Ibu memiliki fitrah dan peran yang sangat luar biasa. Di belakang pria yang sukses, ada wanita mulia yang membersamainya. Ketika seorang anak tumbuh dengan kepribadian yang baik, lihatlah ibunya. Ini karena ibu memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan pandangan dunia seseorang. Demikian arti fitrah keibuan yang sebenarnya. Namun, sosok ibu hari ini diakui setengah hati. Peran strategisnya tidak didukung oleh peradaban sistem yang baik. Penerapan ideologi sekuler kapitalisme bukan mendukung terlaksananya tugas keibuan dengan baik, sebaliknya malah menggerus fitrah mulianya.
Seperti berita yang berhasil menggegerkan publik baru-baru ini, dilansir dari Kumparan. Rohwana alias Wana (38 tahun), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung ditangkap polisi karena terlibat kasus pembunuhan. Perempuan yang keseharianya bekerja sebagai buruh itu membunuh bayinya sendiri dengan cara meneggelamkan ke ember berisi air setelah dilahirkan. Bayi itu kemudian di buang ke semak-semak dalam kebun milik warga sekitar. Berdasarkan kronologis, Kejadian tersebut terjadi pada Kamis, 18 Januari 2024 sekitar pukul 21.00 WIB.
Tindakan tersebut tidak diketahui oleh sang suami maupun keluarganya. Lalu ketika proses melahirkan, pelaku melakukan di kamar mandi rumahnya tanpa diketahui siapapun. Kepada polisi Rohwana mengaku tega membunuh bayinya itu karena tidak menginginkan kelahirannya. Alasanya, karena tidak cukup biaya untuk membesarkanya. Rohana memiliki suami yang bekerja sebagai buruh. Akibat perbuatanya Rohana dijerat pasal 338 KUHP atau pasal 305 KUHP Jo pasal 306 ayat 2 KUHP atau pasal 308 KUHP.
Miris melihat seorang ibu tega membunuh bayi yang baru dilahirkan karena faktor ekonomi. Lagi-lagi realita ini menunjukkan tingginya beban hidup mematikan fitrah keibuan seorang perempuan. Tentu ada banyak faktor yang berpengaruh seperti lemahnya ketahanan iman, tidak berfungsinya keluarga sehingga ibu juga terbebani dengan lemahnya ekonomi, lemahnya kepedulian masyarakat dan tidak adanya jaminan kesejahteraan negara atas rakyat individu per individu. Semua faktor tersebut tentu berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan oleh negara.
Sistem Kapitalisme adalah sistem yang lahir dari akidah sekularisme. Akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena tidak menggunakan aturan agama, kehidupan manusia akhirnya diatur oleh aturan manusia sendiri. Maka terwujudlah individu yang minim keimanan, masyarakat yang apatis dan negara yang abai terhadap perannya. Semua ini menjadi beban bagi para ibu ketika ingin membesarkan anak-anak mereka. Jika sistem kapitalisme mematikan fitrah seorang ibu, maka tidak dengan sistem Islam. Sistem Islam justru akan merawat dan menjaga fitrah keibuan. Secara penampakan memang fitrah keibuan akan muncul pada individu perempuan. Jika fitrah ini terwujud secara optimal dalam diri perempuan maka generasi pengisi peradaban akan terdidik dengan benar. Hanya saja perlu dipahami fitrah keibuan adalah perwujudan dari gharizah nau'(naluri berkasih sayang) yang ada dalam setiap diri manusia.
Syaikh Taqiyuddin an Nabhani dalam Nizhamul Islam bab Thariqul Iman menjelaskan bahwa naluri akan bangkit ketika mendapat pemicu (rangsangan) dari luar. Seorang ibu akan optimal dan tenang merawat anaknya, mengasuh anaknya, mendidik anaknya, ketika mendapat jaminan kehidupan dengan layak dan baik. Jaminan kehidupan terkait erat dengan kesejahteraan yang tidak mungkin diwujudkan oleh individu per individu namun butuh peran negara. Disinilah Islam mengatur agar negara menjadi support system bagi para ibu dan anak supaya mereka mendapat jaminan kesejahteraankesejahteraan tersebut.
Dalam Islam jaminan kesejahteraan diwujudkan dari berbagai mekanisme baik jalur nafkah, dukungan masyarakat dan santunan negara. Dari jalur nafkah syariat menetapkan tanggung jawab penafkahan ada di pundak laki-lakilaki-laki. "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf".(QS.Al-baqarah:233).
Penafkahan berkaitan erat dengan pekerjaan. Dalam hal bekerja tidak cukup dari segi individu saja yang bersemangat namun juga harus ada lapangan pekerjaan. Maka Islam mewajibkan negara menjadi penanggung jawab agar lapangan pekerjaan tersedia dengan cukup dan memadai. Hingga tidak ada seorang laki-laki pun yang tidak bekerja. Selain itu Islam juga memerintahkan agar kehidupan bermasyarakat dilandasi oleh ikatan akidah dengan begitu aksi tolong menolong (ta'awun) antara masyarakat menjadi dukungan tersendiri bagi ibu untuk mengasuh anak-anak mereka. Semisal keluarga kaya membantu yang kekurangan, mensuasanakan kehidupan yang taat dan berlomba-lomba untuk kebaikan, tidak dengki, tidak memamerkan kemewahan dan amalan shalih lainnya. Seandainya pun seorang ibu mendapat qadha atau takdir suami meninggalmeninggal, atau kehilangan kemampuan mencari nafkah, Islam juga memiliki mekanisme agar mereka tetap mendapat jaminan kesejahteraan. Jalur penafkahan akan beralih pada saudaranya, jika tidak memiliki saudara tanggung jawab itu akan beralih pada negara. Alokasi anggaran jaminan tersebut akan diambilkan dari baitul maal. Tak hanya jaminan penafkahan, Islam juga menjamin harga bahan pangan terjangkau oleh masyarakat. Dengan begitu para ibu dapat menyiapkan kebutuhan gizi anak dan keluarganya dengan layak. Selain kebutuhan pokok, Islam mengatur agar kebutuhan dasar publik Seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, dijamin oleh negaranegara secara mutlak. Rakyat mendapatkannya secara gratis dan berkualitas karena semua kebutuhan dasar publik tersebut dibiayai oleh Baitul maal.
Dengan demikian jaminan kesejahteraan dapat dirasakan oleh individu per individu. Akhirnya para ibu bisa optimal mengasuh anak mereka tanpa perlu khawatir terhadap masalah ekonomi. Inilah wujud dari sistem ekonomi dan politik dari negara yang diatur oleh Islam yakni Khilafah. Negara yang menjalankan tugas sebagai raa'in seperti sabda Rasulullah Saw "Imam atau (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurus rakyatnya"(HR.al-Bukhari).
Post a Comment