Eksploitasi sumber daya alam di Indonesia kian hari semakin massif. Hal ini terlihat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir. Tercatat dalam laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI). WRI mendefinisikan hutan primer tropis sebagai hutan berusia tua yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. Dan catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023. Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring menyebut angka deforestasi itu lebih luas dari rata-rata per tahun dalam lima tahun terakhir.
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam tak lagi mampu mempertahankan kekayaanya, tanpa berfikir dua kali sepertinya keenganan pemerintah untuk memasang target nol deforestasi tak menjadi sebuah pilihan. Laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa Indonesia telah kehilangan 10,2 juta hektare area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi (perubahan lahan hutan menjadi nonhutan secara permanen, seperti menjadi perkebunan atau permukiman) serta degradasi (penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan, baik yang disebabkan aktivitas manusia maupun peristiwa alam). Miris, padahal untuk memulihkan hutan primer butuh waktu puluhan tahun bahkan hingga berabad-abad lamanya.
Demi sebuah kepentingan pertumbuhan oligarki yang tanpa batas justru mengancam batasan alam kita, beginilah sebuah realita hidup di sistem kapitalisme yang kepentingan diatas segala-galanya tanpa melihat bagaiamana dampak krisis sosial dan lingkungan. Kemudian daripada itu akibat masifnya deforestasi, terjadilah bencana dan kesulitan hidup bagi rakyat. Rakyat kehilangan ruang hidup dan menjadi korban bencana alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor, kenaikan suhu secara global, hilangnya sumber air, punahnya ekosistem, dan lainnya. Pada saat bersamaan para kapitalis (pemilik modal) berpesta cuan sebagai hasil menggunduli hutan, rakyat menangis dalam penderitaan.
Para kapital (pemilik modal) hanya terpaku pada pertumbuhan ekonomi saja maka tidak ada halangan ketika ada hutan yang dialihfungsikan menjadi perkebunan atau tambang, bahkan bukan aktivitasnya yang dihentikan dan pengusahanya diberi sanksi, tetapi status hutannya yang diubah sehingga legal untuk digunduli. Sistem kapitalisme juga menuhankan keuntungan materi sehingga segala cara boleh ditempuh demi menangguk untung. Keuntungan menjadi sesuatu yang sangat dominan dan bahkan menjadi tujuan setiap perbuatan. Akibatnya, pengusaha kapitalis menghalalkan segala cara demi meraih keuntungan, termasuk dengan merusak hutan, membakarnya. Padahal masyarakat butuh kesejahteraan yang merata disbanding sekedar pertumbuhan ekonomi belaka.
Hal ini berbeda dengan Islam. Di dalam sistem Islam, manusia diperintahkan untuk menjaga kelestarian alam dan tidak boleh melakukan kerusakan di muka bumi. Allah berfirman, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik.”
Pembangunan bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat sehingga dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab, bukan cara yang eksploitatif. Pembangunan di dalam sistem Islam membawa kebaikan dan keberkahan bagi manusia, hewan, maupun alam.
Penjagaan kelestarian lingkungan, termasuk hutan, di dalam Islam dilakukan dengan pelaksanaan syariat Islam. Adapun syariat terkait pelestarian hutan adalah adanya ketetapan hutan sebagai harta milik umum. Dengan demikian, negara wajib mengelola agar hutan tetap lestari dan dapat membawa maslahat untuk umat.
Oleh karenanya, klasifikasi hutan harus dipenuhi dengan baik, bukan sekadar formalitas. Mana hutan yang dilindungi dan mana hutan yang boleh diambil hasilnya, baik kayu maupun nonkayu. Komitmen pelestarian hutan harus kuat, sebagai wujud ketaatan pada Allah, dan tidak boleh sekadar kamuflase, seperti sebuah video yang menunjukkan sebuah kawasan hutan dari pinggir jalan tampak lebat, tetapi di bagian dalam ternyata gundul parah.
Islam memiliki berbagai aturan untuk menjaga kepemilikan umum, termasuk hutan.
Berdasarkan syariat tentang kepemilikan, hutan termasuk kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta, baik untuk perkebunan, tambang, pariwisata, maupun yang lainnya. Negara harus mengelola hutan dengan bertanggung jawab dan menggunakan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat.
Negara bisa meng-hima (memproteksi) kawasan hutan tertentu untuk cagar alam demi melindungi flora atau fauna tertentu, bisa juga memproteksi hutan lindung demi kelestarian lingkungan dengan melarang masyarakat untuk mengambil apa pun dari hutan tersebut.
Khilafah juga melakukan edukasi pada rakyat melalui sistem pendidikan dan departemen penerangan (informasi dan telekomunikasi) agar seluruh rakyat turut andil dalam penjagaan hutan. Negara mengerahkan polisi untuk menjaga hutan dari serangan para penjarah hutan.
Selvy
Alumni Universitas Muslim Nusantara
Post a Comment