Pajak Kendaraan Bermotor Meningkat, Benarkah untuk Kemaslahatan Rakyat?

 


Oleh Yosi Eka Purwanti

Pegiat Literasi

 

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) berencana menaikkan pajak motor konvensional atau Bahan Bakar Minyak (BBM/Bensin). Meskipun wacana tersebut tidak di laksanakan dalam waktu dekat, hal tersebut di maksudkan untuk memperbaiki kualitas udara khususnya di wilayah Jabodetabek. Seperti yang dikutip oleh media online megapolitan.kompas, Jumat (26/1/2024), Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan bahwa sektor transportasi menyumbang polusi udara DKI sebesar 44% yang didominasi oleh kendaraan bermotor. Namun jika di telusuri lebih mendalam bahwa sektor industri juga berkontribusi besar terhadap polusi udara di Jakarta yakni sebesar 31%.


Sehingga menaikkan pajak kendaraan bermotor dengan tujuan mempersulit masyarakat untuk memiliki kendaraan dan berpindah ke angkutan umum bukanlah solusi yang solutif untuk mengurangi polusi. Sebab, adanya sektor industri yang juga memiliki dampak yang cukup besar  tidaklah disinggung oleh pemerintah.


Dari sini jelas bahwa pemerintah lebih membela kepentingan para pebisnis dari pada rakyat. Rakyat dipersulit sedangkan pebisnis dibiarkan melenggang meskipun mengancam lingkungan. Wacana tersebut tentunya mengundang banyak pertanyaan terkait adanya program konversi energi menuju penggunaan listrik.


Mungkinkah kenaikan pajak kendaraan bermotor bukan semata untuk mengatasi polusi udara tapi sebagai karpet merah bagi asing untuk masuk ke negara kita melalui penggunaan kendaraan listrik?


Sebut saja BYD (Build Your Dream) asal Cina resmi meluncur ke Indonesia. Tak hanya jualan mobil BYD juga menanamkan investasi triliuanan rupiah hingga berniat membangun pabrik di Indonesia. (detik.com, 26/1/2024). Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto rencana tersebut berpotensi untuk mempercepat ekosistem ramah lingkungan dalam negeri.


Jika memang penggunaan energi listrik di gadang-gadang bisa mempercepat ekosistem ramah lingkungan dalam negeri, bukankah lebih baik pemerintah mengapresiasi motor listrik hasil karya anak negeri alih-alih menyambut investasi asing. Sebut saja tucuxi, gendhis, selo, bimasena adalah produk karya Indonesia yang patut diapresiasi dan dikembangkan.


Namun, jauh panggang dari api. Pemerintah dalam sistem kapitalisme saat ini hanyalah pelayan asing bukan pelayan rakyat. Kenaikan pajak kendaraan bermotor bagi umat dan merayu asing untuk berinvestasi dengan mengesampingkan karya anak bangsa adalah salah satu bukti keberpihakan penguasa kepada para kapital. Mereka hanya mementingkan kebermanfaatan pribadi dengan mengatas namakan rakyat.


Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, penguasa adalah raa’in (pemimpin) yang bertugas melayani dan mengurusi segala kepentingan rakyat dengan sepenuh hati. Ia akan menetapkan kebijakan yang senantiasa berpihak pada kemaslahatan rakyat. Setidaknya, inilah tiga prinsip yang seharusnya negara lakukan sebagai raa’in.


Pertama, kebijakan yang pro rakyat dengan tidak sembarang memberi izin perusahaan atau industri beroperasi dan lebih mengutamakan hasil karya anak bangsa untuk dikembangkan.

Kedua, memberikan mekanisme terbaik untuk mengatasi masalah polusi yang di timbulkan baik dari kendaraan maupun limbah perusahaan.

Ketiga, memberi sanksi tegas berefek jera kepada para rakyat dan perusahaan yang melakukan aktivitas pencemaran udara melalui limbah maupun melanggar aturan yang telah ditetapkan.


Dengan tiga prinsip ini, tupoksi negara akan terlaksana dengan baik melalui penerapan Islam secara kafah dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. 


Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post