Oleh Triana Amalia
Aktivis Dakwah
Kehidupan manusia di era digital tidak bisa terlepas dalam memasukkan data pribadi secara online. Kita ingin mendapat berita terkini di internet atau media sosial, mendaftar m-banking, belanja di marketplace, atau mendapatkan berbagai fasilitas informasi lainnya di internet. Di lain sisi, banyak manusia yang menyebarkan data pribadinya dengan sukarela di media sosial tanpa perlindungan atau privasi dari situs yang meminta data pribadi.
Negara Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan lebih dari satu tahun lalu. Meskipun sudah ada, pemerintah kerap mendapatkan kritikan karena urusan perlindungan data dinilai tak ada perbaikan yang signifikan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat ada dugaan pelanggaran hukum dari pengungkapan atau kebocoran 668 juta data pribadi. Salah satunya, dari dugaan kebocoran sistem informasi daftar pemilih pada November 2023 lalu.
Hal yang paling menghebohkan yaitu dugaan kebocoran 15 juta data dari insiden BSI pada Mei 2023. Kebocoran data terbesar diterima oleh aplikasi MyPertamina dengan jumlah 44 juta data pribadi. (media online Katadata, 28/01/2024)
Kritik diberikan ELSAM kepada pemerintah karena menyatakan Undang-Undang ini berlaku dua tahun setelah diundangkan yakni 2024. UU ini diundangkan pada 17 Oktober 2022 dan langsung berlaku saat diundangkan. Namun, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memberikan masa transisi selama 2 tahun.
Inilah alasan mengapa pemerintah bertindak secara tidak layak ketika terjadi dugaan insiden kebocoran data pribadi. Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan lembaga perlindungan data pribadi ditargetkan terbentuk tahun ini. Beroperasi selambatnya pada Oktober 2024. (media online Katadata, 28/01/2024)
Dalam hal ini pemerintah sudah ‘berusaha’ memberikan regulasi permasalahan data yang bocor bahkan dicuri oleh penipu ulung. Lalu di tahun politik ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar webinar literasi digital pada hari Kamis, 25 Januari 2024. Salah satu pembicaranya, Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus menyebut bahwa di era digital saat ini media sosial kian salah digunakan. Banyak berita informasi hoaks tersebar, SARA, dan lainnya yang menyesatkan masyarakat.
Hal ini merupakan buah dari mudahnya akses informasi yang didapat melalui media sosial. Kemudian, Akademisi Yuri Rahmanto mengingatkan masyarakat untuk memperhatikan data pribadi yang bisa dengan mudah dicuri di tengah kemajuan teknologi saat ini. (JPnn.com, 25/1/2024)
Kritikan yang diajukan rakyat hanya membuat pemerintah garuk-garuk kepala, keheranan. Selanjutnya, mereka hanya mengetik Undang-Undang yang cuma dibacakan saja kepada khalayak umum. Hal inilah yang membuat kebocoran data terus meningkat. Upaya implementasi UU yang lemah terlihat pada kebocoran data di lembaga negara membuat sumber dayanya baik manusia maupun dana dan teknologi tak mampu melindungi datanya sendiri apalagi lembaga swasta yang mengelola sendiri.
Menjelang pemilu 2024 terjadi kebocoran data berupa nomor induk kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga (KK), nomor kartu tanda penduduk (berisi nomor paspor untuk pemilih yang berada di luar negeri), nama lengkap, jenis kelamin, tanggal dan tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap (RT, RW, kodefikasi kelurahan, kecamatan, dan kabupaten) serta kodefikasi tempat pemungutan suara (TPS).
Perkembangan teknologi telah mendistrupsi segala aktivitas masyarakat, termasuk dalam aspek perpolitikan. Data besar dan algoritma pun telah menjadi referensi dalam berbagai langkah strategis parpol, juga para politisi. Sebagai bagian terpenting dalam pemilihan lima tahunan, tentu saja data pemilih menjadi incaran siapa pun yang memiliki tujuan politis dalam kompetisi lima tahunan.
Atmosfer sistem hidup yang kapitalistik yang memunculkan praktik-praktik penambangan dan penjualan data dengan target individu maupun kelompok. Sudah menjadi rahasia umum, jika dalam sistem ini hadir para pialang data (broker data) yang menjalankan bisnisnya melalui penjualan data pribadi. Lalu bagaimana cara negara yang benar agar dapat melindungi data pribadi rakyatnya?
Tentu saja, negara harus menciptakan iklim yang kondusif agar setiap data digital milik individu tidak disalahgunakan oleh siapa pun dengan tujuan apa pun. Data milik individu ini harus dikelola negara dalam artian keamanan dan perlindungan yang nyata. Hadirnya negara di dunia nyata agar keamanan rakyat terjamin sebagai tugas negara di dunia digital. Inilah hakikat fungsi negara sebagai perisai bagi rakyatnya.
Negara yang dengan tegas melindungi data pribadi rakyatnya ini harus menerapkan ideologi Islam. Sebab syariat Islam sendiri mewajibkan diterapkannya sistem sanksi yang memberikan efek jera bagi siapa saja yang melakukan peretasan maupun pencurian data.
Pelanggaran ini masuk ke dalam perampasan hak milik individu sebagai suatu tindak kriminal. Negara dapat menjatuhkan sanksi berupa penjara hingga hukuman mati sesuai ijtihad khalifah.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS An-Nisa: 29)
Selain sistem sanksi, sistem pemerintah Islam pun menjalankan alur pendidikan yang mengutamakan ketakwaan kepada individu. Ketakwaan individu yang cerdas dapat menghasilkan sumber daya manusia yang terampil atau profesional juga berintegritas. Sehingga pencurian serta kebocoran data pribadi tidak akan terulang lagi. Tak ada kebingungan lagi di wajah para pemimpin negara.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment