Oleh Siti Fatima (Aktivis Dakwah)
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp. 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. PPATK juga mencatat nilai transaksi dari 100 daftar calon tetap keluar dengan total nilai Rp. 5,8 triliun. (cnbcindonesia.com, 12/1/2024)
Laporan ini ditemukan adanya peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024. Tercatat ada 704 juta pembukaan rekening baru. Menurut kepala PPATK, Ivan Yustiavandana mengatakan acuan pembukaan rekening terlihat dari (CIF) Cutomer Identification Form. Dia menduga pembukaan rekening ini berkaitan dengan kontestasi politik.
"Dilihat ada total 704.068.458 CIF terbuka di 2022 sampai trimester 2023 hingga september. Totalnya ada 704 juta rekening baru terbuka. Itu dibuka oleh korporasi 53 juta, dan individu ada 650 juta. (liputan6.com, 11/1/2024)
Adanya aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan kontestasi pemilu saat ini berpontensi sarat kepentingan umat. Harus waspada bahaya pendanaan tersebut, yaitu tergadaikannya kedaulatan negara. Sehingga siapapun yang terpilih menjadi pemimpin tidak mengurusi urusan umat, melainkan memuluskan agenda atau kepentingan pihak yang telah memberikan pendanaan.
Kondisi tersebut sudah nyata terjadi. Umat bisa melihat arah pembanggunan penguasa saat ini yang makin memperbesar investor asing seperti kereta api cepat, proyek Rempang Eco City dan Infrastruktur lainnya. Belum lagi UU minerba yang makin liberal membuat korporat swasta makin beringas mengeruk kekayaan negeri ini. Semua ini menjadi satu keniscayaan, mengingat politik demokrasi saat ini berbiaya tinggi.
Oleh karena itu, legalisasi kepemimpinan dalam demokrasi berdasarkan suara mayoritas. Tak heran politik membutuhkan dana besar untuk meraup suara. Di sinilah para pemilik modal berpeluang berpartisipasi dalam pemilu. Setelah mengucurkan dana, tentunya ingin mendapatkan bagian. Akibatnya, parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Maka siapapun yang terpilih, oligarkilah pemenangnya. Alhasil, pemilu demokrasi saat ini hanya akan melahirkan penguasa oligarki.
Cara Islam Mengangkat Pemimpin (Khalifah)
Dalam Islam, metode pengangkatan kepala negara adalah dengan baiat syar'i. Dalam kitab Nihayah al-Muhtaj Ila Syarihil Minhaj (Vll / 390), Imam-Nawawi berkata, "Akad Imamah (khalifah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari ahlul-hall wal-'aqd yang mudah dikumpulkan"
Dalam kitab Az'hijah Daulah Khilafah menjelaskan bagaimana berlangsungnya pemilu di dalam sistem khilafah. Hal tersebut terjadi ketika proses pengangkatan Ustman menjadi seorang khalifah.
Khalifah Umar bin Khattab pada masa itu mengalami sakit keras akibat insiden penusukan terhadap beliau. Kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk pengantinya, namun khalifah umar menolaknya. kemudian kaum muslimin terus mendesak hingga beliau menunjuk enam orang sebagai penggantinya dan memerintahkan mereka memilih salah seseorang dari mereka yang akan menjadi khalifah. Hal ini berlaku setelah beliau meninggal dalam jangka waktu tertentu yakni maksimal tiga hari. Setelah khalifah umar wafat beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiar), terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah.
Di sinilah proses pemilu (al-intikhab) sebagaimana dilakukan pada masa itu, terpilih nama Ali dan Ustman sebagai calon khalifah. Dari nama ini Abdurahman bin Auf menanyakan pendapat kaum muslimin siapa yang akan mereka kehendaki di antara kedua orang itu yakni Ali atau Ustman. Beliau bertanya kepada kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan dalam rangka untuk mendapatkan pendapat masyarakat. Bukan hanya itu, beliau melakukanya bukan hanya pada siang hari, tetapi juga pada malam hari.
Imam Bukhari mengeluarkan riwayat dari jalur al-Miswar bin Mukhrimah yang berkata Abdurahman mengetuk pintu rumahku pada tengah malam. Ia mengetuk pintu hingga aku terbangun. Kemudian ia berkata aku melihat engkau tidur. Demi Allah janganlah engkau menghabiskan tiga hari ini, yakni tiga malam dengan banyak tidur, hingga terpililah Ustman bin Affan sebagai khalifah.
Kemudian umat melakukan baiat in'iqad kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah. Atas dasar baiat kaum muslimin, Ustman menjadi khalifah, bukan baiat tha'at oleh umat secara umum kepada khalifah. Sehingga atas dasar baiat kaum muslimin Ustman menjadi khalifah, bukan ketika proses penunjukan enam orang sebelumnya.
Syekh Taqiyuddin Annabhani menjelaska bahwa khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompoten memangku tugas ketatanegaraan (kekhalifahan), dan agar baiat pengangkatan dapat dilakukan, yaitu seorang muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka dan mampu mengemban tugas-tugas kekhalifahan.
Dalam sistem khilafah, khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tetapi menjalankan hukum Allah Swt. dan kewajiban seorang penguasa menerapkan syariat Islam. (QS. Al-Maidah: 44, 45, 47)
Oleh karena itu, pemilu dalam khilafah hanya sebagai uslub memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam. Proses pemilihan pemimpin berjalan dengan sederhana, efektif, efisien dan hemat biaya.
Wallahualam bissawab
Post a Comment