Mahalnya Mahar Pesta Demokrasi


Oleh : Reshi Umi Hani


Sebesar Rp. 6,7 miliar dana hibah anggaran pengamanan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah digelontorkan PemkB Paser melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) kepada Polres Paser, Selasa (6/2). Penandatanganan hibah itu sebagai bentuk komitmen Pemkab Paser terhadap pengamanan pelaksanaan pemilu dan pilkada yang berlangsung pada tahun 2024 in, tutur Nonding selaku Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kabupaten Paser. 

Didapati pula sebelumnya, pada Oktober 2023, Pemkab Paser juga telah menyalurkan hibah melalui NPHD kepada KPU dan Bawaslu Kabupaten Paser mencapai Rp 42,8 miliar. Selain itu, hibah juga diberikan kepada perangkat pemerintahan lainnya, semua pihak telah dilibatkan untuk mengantisipasi kerawanan konflik. (Porkal).

Makin bengkaknya dana pemilu ini diklaim bertujuan agar kualitas demokrasi dan hak-hak politik warga terjamin. Namun pada faktanya tujuan tersebut seolah tidak terwujud, bahkan untuk sekedar menyimpulkan bahwa pemilu telah terlaksana secara demokratis pun sulit. Biaya yang seharusnya bisa dialihkan kepada kegiatan pembangunan dan sosial kemasyarakatan justru di glontorkan kepada kegiatan pesta demokrasi yang pada dasar nya hanya akan melanggengkan para kapitalis.

Biaya pemilu yang terlampau dahsyat rawan penyalahgunaan anggaran yang tak menutup kemungkinan akan berdampak pada maraknya kasus korupsi. Para koruptor tidak lain justru dari kalangan pejabat pusat hingga kepala daerah. Praktik korupsi ini menjadi dampak nyata dari mahalnya pemilu demokrasi. Penyelenggaran pesta pemilu yang menghabiskan anggaran hingga triliunan rupiah tentu menimbulkan banyak masalah. Angka fantastis ini tentu sulit, bahkan mustahil terpenuhi oleh para kontestan secara mandiri. Dari sinilah terbentuk hubungan mutualisme kontestan dengan penopang dana, yakni para pengusaha, yang mengakibatkan terbentuknya apa yang kita sebut oligarki. 

Maka tak heran bahwa apa yang dilahirkan dari hasil pemilu tidak lain hanyalah sosok-sosk penguasa pro kapitalis, yang hanya akan menumbuh suburkan dan melanggengkan para kapitalis untuk terus menggerogoti tubuh umat. Maka sudah jelas nampak bahwa yang terjadi pada kegiatan pemilu hanya berupa pergantian rezim belaka, tak ada perubahan yang berarti selama sistem tidak berganti. 

Kebobrokan sistem demokrasi dengan sendirinya telah dilecuti oleh para penggawanya sendiri. Pemilu hanyalah legitimasi terhadap kekuasaan para oligarki. Dengan mahalnya biaya demokrasi hanya akan menguatkan cengkraman kekuasaan para oligarki.

Dalam Islam, pemilu adalah cara untuk memilih sosok yang akan mengurus rakyat. Untuk mewujudkan sistem politik yang sesuai tuntunan Rasulullah saw., harus ada gerakan terstruktur yang menghadirkan wacana pentingnya sistem aliternatif di tengah praktik politik oportunitis.  

Pemilu sendiri dalam sistem islam hanyalah cara alternatif untuk memilih kepala negara. Dalam islam metode baku pengangakatan kepala negara adalah bay’at syar’i. pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Dalam kondisi berbeda ad acara lain untuk memilih kepala negara (Khalifah), seperti melalui ahlul halli wal aqdi. 

Maka, telah Nampak jelas bahwa pemilihan pemimpin dalam sistem Islam jauh lebih efisien dan tidak memakan biaya mahal dalam pelaksanaannya. Sebab, mesti dipahami dengan benar bahwa politik dalam Islam bermakna ri’ayatusy syu’unil ummah (mengurus urusan umat). Dengan definisi ini penguasa berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyat, maka hal-hal yang merugikan rakyat seperti menggelontorkan anggaran yang sangat besar selain daripada kepentingan Masyarakat seperti apa yang terjadi pada pesta demokrasi saat ini tidak akan terjadi.

Post a Comment

Previous Post Next Post