Pemerhati Kebijakan Publik
Perang baliho, hampir di setiap sudut dari pedesaan hingga perkotaan penuh dengan baliho dan pernak-pernik kampanye berbagai ukuran. Wajah-wajah yang siap bertarung memperebutkan kursi kekuasaan penuh senyuman mulai mengobral janji. Berbagai jargon yang begitu kompak menjanjikan sebuah kesejahteraan. Rakyat mendadak jadi raja, disanjung, didatangi, didengarkan keluh kesahnya dalam berbagai forum baik formal maupun non formal.
Pesta demokrasi hanya menunggu hitungan minggu. Dikutip dari laman detiknewscom, 07/02/2024, berdasarkan keputusan Komisi II DPR RI sesuai kesepakatan pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pelaksanaan Pesta Demokrasi yaitu pemilihan legislatif dan pemilihan presiden tahun 2024 akan dihelat serentak pada tanggal 14 Februari 2024 mendatang, hal ini berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024.
Demokrasi Berbiaya Tinggi
Sudah menjadi tradisi lima tahunan, bulan ini pekan terakhir kampanye yang berakhir pada tanggal 10 Februari mendatang. Pesta demokrasi ini menyedot dana yang besar, baik dana yang berasal dari pemerintah melalui partai maupun dana dari kantong pribadi para calon. Bahkan dari berbagai sumber menyebutkan dana kampanye untuk seorang calon anggota legislatif saja harus merogoh kocek lebih dari Rp 20 miliar untuk dana kampanyenya.
Masa kampanye yang diberikan pemerintah dimanfaatkan para caleg "berburu suara". Berbagai alat peraga kampanye berupa kaos,baliho, bendera, serta iklan-iklan di media elektronik memenuhi ruang publik. Tentu saja ini membutuhkan ongkos yang besar. Belum lagi biaya operasional tim sukses, dan yang tidak lepas dari penyelenggaraan pemilu adalah biaya "serangan fajar". Mengingat politik transaksional ini sudah mendarah daging di masyarakat.
Kompetisi Resiko Tinggi
Meskipun berbiaya tinggi, namun kontestasi politik ini tetap saja diminati. Bayangkan saja, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah resmi merilis caleg yang lolos verifikasi sebanyak 9.919 orang sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam daftar calon sementara (DCS) pada Pemilu 2024. Sedangkan kursi yang diperebutkan hanyalah 580 kursi pada Pemilu 2024. Artinya, dari 1 caleg harus mengungguli minimal 17 calon lainnya.
Dari fakta diatas kita bisa membayangkan resiko gagal itu sangat tinggi. Tingkat yang paling rendah pun misalnya Pilkades, dari 2 atau 3 bahkan bisa lebih dari itu, hanya memperebutkan 1 jabatan saja, seorang calon kades harus bermodalkan hingga 2 miliar. Pasalnya saat "serangan fajar" para calon berlomba saling mengungguli dalam nominal yang dibagikan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum yang hampir seluruh wilayah terjadi.
Menang Korupsi, Kalah Depresi
Puncak dari semua kompetisi tadi adalah menang atau kalah. Ketika kemenangan sudah di tangan, bisa ditebak apa yang mereka lakukan dengan jabatan barunya?. Tentu saja mulai fokus balik modal. Apa yang sudah dijanjikan saat kampanye hanyalah retorika politik belaka. Langka sekali jika ada seorang pejabat yang suka rela mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan rakyat.
Sayangnya lebih banyak yang tidak siap kalah. Artinya tidak ada kesiapan mental jika mengalami kekalahan. Ditambah lagi, modal yang dikeluarkan bukan hanya uang pribadi, bisa jadi hasil pinjam sana sini atau hasil dari kongkalikong dengan para donatur. Inilah yang paling ditakutkan, namun tidak diperhitungkan oleh para caleg maupun calon pengusaha.
Rasa kecewa, marah, dan tentu saja rasa takut akan bayang-bayang dikejar hutang kampanye memenuhi kepala caleg gagal ini.
Pada akhirnya terjadi gangguan mental hingga depresi. Fenomena ini sudah lumrah terjadi bahkan jauh-jauh hari pemerintah sudah menyediakan rumah sakit yang siap menampung caleg atau calon penguasa yang gagal bersaing. Artinya memang resiko kekalahan adalah bangkrut dan depresi. Sungguh miris sekaligus sedih.
Pemilihan Pemimpin Dalam Islam
Dalam Islam, menjadi seorang penguasa itu bukan berorientasi pada materi tapi suatu sikap kesanggupan mengurus urusan umat. Sehingga tidak ada dalam islam, orang berlomba-lomba mengejar jabatan hingga mengeluarkan modal besar. Karena sejatinya menjadi pemimpin itu kelak akan diminta pertanggungjawaban dihadapan Allah SWT atas apa yang dia pimpin.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya....." (HR al-Bukhari). Inilah yang menjadikan pemilihan dalam Islam jauh dari kompetisi yang saling sikut sana sini, apalagi sampai terjadi suap menyuap demi meraup suara.
Memilih pemimpin dalam Islam jauh lebih sederhana dan murah. Misal dalam pemilihan seorang kepala negara, batas waktu pemilihan tidak boleh lebih dari tiga hari saja sejak kekosongan jabatan. Dalam waktu tiga hari, penentuan paling banyak 6 calon dan selanjutnya akan dipilih satu orang dalam rentang waktu tiga hari. Jadi pemilihan pemimpin akan sangat sederhana dan tentunya tidak memakan anggaran yang besar.
Hal yang terpenting yaitu pemimpin dalam Islam berkewajiban menjalankan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an. Sehingga sangat jelas perbedaannya dengan sistem saat ini yang memilih pemimpin yang kelak akan membuat peraturan berdasarkan akal manusia yang sangat terbatas.
Wallahu a'lam bishowab
Post a Comment