Islam Sangat Memuliakan Ibu


Wiwik Afrah 
(Aktivis Muslimah)


Rohwana alias Wana (38 tahun), seorang ibu di Kabupaten Belitung, Bangka Belitung, ditangkap polisi karena terlibat pembunuhan. Perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai buruh itu membunuh bayinya sendiri dengan cara menenggelamkan ke ember berisi air setelah dilahirkan. Bayi itu kemudian dibuang ke semak-semak dalam kebun milik warga sekitar. "Pelaku bunuh anaknya sendiri lalu membuangnya ke kebun warga," kata Kasat Reskrim Polres Belitung, AKP Deki Marizaldi. 


Fakta ini menunjukkan bahwa beratnya beban ekonomi yang mengimpit masyarakat telah menghilangkan fitrah berupa naluri kasih sayang ibu pada anaknya. Banyak faktor yang akhirnya mendorong seorang ibu tega menghabisi nyawa anaknya yang baru lahir. Di antaranya aspek keimanan. Lemahnya iman telah membuat ibu gelap mata dan tidak bisa berpikir jernih. Ia tidak menyadari bahwa anak adalah karunia dan sekaligus amanah dari Allah SWT, yang harus dijaga sebaik-baiknya.


Kelak pada Hari Akhir, ibu dan ayah akan mempertanggungjawabkan pengasuhan dan pendidikan sang anak kepada Allah Taala. Selain faktor keimanan, faktor ketahanan keluarga juga turut berperan penting mencegah kejadian ibu membunuh bayinya sendiri. Keluarga sepatutnya menjadi lingkaran yang mendukung perempuan untuk menjalankan fungsi utamanya, yakni menjadi ibu.


Sayangnya, di bawah asuhan sistem kapitalisme, kaum ibu justru dipaksa oleh keadaan untuk turut menanggung beban ekonomi keluarga. Akhirnya, kelahiran anak dianggap menjadi beban tambahan. Sementara itu, sistem pendukung berupa masyarakat juga tidak berjalan.


Sistem kapitalisme telah mengondisikan masyarakat untuk bersikap individualis, hanya memikirkan nasib diri sendiri dan tidak peduli pada orang lain. Kerabat dekat dan tetangga sudah sibuk dengan urusan masing-masing sehingga tidak ada perhatian pada ibu yang kepayahan dengan kehamilannya.


Fakta tersebut bukannya tidak diketahui oleh penguasa. Akan tetapi, penguasa tampak cukup dengan mencatat dan mendatanya, lantas memberi sanksi tanpa solusinya. Derita ibu pun makin bertumpuk-tumpuk. Depresi setelah melahirkan, kehilangan anak dan keluarga, dan akhirnya kehilangan kebebasan juga. Duhai, betapa sengsaranya.


Sejatinya, negara adalah pihak yang memiliki peran sentral dalam melindungi para ibu. Negara mestinya punya kemampuan untuk menanamkan keimanan yang kukuh pada kaum ibu sehingga ujian kehidupan tidak akan membuat mereka kehilangan harapan pada Allah Taala. Negara juga adalah pihak yang seharusnya punya sistem untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, termasuk para ibu. Negara juga yang bisa mengondisikan masyarakat dan keluarga agar peduli pada keselamatan jiwa dan raga ibu beserta janin yang dikandungnya.


Namun, miris sekali, peran sebagai pelindung itu tidak dijalankan oleh penguasa. Di bawah sistem demokrasi kapitalisme, negara tidak memfungsikan dirinya sebagai pelindung rakyat. Penguasa justru mengabdi pada kepentingan para kapitalis oligarki. Semua kebijakan negara dibuat dalam rangka mengadopsi kepentingan pemilik modal. Apakah hal ini akan kita biarkan? Tentu tidak, bukan? Harus ada perubahan dalam masyarakat dan negara demi mewujudkan perlindungan bagi kaum ibu.


Kondisi semua itu sungguh bertolak belakang dengan sistem Islam. Islam memuliakan kaum ibu dengan penggambaran beratnya tugas hamil dan melahirkan yang ditanggung perempuan.


Allah Swt. Berfirman: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembali mu.” (QS Luqman: 14).


Demikian mulianya posisi seorang ibu di dalam Islam sehingga ia merupakan kehormatan yang harus dijaga. Negara dalam Islam berperan sebagai junnah (perisai) yang melindungi perempuan dari berbagai kesulitan, termasuk kesulitan ekonomi. Negara wajib menjamin kesejahteraan ibu dan anak melalui berbagai mekanisme  di antaranya.


Pertama, dari jalur nafkah. Perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Ia berhak mendapatkan nafkah dari suaminya atau walinya. Dengan demikian, ia tidak menanggung beban ekonomi keluarga. Dengan mekanisme ini, perempuan bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah dengan optimal, tanpa terbebani untuk menanggung beban ekonomi keluarga.


Kedua, dukungan masyarakat. Prinsip taawun dijunjung tinggi di dalam masyarakat Islam. Alhasil, ketika ada salah satu anggota masyarakat yang kekurangan secara ekonomi, anggota masyarakat lain akan membantu meringankan bebannya dengan memberikan sedekah, memberikan tawaran pekerjaan bagi kepala keluarga, dan bantuan lainnya yang dibutuhkan.


Ketiga, mekanisme negara. Negara akan memberikan santunan kepada warga yang terkategori fakir atau miskin. Kisah Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang memanggul sekarung gandum untuk seorang ibu yang merebus batu sungguh demikian masyhur. Kisah ini menggambarkan perhatian pemimpin terhadap nasib kaum ibu.


Kepedulian sistem Islam itu bisa terwujud karena Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang mampu mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Kesejahteraan pun terwujud secara merata. Sistem ekonomi Islam dengan 12 pos pemasukan meniscayakan negara memiliki dana yang cukup untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk menyantuni fakir dan miskin.


Dengan demikian penerapan syariat kaffah dalam Islam, kaum ibu akan sehat jiwa dan raganya sehingga menyayangi anak-anaknya dan mengasuh serta mendidiknya dengan baik. Tanpa beban dan mental terganggu, inilah bekal untuk mewujudkan generasi Islam yang cemerlang.


Wallahu ’alam biss-showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post