(Aktivis Muslimah Sumedang)
Berawal dari niat menjadi wakil rakyat, tetapi berujung gagal dalam pemilihan. Akhirnya stres, sakit jiwa, bahkan ingin bunuh diri. Kondisi ini bukan hanya memprihatinkan, melainkan juga mengerikan. Sudahlah berbiaya mahal, demokrasi juga rentan menyebabkan gangguan mental.
Bukan hal yang aneh lagi jika dalam setiap pemilu dilaksanakan, sejumlah rumah sakit jauh-jauh hari telah menyiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi calon legislatif (caleg) yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan legislatif (Pileg) di Pemilu 2024.
Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, misalnya, salah satu rumah sakit yang menyediakan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami gangguan mental. Tidak hanya itu, pihak RS Oto Iskandar Dinata juga menyiapkan dokter spesialis jiwa bagi calon legislatif yang stres usai mengikuti kontestasi Pemilu 2024.
Layanan yang diberikan RS Oto Iskandar Dinata nantinya ditujukan bagi caleg yang mengalami gangguan kejiwaan seperti gelisah, gemetar dan susah tidur hingga cemas.
Tidak hanya di RS Oto Iskandar Dinata, RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo, Jawa Timur juga sudah menyiapkan ruangan khusus rawat inap untuk pasien dengan gangguan mental psikologis seperti caleg yang stres (Kompas.com, 24/11/2024).
Begitupun dengan sejumlah Rumah Sakit Jiwa, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Rumah Sakit (RS) lainnya dikabarkan siap menampung para caleg gagal dalam Pemilu 2024. Layanan gangguan kejiwaan, ruangan hingga bangsal mulai dipersiapkan oleh beberapa fasilitas kesehatan di daerah (liputan6.com, 01/12/2024).
Seperti yang telah terjadi di pemilu 2024, beredar video viral memperlihatkan seorang caleg DPRD Provinsi diduga stres berteriak-teriak. Dalam video tersebut, terekam suasana tempat pemungutan suara (TPS) dari jarak yang cukup jauh, video yang direkam malam hari tersebut juga terlihat seorang pria duduk bersandar di sebuah tiang sambil berteriak seperti orang stres. Dia berteriak karena tidak mendapatkan suara dan meminta uangnya kembali (detik.com, 15/02/2024).
Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas rentan mengalami gangguan mental.
Nova mengatakan, banyak pasien yang pernah gagal saat mencalonkan diri sebagai caleg kemudian terlilit hutang atau kecewa berat hingga depresi dan mengakhiri hidupnya.
Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materil, dan berujung kekalahan. Dengan tujuan yang baik, atau benar-benar ingin berjuang untuk negeri, menurut Nova, akan memperkecil kemungkinan masalah mental yang dialami.
Nova menyebut, tak sedikit caleg kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima kekalahan tersebut. Bahkan, tidak hanya caleg yang berobat, namun keluarga hingga tim sukses mereka juga tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental akibat kekalahan tersebut. Karena disamping membutuhkan modal yang besar, daftar calon tentu tidak sebanding dengan jumlah kursi yang tersedia (antaranews.com, 11/12/2024).
Persiapan pelayanan kejiwaan bagi para caleg ini, merupakan antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya. Fenomena stres serta depresi membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan mengakibatkan gangguan jiwa. Kerawanan ini setidaknya disebabkan oleh dua faktor. Pertama faktor sistem demokrasi yang dijadikan sebagai sistem pemerintahan di negeri ini. Faktor kedua adalah individu yang memiliki kepribadian lemah.
Berkaitan dengan faktor yang pertama. Sistem demokrasi memiliki mekanisme pemilihan pemimpin, yakni dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat. Atau memilih calon kepala negara dan anggota legislatif secara langsung. Yang tentunya sangat membutuhkan modal banyak, pasalnya kontestasi pemilu harus melakukan kampanye. Sehingga membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Mereka pasti membutuhkan perjuangan untuk mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan.
Menurut Lembaga Penelitian Mahasiswa Fakultas Indonesia (LPMFE UI), modal jadi caleg bervariatif diantaranya :
Caleg DPR RI : Rp 1 miliar - Rp 2 miliar
Caleg DPRD Provinsi : Rp 500 juta - Rp 1 miliar
Caleg DPRD kabupaten/kota: Rp 250 - Rp 300 juta. Dikutip dari (www.Examasional.com, 01-02-2024).
Hal tersebut yang menjadi pemicu stres, bagi para caleg yang gagal dalam pemilu. Apalagi hari ini jabatan tersebut menjadi impian sebagian masyarakat, karena dianggap dapat menaikkan harga diri atau prestise. Juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan berbagai fasilitas lainnya.
Sejatinya, diakui ataupun tidak, praktik demokrasi telah menjadikan kedaulatan berada di tangan segelintir orang, bukan di tangan rakyat. Segelintir itu ialah para pemilik modal. Jadi, apabila perubahan yang dikehendaki disebut demi rakyat, nyatanya itu hanya tipuan belaka. Ini karena para pemilik modal lah yang mampu mengendalikan kekuasaan.
Setiap lima tahun sekali pada pesta demokrasi, tipu-tipu itu terus saja terjadi. Lalu, mengapa rakyat tidak menyadari dan masih percaya pada sistem ini? Presiden AS kedua John Adams sendiri pernah menyatakan bahwa demokrasi tidak akan pernah bertahan lama. Ia akan segera dibuang, kehilangan kekuatannya, dan akan menghabisi dirinya sendiri.
Apabila demikian halnya, seharusnya kita katakan, “Goodbye, Demokrasi!” Demokrasi tidak akan pernah menjadi penyelamat kehidupan, melainkan justru memasukkan umat ke dalam jurang kemiskinan dan keburukan.
Adapun faktor selanjutnya yakni kekuatan mental yang lemah dari para caleg mengakibatkan stress. Padahal kekuatan mental seseorang dapat menentukan sikap terhadap hasil pemilihan. Hal ini tentu dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Faktanya, sistem pendidikan sekuler kapitalis telah gagal membentuk individu berkepribadian kuat dan mulia, karena sistem ini mutlak memisahkan aturan agama dari kehidupan. Akibatnya masyarakat tidak memahami hakikat dirinya sebagai hamba Allah, dan bagaimana menyikapi setiap persoalan kehidupan sesuai dengan syariat Islam.
Bobroknya sistem sekuler kapitalis ini telah terbukti dengan meningkatnya kasus gangguan mental di masyarakat. Inilah cabang akar persoalan gangguan mental yang terjadi pada saat pesta demokrasi.
Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah kelak, dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-nya. Dalam sistem Islam, dilakukan pemilihan wakil umat yang akan bergabung dalam lembaga Majelis Umat.
Namun Majelis Umat tidak berperan menjalankan pemerintahan tetapi merupakan wakil umat, dalam melakukan muhasabah atau koreksi dalam Syura. Pemilihan Majelis Umat mutlak melalui pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukan, karena Majelis Umat merupakan representasi masyarakat.
Maka, mereka yang terpilih adalah sosok berkepribadian Islam yang kuat, amanah, dan memahami tanggung jawabnya di hadapan Allah. Generasi dengan sosok seperti ini hanya lahir dalam sistem Islam. Seperti dimasa Rasulullah Saw saat menjadi kepala negara di Madinah, beliau sering merujuk beberapa sahabat dalam mengambil pendapat. Mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al farizi, dan Hudzaifah, serta beberapa sahabat lainnya. Para sahabat inilah yang merupakan anggota Majelis Umat.
Realitas Majelis Umat diambil dari perlakuan khusus Abu Bakar terhadap beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar saat menjadi khalifah. Dan Ahlus Syura pada masa Abu Bakar adalah para ulama dari orang-orang yang ahli dalam masalah fatwa.
Adapun dalam hal pengangkatan kepala negara, Islam telah menerapkan metode baku yaitu bai'at Syar'i. Seorang calon pemimpin akan dibaiat, jika mendapat dukungan umat, tanpa harus melalui pemilu langsung yang menghabiskan uang negara. Akan tetapi dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya melalui Majelis Umat yang memilih penguasa. Namun tidak menutup kemungkinan jika pemilu dalam Islam bersifat langsung. Karena pemilihan langsung bukanlah metode Islam melainkan teknis atau hanya opsional. Karena metode baku menurut Syari'at adalah bai'at.
Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat, pada pembaiatan Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah Saw. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye, sehingga tidak perlu kampanye akbar yang menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan akan dibuat sederhana, sehingga dalam waktu tiga hari pemilu sudah selesai. Selain pemilihan yang sederhana, sistem Islam juga mengantarkan seseorang menjadi pemimpin yang memahami kekuasaan sebagai amanah. Mewujudkan manusia yang beriman kepada qadha dan qadar yang ditetapkan Allah. Sistem ini juga mampu melahirkan individu yang senantiasa dalam kebaikan, karena selalu bersyukur dan bersabar sehingga terhindar dari gangguan jiwa. Inilah mekanisme pemilihan dalam Islam yang efektif dan mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Umat Islam harus segera menyadari bahwa kesempurnaan Allah sebagai pembuat hukum dapat dirasakan dan disaksikan hanya dalam bangunan institusi Islam (Khilafah). Khilafah telah terbukti selama 14 abad menjalankan sistem pemerintahan yang mampu mensejahterakan, memberi keadilan, serta melahirkan manusia yang beradab dan berakhlak mulia. Sudah sepatutnya kita tinggalkan demokrasi yang terbukti gagal.
Tentu kita merindukan hidup dalam kepemimpinan yang amanah, mencintai, dan mensejahterakan rakyatnya. Seperti halnya yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ia pernah mengatakan kepada istrinya Fatimah, “Fatimah, aku memikul beban umat Muhammad dari yang hitam hingga yang merah. Aku juga memikirkan persoalan orang-orang yang fakir dan kelaparan, orang yang sakit dan diacuhkan, orang yang tidak sanggup berpakaian yang tersisihkan, orang yang teraniaya dan tertindas, yang terasing dan tertawan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat tetapi hartanya sedikit, serta orang-orang seperti mereka di seluruh pelosok negeri. Aku sadar dan aku tahu bahwa Tuhanku kelak akan menanyakannya pada hari kiamat. Aku khawatir saat itu aku tidak memiliki alasan terhadap Tuhanku, maka menangislah aku.”
Walahu a'lam bishawab
Post a Comment