Oleh. Widiawati, A.Md A.B
(Aktivis Muslimah Kalteng)
Generasi muda adalah penerus bangsa. Mereka harus mempunyai karakter yang kuat untuk membangun bangsa dan negaranya. Namun, mirisnya yang terjadi saat ini, banyak generasi muda yang terjerat kasus kriminal.
Seperti yang terjadi di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur, seorang remaja berinisial J (16 Tahun) telah melakukan pembunuhan terhadap satu keluarga berjumlah lima orang. Diduga motif pembunuhan karena persoalan asmara dan dendam pelaku terhadap korban, padahal mereka adalah tetangga.
Peristiwa sadis ini berawal saat pelaku berpesta minuman keras bersama teman-temannya yang pada hari Senin 05 Februari 2024. Selepas pulang, pelaku membawa senjata tajam menuju rumah korban dan melakukan pembunuhan. Tidak hanya membunuh, pelaku juga melakukan pemerkosaan atas jasad korban ibu dan anak gadisnya. Pelaku juga mengambil ponsel dan sejumlah uang milik korban.
Akibat tindak pidana yang dilakukan dengan sadis pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan diberikan sanksi berat sesuai dengan pasal 340 KUHP subs pasal 338 KUHP subs pasal 365 KUHP jo pasal 80 Ayat (3) jo pasal 76 c UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup. (Republika, 8/02/2024)
Kasus ini telah menunjukkan betapa mirisnya kondisi generasi muda saat ini. Usia yang masih muda bahkan masih berstatus pelajar tersebut, bisa dengan tega melakukan pembunuhan dan perbuatan keji. Apalagi kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di negeri ini. Ada puluhan kasus lain yang juga menjerat pelaku berstatus pelajar sekolah.
Lagi-lagi sanksi diberikan kepada mereka tak membuat yang lain jera. Ada dilematis hukum, faktanya mereka melakukan tindakan kriminal tapi disisi lain mereka adalah anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Hal ini wajar terjadi, karena sistem sanksi saat ini adalah kesepakatan manusia tanpa melibatkan aturan Allah Swt. Sistem tersebut adalah sekuler kapitalis. Sistem ini telah membuat masyarakat dan negara berlepas dari aturan Sang Maha Pencipta yakni Allah Swt. Sehingga aturan Allah tidak lagi menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku. Termasuk dalam hal memberlakukan sanksi.
Selain itu, sistem pendidikannya pun merujuk pada sekularisme. Dimana pendidikan agama tak lagi menjadi benteng penjaga iman dan tidak memahami tujuan hidup yang benar. Akhirnya, kasus kejahatan semakin menjadi-jadi. Akibat dari rendahnya keimanan manusia.
Untuk mengatasi persoalan ini tak cukup dengan sanksi belaka, kita dapat membandingkan dengan apa ya g dipahami oleh Islam. Dalam Islam telah jelas bahwa klasifikasi suatu perbuatan berdasarkan kriteria hukum Islam. Mana perbuatan yang wajib, sunah, makrum, mubah dan haram.
Ketika Islam diterapkan dalam kehidupan secara praktis oleh negara, maka negara lah yang akan menjalankan dan memberlakukan hukum yang bersumber dari Allah. Sebagaimana Islam memahami bahwa minum khamar itu haram. Baik itu yang meminumnya ataupun yang menyediakannya.
Negara akan melarang secara penuh praktik jual beli khamar. Keberadaan khamarnya pun akan dilarang oleh negara. Melarang adanya khamar dalam negara adalah cara Islam untuk mencegah terjadinya aktivitas haram yang dapat menimbulkan kemudharatan di masyarakat.
Cara tersebut lebih efektif dibandingkan membuat sanksi bagi pelaku kriminal. Karena sebelum terjadinya tindakan kriminal negara sudah 'pasang badan' untuk menyingkirkan hal-hal yang memicu kejahatan terjadi.
Jika ternyata ditemukan ada yang mabuk karena minum khamar, maka sanksi akan diberikan kepada pelaku dengan sanksi yang ditentukan langsung oleh khalifah. Dipertontonkan oleh semua masyarakat agar masyarakat yang lain tidak berani melakukan tindakan yang sama.
Selain itu, dalam hal pendidikan, negara akan menerapkan sistem pendidikan yang sesuai tuntunan Islam. Menjaga generasi muda dengan akidah Islam sehingga dapat menjadi manusia yang berkepribadian Islam. Takut akan dosa dan taat kepada Sang Pencipta.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment