Caleg Gagal Kena Mental, Akankah Terulang?


Oleh: Hildayanti 


Dikutip dari JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah rumah sakit menyiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi calon legislatif (caleg) yang mengalami stres atau gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan legistlatif (Pileg) di Pemilu 2024.


Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung Jawa Barat, misalnya,  salah satu rumah sakit yang menyiapkan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami gangguan mental.


Tidak hanya itu, pihak RS Oto Iskandar Dinata juga menyiapkan dokter spesialis jiwa dan bagi calon legislatif yang stres usai mengikuti kontestasi Pemilu 2024.


Tidak sedikit caleg yang mencalonkan diri hanya untuk tujuan kekuasaan ataupun materil, dan berujung kekalahan. Dengan tujuan yang baik, atau benar-benar ingin berjuang untuk negeri, 


Menurut Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR Dr Nova Riyanti Yusuf  mengatakan tak sedikit caleg kalah suara yang akhirnya berobat ke psikiater, menyatakan bahwa mereka tidak dapat menerima kekalahan tersebut. Bahkan, tidak hanya caleg yang berobat, namun keluarga hingga tim sukses mereka juga tak jarang yang turut mengalami stres hingga gangguan kesehatan mental akibat kekalahan tersebut.


Pemilu dalam Demokrasi

--


Fenomena “caleg gagal kena mental” makin membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan menyebabkan gangguan mental. Setidaknya ada tiga poin sebab pemilu dalam sistem demokrasi rawan mengantarkan para kontestannya mengalaminya.


Pertama, pemilu dalam sistem ini berbiaya mahal. Bukan lagi rahasia jika para kandidat butuh biaya selangit untuk bisa maju. Misalnya, disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar—Rp4,6 miliar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp40 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp5 miliar untuk menjadi capres.


Biaya tersebut digunakan untuk berbagai macam, salah satunya akomodasi ke daerah pemilihan, mulai dari transportasi, penginapan, makan, dan sebagainya. Ada juga biaya kampanye, seperti produksi baliho, kaos, umbul-umbul, iklan, dan logistic lainnya. Caleg pun harus membiayai tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Ini belum bicara biaya “serangan fajar”. Wajar jika pemilu dalam demokrasi tidak bisa dipisahkan dari money politik.


Bayangkan, para kandidat harus menguras harta bendanya untuk bisa mencalonkan diri. Tidak jarang dari mereka yang akhirnya berutang dan mencari sponsor. Alhasil, jika gagal, mereka akan kehilangan harta benda dan harus mengembalikan semua utangnya. Inilah yang menjadikan mereka akhirnya kena mental ketika gagal.


Kedua, mayoritas caleg bertujuan kekuasaan dan materi. Tidak dimungkiri, ada beberapa dari mereka yang tulus Ikhlas untuk membangun bangsa, bahkan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Hanya saja, selain jumlah mereka amatlah minim, juga keberadaan mereka akan terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta.


Dikatakan demikian sebab sistem yang sekarang ini —yang asasnya sekuler—hanya akan menghimpun para petarung yang tidak paham agama. Mereka akan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi, tidak peduli haram halal, apalagi mudarat atau maslahat bagi umat. Dari sini saja, kandidat yang Ikhlas akan tersingkir sebab mereka tidak akan mau melakukan kecurangan.


Kehidupan sekuler memang melahirkan masyarakat yang jauh dari agama. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan manusia. Masyarakat sekuler juga tidak memiliki tujuan mulia dalam hidupnya, yaitu beribadah kepada Allah Taala. Standar kebahagiaannya hanyalah materi dunia.


Wajar jika jabatan menjadi Impian besar mereka yang dianggap mampu menaikkan harga diri atau prestise. Jabatan pun merupakan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas hidup. Wajar juga jika kandidat sekuler yang lemah imannya, depresi saat kalah, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya.


Ketiga, jika menelisik lebih dalam atas segala yang terjadi pada setiap pemilu dalam sistem ini  kita akan mendapati bahwa para pemenang tidak sama sekali menjadi representasi rakyat. Berbagai kebijakan yang ditetapkan tidak pernah memihak rakyat. Slogan demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah ilusi yang tidak pernah terealisasi.


Faktanya, kebijakan yang ditetapkan hanya berputar pada kemaslahatan oligarki. Lihat saja sejumlah UU pro oligarki, ditetapkan di tengah penolakan rakyat banyak. Alhasil, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya, kesejahteraan rakyat tidak akan pernah terjamin dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh rakyat.


Oleh karena itu, sejatinya, pesta demokrasi ini hanyalah alat legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seolah-olah ambil andil dalam menentukan penguasa, padahal semua telah diatur sedemikian rupa agar pemenang adalah mereka yang tunduk pada pengusaha. Bukankah ini pula yang dapat menyebabkan caleg depresi saat mengetahui suaranya bisa dicurangi, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa?


Kekuasaan dalam Islam


Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Taala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.


“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim). 


Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan, haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.


Walhasil, para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.


Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang pada sanak saudara dan kolega. Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Dengan keimanan yang tinggi, kemenangan dan kekalahan hanyalah ketetapan Allah Swt. yang ia harus syukuri.


Fenomena caleg stres akibat kalah di kontestasi hanya ada dalam masyarakat sekuler yang menjauhkan aturan Allah Swt. dalam setiap aktivitasnya. Sistem politik ini menjadi jalan untuk menghimpun para kandidat yang gila kuasa dan harta sehingga gangguan mental akibat kalah menjadi niscaya.


Pemilu dalam sistem ini tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali keburukan. Oleh karenanya, kembali pada sistem politik yang Allah ridhoi adalah sesuatu yang urgen dilakukan agar kehidupan umat manusia bisa kembali mulia. Waalahu'alam bis shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post