Masa Jabatan Kepala Desa Diperpanjang, Akankah Membawa Kesejahteraan?


Oleh Ummu Muthya

Member Mustanir



Ribuan kepala desa di seluruh Indonesia melakukan demonstrasi di depan gedung DPR,  untuk menuntut agar Undang-Undang No. 6 tahun 2014 Tentang Desa direvisi, karena menjabat kepala desa 6 tahun ini sangat kurang. Tak lama berselang, undang-undang tersebut pun akhirnya direvisi. Jabatan kepala desa menjadi delapan tahun, dan bisa dipilih untuk dua kali masa jabatan. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Baidowi, bahwa pihaknya dan pemerintah sepakat menyetujui revisi UU Desa pada tingkat satu dan menambah masa jabatan kepala desa menjadi delapan tahun dan maksimal dua periode. (KejakimpolNewscom, 6/2/2024) 


Terjadi pro dan kontra terkait putusan DPR ini. Dengan direvisinya Undang-Undang Desa sesuai keputusan Badan legislasi dan Kementerian Dalam Negeri, dan diperpanjangnya masa jabatan, itu semua memilki alasan. Salah satu alasannya adalah agar pembangunan desa lebih maksimal, mandiri dan berdaulat.


Sementara menurut yang kontra, lamanya masa jabatan harusnya ada kolerasi dengan pemenuhan kebutuhan rakyat secara optimal dan dalam mewujudkan pembangunan dan pengaturan desa. Pemerintah mengeluarkan dana untuk pemberdayaan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Akan tetapi pada faktanya sering terjadi penyelewengan, sehingga terjadi penyalahgunaan yang tidak semestinya. 


Dengan perpanjangan masa jabatan, akan memungkinkan terjadinya tindak penyelewengan kekuasaan semakin besar. Hal ini bisa dilakukan demi memperkaya diri atau kelompok tertentu, meski awalnya berdalih demi kemajuan desa dan kemaslahatan rakyat. Sebut saja misalnya praktik korupsi, suap, dan gratifikasi mejadi sesuatu yang lumrah dalam perpolitikan demokrasi saat ini.


Tindakan berupa penyelewengan dalam kekuasaan bukan hal yang asing dalam sistem demokrasi. Jabatan seolah ajang meraup cuan dan jalan melanggengkan dinasti korup dari hulu hingga hilir. Mulai dari pemerintah pusat hingga  tingkat desa. Tanggung jawab penguasa ini pun kerap tak sejalan dengan program saat mereka meminta dukungan rakyat, selain karena sibuk mengembalikan modal kampanye sebelumnya juga sibuk menjalin relasi dengan para kapitalis demi keinginan untuk melenggang ke tahap berikutnya di pilkada atau pilpres.


Dalam Islam, diangkatnya seseorang menjadi penguasa, baik pusat atau daerah adalah untuk melaksanakan hukum syarak di tengah umat. Di antara syarat yang harus dimiliki calon penguasa ini selain karena ketakwaannya juga harus seorang laki-laki,  muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu menjalankan pemerintahan sebagaimana arahan Allah dan RasulNya. Masa jabatannya pun tidak dibatasi sebagaimana dalam sistem demokrasi.


Masa jabatan pnguasa daerah seperti gubernur (wali) atau amil bisa berlangsung lama bisa juga singkat tergantung sudut pandang negara dalam sistem Islam (khalifah/Imam). Negara akan memandang perlu untuk memberhentikannya tanpa ada alasan dan atau karena ada alasan seperti ketidakridaan penduduk wilayah kepada sosok dan pribadi wali/amil yang memimpin mereka. Salah satunya Muadz bin Jabal saat menjabat wali. Ia diberhentikan khalifah karena aduan dari penduduk setempat atas panjangnya bacaan surat ketika Muadz menjadi imam salat.


Islamlah satu-satunya ideologi yang melahirkan pemimpin atau penguasa yang amanah. Karena jika sudah terpilih, sesungguhnya ada pertanggungjawaban besar nanti di akhirat kelak. Para pemimpin atau penguasa diangkat oleh umat semata untuk menjalankan hukum-hukum Allah secara keseluruhan, bukan untuk yang lainnya. Ini karena Islam menetapkan kedaulatan adalah milik Allah, bukan rakyat. Dia-lah yang berhak menetapkan hukum, bukan manusia.


Melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh merupakan jaminan terwujudnya kesejahteraan dan keberkahan. Sebaliknya, jika mengabaikan  syariat Islam, terancam kesempitan dan kehinaan di dunia dan akhirat. Allah berfirman; 


"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha:124)


Sepanjang  syariat diterapkan di masa peradaban Islam, yakni sekitar 13 abad lamanya telah terbukti bahwa kepemimpinan dalam Islam telah berhasil melahirkan peradaban yang cemerlang. Umat dan pemimpinnya sama-sama menjalankan perintah sesuai dengan syariat Islam. Sehingga bukan hal yang mustahil kesejahteraan dan ketentraman itu dirasakan oleh seluruh warga negara, baik muslim dan nonmuslim.


Wallahu A'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post