Kontributor: Siti Khaerunnisa |
Presiden Joko Widodo mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena masih sulit tercapainya swasembada pangan. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Meskipun impor beras tidak diharapkan terjadi, tapi dalam prakteknya sangat sulit karena produksi pangan belum mencapai standar kebutuhan tiap tahunnya. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi pada acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas, Selasa (02/01/2024)(cnbcindonesia.com, 02/01/2024).
Menanggapi keputusan pemerintah ini, berbagai kalangan protes dan menolak kebijakan impor beras. Salah satunya, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyatakan, impor beras akan sangat memukul harga gabah saat panen raya mendatang. Sedangkan prediksi dari produksi beras pada 2024 akan naik sekitar 3—5 persen dari tahun sebelumnya dikarenakan fenomena El-Nino yang mulai mereda, iklim yang kembali normal, dan harga gabah kering panen (GKP) yang cenderung masih mumpuni (bisnis.com, 09/01/2024).
Klaim impor beras yang diambil pemerintah sejatinya masih menjadi solusi yang belum sepenuhnya menjawab persoalan beras dan bukan merupakan solusi yang mendasar dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Solusi impor yang diambil pemerintah menggambarkan belum terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini. Belum terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negeri ini merupakan sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem Ekonomi Kapitalisme. Penerapan sistem ini mengakibatkan Indonesia terjajah secara ekonomi, yang menyebabkan impor semakin masif dilakukan.
Salah satu penyebabnya adalah ditandai dengan kebijakan yang dikenal dengan konsensus Washington, kebijakan tersebut mengharuskan Indonesia melakukan penghapusan atau pengurangan subsidi dalam segala sektor termasuk sektor pertanian. Alhasil pada saat musim tanam petani dihadapkan pada persoalan harga pupuk yang mahal, benih yang mahal, hingga obat-obatan yang mahal. Sementara pada saat memasuki musim panen, harga padi murah karena pemerintah tidak menghentikan impor beras yang menyebabkan banyak petani mengalami kerugian.
Selain itu, adanya penurunan tarif impor atas komunitas pangan tertentu, termasuk beras, menjadikan impor bahan pangan tersebut lebih murah dibandingkan produksi pangan dalam negeri. Kebijakan tersebut juga menuntut pemerintah mengurangi peran Bulog. Jika sebelumnya Bulog bisa membeli dari petani lokal untuk memenuhi stok, tetapi sekarang Bulog hanya bertugas menyimpan stok dan tidak memiliki dana untuk membeli hasil petani. Inilah yang semakin membuat carut-marutnya pengelolaan pertanian dan pangan di Indonesia.
Indonesia pun menjadi negara yang bergantung pada negara lain dalam menjaga ketahanan pangan negerinya, tentu hal itu akan merugikan. Apalagi saat ini, petani banyak beralih profesi karena hasil yang mereka peroleh tidak pernah sesuai dengan yang diharapkan, ditambah lagi kebijakan impor yang menambah kerugian mereka, serta banyaknya alih fungsi lahan pertanian yang mengakibatkan hilangnya mata pencaharian mereka.
Inilah sebenarnya kondisi yang menyebabkan ancaman pangan. Tetapi pemerintah malah lebih fokus mengambil solusi sementara dengan impor beras. Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipatif termasuk dengan menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan yang mengakibatkan berkurangnya jumlah lahan dan jumlah petani makin sedikit.
Tata kelola negara yang bercorak kapitalistik mustahil mewujudkan swasembada pangan. Kepentingan pengusaha telah menjadi fokus utama dalam kerja para penguasanya. Inilah yang menjadikan kebijakan impor terus saja diambil walaupun dapat mencederai kedaulatan pangan negara. Produksi tidak akan mungkin bisa masif sebab liberalisasi kepemilikan lahan menjadikan para petani kian tidak memiliki lahan untuk digarap.
Dengan demikian, swasembada pangan hanya bisa dicapai dengan tata kelola negara yang berlandaskan pada Islam. Islam telah memiliki mekanisme yang khas dan telah terbukti mampu mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan menjadikan negara berdaulat tanpa ketergantungan dengan negara lainnya.
Adapun mekanisme Islam dalam mewujudkan swasembada pangan adalah memosisikan penguasa sebagai pengurus seluruh urusan umat. Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu, negara akan mencari berbagai jalan solutif agar terwujudnya kedaulatan pangan dengan tetap berpegang pada ketetapan hukum syariat agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Dalam konteks persediaan kebutuhan pangan, negara harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan baru, dan menghidupkan tanah mati, serta larangan terbengkalainya tanah. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalisasi produksi lahan-lahan pertanian agar stok kebutuhan pangan selalu tersedia untuk rakyatnya. Dan sebagai proteksi ketersediaan pangan ini, negara melarang adanya praktik penimbunan barang termasuk penimbunan barang kebutuhan pokok, Karena hal ini akan menimbulkan kelangkaan pada barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Kalaupun hal ini terjadi, negara harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik melalui industri-industri pertanian asing maupun melalui perjanjian multilateral seperti WTO, FAO, dan lain-lain. Karena ini sangat membahayakan kedaulatan pangan negara.
Dalam hal distribusi, apabila masyarakat mengalami kesulitan membeli pangan maka negara diwajibkan memecahkan persoalan tersebut dengan memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Semua itu dilakukan melalui mekanisme yang tepat, cepat, dan merata, sehingga seluruh individu rakyat dengan mudah memperoleh hak-haknya terutama terkait aspek vital kebutuhan mereka seperti kebutuhan pokok pangan.
Demikianlah sejumlah mekanisme dalam Islam yang dapat mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan mengantarkan pada kedaulatan negara. Semua mekanisme tersebut hanya bisa optimal diterapkan dalam sistem Khilafah Islamiah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment