Oleh: Rina Ummu Riefa
(Aktivis Muslimah)
Pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi setiap warga negara, yang keberadaannya harus terpenuhi secara merata. Untuk itu dibutuhkan adanya support negara dalam mewujudkan sistem pendidikan yang baik, karena Sistem pendidikan yang baik akan menciptakan SDM yang unggul. Semakin tinggi kualitas pendidikan suatu negara, maka negara tersebut semakin maju. Sebaliknya semakin rendah kualitas sistem pendidikan suatu negara maka negara tersebut akan terbelakang. Tak terkecuali Indonesia, yang saat ini berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan Program Indonesia Pintar (PIP).
PIP adalah program yang memberikan bantuan uang tunai, memperluas akses pendidikan, dan memberikan kesempatan belajar kepada siswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin. Tujuan dari program ini adalah mencegah siswa dari risiko putus sekolah dan memotivasi mereka untuk terus melanjutkan pendidikannya. Dana PIP memberikan harapan bagi banyak siswa yang membutuhkan bantuan finansial untuk melanjutkan pendidikan mereka. Program ini adalah bukti nyata dari komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan akses pendidikan dan menciptakan peluang bagi generasi muda untuk meraih pendidikan yang lebih baik.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim melaporkan, hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100 persen target, yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima. Bantuan itu menelan anggaran sebesar Rp 9,7 triliun setiap tahunnya. Pada 2024 ini, Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan SMK sebanyak 99.104 pelajar.
Pada tahun ini, kata dia, Kemendikbudristek menambah sasaran untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan jenjang SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan jumlah sasaran tersebut bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula Rp 1.000.000 menjadi Rp 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK.
Penyaluran bantuan PIP dilakukan Kemendikbudristek melalui Pusat Layanan Pembiayaan (Puslapdik). Nadiem menuturkan, dengan semangat Merdeka Belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong royong dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan (Republika, 26-1-2024)
PIP: Program dengan Kesuksesan Utopis
Pemerintah Jokowi telah mengalokasikan sekurang-kurangnya 20 persen anggaran pendidikan dari APBN. Pada perjalananya, anggaran pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tahun ini saja, anggaran pendidikan mencapai Rp 612,2 triliun. Anggaran tersebut terdiri dari Rp 237,1 triliun melalui belanja pemerintah pusat, Rp 305,6 triliun melalui tranfer ke daerah, dan Rp 69,5 triliun melalui pembiayaan. Jika dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah ini meningkat dari Rp5 74,9 triliun.
Namun pada perjalanannya, Peningkatan Anggaran Pendidikan tersebut tidak berkorelasi dengan Tren Angka Putus Sekolah di Indonesia yang masih terus mengalami peningkatan.
Sejatinya PIP adalah program yang memberikan bantuan uang tunai, memperluas akses pendidikan, dan memberikan kesempatan belajar kepada siswa yang berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin, Namun hal ini tidak lantas berpengaruh besar pada perubahan tren putus sekolah yang didominasi karena banyaknya masalah pendidikan di Indonesia berasal dari faktor ekonomi yang merupakan faktor utama angka putus sekolah tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 76 persen keluarga mengakui penyebab utama anak mereka putus sekolah karena ekonomi.
67 persen mengaku sulit membayar biaya pendidikan sekolah yang terus meningkat, sisanya harus mencari nafkah. Sepanjang tahun ajaran 2022/2023 tercatat angka putus sekolah di Indonesia dari semua jenjang mencapai 76.834 orang. Rinciannya, siswa putus sekolah tingkat SD 40.623 orang, SMP 13.716 orang, SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang. Kenyataan ini kontras dengan langkah pemerintah untuk mendorong pendidikan di Indonesia. (ViVACOIDNETWORK, Selasa 27 Juni 2023).
Tidak Meratanya Kualitas Pendidikan
Nadiem mengeklaim, kualitas pelaksanaan program PIP adalah bagian dari upaya pemerataan hak dan kualitas pendidikan. Bantuan PIP ini bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Dengan begitu semua anak Indonesia diharapkan dapat merasakan manfaat dari program tersebut. Untuk itu, para pelajar diharapkan pandai mengatur dana bantuan PIP yang sudah diberikan.
Hanya saja, menilik nominal bantuan yang diberikan dengan skalanya yang per tahun, sejatinya tidak sepadan dengan harga-harga kebutuhan sekolah peserta didik. Coba saja kita hitung, misalnya untuk yang jenjang SD. Jika besaran bantuannya Rp450.000 per tahun, maka per bulan bantuan itu hanya senilai Rp 37.500. Untuk pembelanjaan alat belajar, nominal tersebut hanya cukup untuk membeli buku tulis satu pak yang berisi 10 buku.
Sementara itu, kebutuhan sekolah tidak hanya buku tulis. Masih ada kebutuhan lainnya, seperti alat tulis, buku pelajaran, baju seragam, juga uang jajan harian anak-anak. Belum lagi dengan sejumlah agenda ke luar sekolah seperti Kegiatan Tengah Semester (KTS) yang wajib di setiap tengah semesternya, yang tentu saja ada dana pribadi dari pihak peserta didik.
Mencermati kondisi yang ada, maka keberadaan program PIP ibarat “Jauh Panggang dari Api”, boleh saja mengklaim bantuan telah mencapai target 100% tersalurkan, sayangnya yang dimaksud dengan 100% penyaluran dana yang alokasinya juga dilakukan bertahap ternyata belum mencakup 100% jumlah anak didik yang ada. Hal inilah yang tidak akan pernah bisa merubah kondisi pendidikan di Indonesia. Ditambah lagi adanya akses Pendidikan yang belum merata, juga kondisi sarana prasarana, baik kuantitas ataupun kualitas. Pendidikan Indonesia masih banyak PR nya. Apalagi Kualitas Pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, namun juga kurikulum dan SDM pendidiknya.
Jaminan Pendidikan Gratis dan Berkualitas dalam Islam
Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Juga dalam hadis, “Imam/Khalifah itu laksana gembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jelas, semua aspek di bidang pendidikan akan berbeda ketika pendidikan diselenggarakan sebagai bagian dari kebutuhan publik sehingga tidak dibebankan kepada kantong individu rakyat. Akan sangat berat jika kebutuhan publik harus dibiayai secara pribadi. Itulah pentingnya bahwa pendidikan semestinya dibiayai oleh negara, yakni sebagai wujud pengurusan urusan umat dari penguasa kepada rakyatnya.
Sayangnya, kapitalisme memandang bahwa pendidikan—yang sejatinya kebutuhan asasi masyarakat—justru merupakan komoditas ekonomi. Belum lagi adanya UU Cipta Kerja yang menjadikan pendidikan sebagai salah satu klaster ekonomi, tentu para lulusan sistem pendidikan cenderung mencetak generasi pekerja dibandingkan generasi pemikir dan pemimpin. Lantas, pada sisi mana kualitas pendidikan akan tercapai?
Berbanding terbalik dengan semua itu, Khilafah sebagai sistem pemerintahan negara Islam akan menyelenggarakan pendidikan sebagai kebutuhan asasi publik. Posisi pendidikan sebagai bagian dari kewajiban thalabul ilmi (menuntut ilmu) pun ditunaikan secara proporsional. Lebih dari itu, pendidikan adalah prototipe peradaban masa depan. Pendanaan pendidikan dalam Khilafah pun ditanggung seutuhnya oleh negara.
Tidak heran jika format pendidikan dalam Khilafah ini jauh dari kata menzalimi rakyat atas nama kualitas rendah yang diiringi biaya tinggi. Sebaliknya, sistem pendidikan era Khilafah siap mencetak khairu ummah (generasi terbaik) dan berkualitas dengan biaya gratis dari negara. Rakyat tidak dibiarkan memikirkan dan terbebani secara individual akan keberlangsungan pelaksanaan pendidikan berikut pembiayaannya.
Di dalam kas baitulmal, Khilafah memiliki banyak pos pendanaan yang bisa digunakan untuk membiayai kebutuhan publik sebagaimana pendidikan. Baitulmal memiliki jalur-jalur harta kepemilikan umum yang siap untuk mendanai pendidikan pada berbagai jenjang serta dengan sarana dan prasarana terlengkap. Wallahualam bissawab.
Post a Comment