Dilansir dalam tirtoid - Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian, regulasi yang kerap disalahgunakan karena pasal karet ini resmi berlaku. Dinukil dari laman JDIH Setneg, alasan merevisi UU ITE karena keberatan publik dalam penerapan aturan pidana dalam UU ITE sebelumnya. Dimana alasan revisi juga dilakukan karena aturan sebelumnya belum dapat menyelesaikan masalah.
Dalam revisi UU ITE ini memuat sejumlah perubahan. Pertama, pemerintah dan DPR sepakat mengubah isi Pasal 27. Kini, ditambahkan klausul mereka yang sengaja dan tanpa hak menunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan / atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan untuk diketahui umum maupun dokumen muatan perjudian. Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis.
Revisi UU ITE masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses. Pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia. Kurangnya transparansi ini pun dapat menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite, dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Padahal pada muatan materi pokok revisi pertama UU ITE itu diharapkan mampu menjawab dinamika TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di Indonesia. Melalui revisi UU ITE tersebut, pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Dimana revisi UU ITE jilid I ini pun diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Dan masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi.
Bongkar pasang UU sebagaimana revisi jilid II UU ITE ini sejatinya tidaklah mengherankan. Hal yang demikian itu sudah biasa terjadi dalam demokrasi kapitalisme yang senantiasa berasas pada kemanfaatan dan berjalan demi memuluskan berbagai kepentingan.
Akibatnya, standar benar (hak) dan salah (batil) menjadi samar dan tidak jelas. Begitu pula dengan fungsi teknologi informasi yang semestinya memudahkan urusan manusia, nyatanya di tangan sistem yang batil malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Inilah yang tidak boleh terjadi.
Kondisi ini sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem islam, yang tidak lain adalah sebagai sarana dakwah dan penyampai kebenaran. Yang di dalamnya, penguasa yang bertakwa berperan menerapkan aturan Allah Taala secara kafah.
Dalam bidang teknologi informasi, sistem islam tidak akan menggunakannya untuk tindakan memata - matai rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Ini karena aktivitas memata-matai sesama muslim adalah sebuah keharaman.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Di sisi lain, teknologi informasi beserta sarana media lainnya akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan umat, penyalur aspirasi rakyat, serta alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat bertujuan untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.
Sungguh, sistem Islam akan memposisikan teknologi informasi dan media sebagai sarana untuk berperan aktif menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa dalam keridhaan Allah Taala.
Wallahu A’lam bish shawab
Post a Comment