Curiga, Mitigasi Ala Kapitalis Tak Mampu Atasi Tragedi!

 

Kontributor: Ismayanti

Jug ijag ijug ijag ijug kereta berangkat.. Jug ijag ijug ijag ijug hatiku gembira.. siapa sangka, insiden maut tabrakan kereta api (KA) di jalur tunggal kembali terjadi di Indonesia. Kecelakaan yang melibatkan KA Turangga dan KA Lokal Commuter Line Bandung Raya pada Jumat (05/01/24), tragedi ini terjadi di KM 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur-Stasiun Cicalengka, di daerah di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sekitar pukul 06.03 WIB. Insiden ini telah merenggut jiwa empat orang dan korban luka 42 orang.


Kecelakaan kereta api kerap terjadi di Indonesia. Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan, terdapat 103 kasus kecelakaan kereta api di Indonesia selama periode 2007—2023. Frekuensi kejadiannya berkisar 1—13 kecelakaan tiap tahun (Katadata, 05/01/2024).


Para pakar mengungkapkan beberapa faktor yang menjadi penyebab kecelakaan KA Turangga dan KA Commuter Line Bandung Raya belum sampai pada penyebab paling mendasar. Sebagaimana yang diungkapkan Joko Setijowarno, Wakil Ketua Umum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Menurutnya, sistem jalur tunggal dan kesalahan manusia (human error) bisa menjadi faktor penyebab tragedi ini terjadi.


Begitu pula menurut pakar transportasi di ITB, Sony Sulaksono, yang melihat kerawanan di jalur tunggal kereta. Menurutnya, Tabrakan di Cicalengka rentan terjadi jika muncul masalah sinyal maupun kesalahan manusia. Sony menekankan pentingnya pembangunan jalur ganda di jalur selatan Jawa Barat seperti Tahap 2 proyek Kiaracondong-Cicalengka.


Insiden yang sering berulang seperti ini seharusnya membuat pemerintah mengevaluasi diri, mengapa kecelakaan kereta demikian sering terjadi? Apakah penyebabnya? Apakah hanya human error semata atau ternyata ada system error?


Negara dalam hal ini merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kecelakaan. Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan mitigasi, melakukan upaya untuk mengurangi risiko kecelakaan. Sebab keamanan dan keselamatan merupakan hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Pemerintah harus memahami dirinya adalah pemimpin yang harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, termasuk bertanggung jawab menjaga keselamatan rakyatnya dan negara tidak boleh abai terhadap urusan ini.


Mewujudkan mitigasi bencana bukan semata soal dana sehingga ketika anggaran dinaikkan seolah masalah sudah selesai. Namun, ada hal yang mendasar, yaitu perspektif kepemimpinan (mafhum riayah) pada diri penguasa. Sejauh mana ia memahami dirinya adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, kesejahteraannya, kesehatannya, pendidikannya, termasuk bertanggung jawab menjaga keselamatan rakyatnya.


Karena itu, tidak boleh cukup hanya dilihat dari sisi angka korban meninggal dan luka-luka. Akan tetapi, setiap orang yang menjadi korban tersebut akan menuntut riayah (pengurusan) yang telah mereka dapatkan dari penguasa di yaumil akhir nanti. Sebagaimana Rasulullah bersabda:

“Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).


Sayangnya, perspektif riayah ini tidak ada di dalam sistem demokrasi kapitalisme. Penguasa membuat kebijakan bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi dengan pertimbangan untung rugi (materi). Jika ditelusuri secara mendasar, pangkal penyebab berulangnya kecelakaan KA bukan semata faktor jalur tunggal atau kesalahan manusia, melainkan juga pada tata kelola transportasi yang berlandaskan pada sistem kapitalisme neoliberalisme.


Dalam sistem kapitalisme, apapun akan dilakukan selama mendatangkan keuntungan dan maslahat, termasuk menjadikan transportasi satu ini sebagai lahan komersial (pasar) yang akan mendatangkan materi. Inilah salah satu bentuk neoliberalisme dalam sistem hari ini, menjadikan hajat hidup masyarakat tidak lebih sebagai komoditas yang dapat diperjual-belikan.


Sementara itu, rakyat harus mengalami keburukan demi keburukan karena kebijakan penguasa. Infrastruktur yang uzur sehingga tidak layak pakai dan rawan terjadi kecelakaan tetap digunakan. Akibatnya, kecelakaan transportasi kerap terjadi. Rakyat menjadi korban karena error-nya sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan penguasa. Sehingga jaminan keselamatan bagi masyarakat saat bertransportasi dalam sistem ini adalah hal yang nihil terjadi, tidak mungkin terwujud secara hakiki. Inilah bahaya politik transportasi kapitalistik.


Berbeda halnya dengan sistem Islam (Khilafah) yang memiliki beberapa prinsip pengelolaan transportasi publik yang sahih karena dilandasi syariat yang berasal dari Allah SWT. Yaitu transportasi dipandang sebagai kebutuhan dasar publik, yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Bukan hanya sebagai detak jantung perekonomian sistem kapitalis hari ini. Negara juga wajib menjamin ketersediaan transportasi publik yang memadai. Selain itu, Khilafah juga akan memanfaatkan teknologi yang canggih yang akan menyediakan moda transportasi beserta kelengkapannya yang terbaik bagi masyarakat dengan prinsip pelayanan dan tanggung jawab.


Anggaran dana yang digunakan untuk semua hal di atas bersifat mutlak, artinya ada atau tidak ada dana khas yang diperuntukkan untuk pembiayaan transportasi publik, yang ketiadaannya berdampak bahaya bagi masyarakat, wajib diadakan oleh negara. Karena KA memerlukan perawatan dan pembiayaan pembelian berbagai komponen, dsb. Sehingga kemungkinan terjadi dharar (kecelakaan) relative kecil. Karena mencegah terjadinya dharar sekecil mungkin terutama oleh seorang pemimpin negara. []

Post a Comment

Previous Post Next Post