allah SWT mengumpulkan orang-orang yang kotor hatinya itu menjadi satu kelompok yang terikat satu sama lain. Lalu, pada hari kiamat nanti Allah mengumpulkan mereka itu bersama-sama di dalam neraka jahannam. Itulah kerugian terbesar untuk mereka".


Dalam ayat ini jelas bahwa politik uang telah dilekatkan oleh Allah terhadap orang-orang kafir. Orang kafir identik dengan kecurangan dan politik uang sepanjang zaman di berbagai belahan bumi ini termasuk di Indonesia.


Rasulullah SAW juga bersabda, dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap."  [HR Tirmidzi dan Abu Dawud] 


Lebih jauh, dalam hadits tersebut, Rasulullah saw tidak hanya melaknat penyuap dan penerima suap, tetapi juga melaknat orang yang menjadi perantara antara keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah swt dan Rasul-Nya.


Selain itu, dalam sistem Islam terdapat sanksi tegas bagi orang-orang yang terlibat suap. Sanksi ini bisa membuat jera pelaku kecurangan dan mencegah orang-orang untuk bertindak curang. Di sisi masyarakat, mereka juga sudah terkondisikan dengan suasana keimanan sehingga akan menolak manakala terjadi praktik politik uang. 


Dalam proses pemilihan pun para calon telah paham bahwa dalam Islam menjadi pemimpin merupakan amanah dan tanggung jawab yang besar. Mereka paham bahwa kepemimpinan bukan hanya bicara masalah kekuasaan di dunia, tetapi juga akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Alhasil, mereka tidak akan berani main-main, apalagi dengan cara politik uang.


Demikianlah, semua itu hanya bisa terwujud tatkala Islam menjadi landasan hidup secara menyeluruh. Selama negeri ini masih memakai sistem Barat (buatan manusia), politik uang akan terus bergentayangan. Jalan satu-satunya untuk membuang politik uang adalah dengan menerapkan aturan Islam  secara menyeluruh dalam kancah kenegaraan sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Wallahua'lam bish-shawwab[]

Post a Comment

Previous Post Next Post