Buah Demokrasi Lebih Merusak dari Sekadar Mempertahankan Dinasti

 



Oleh Apt. Devi Marlina Sari, S. Farm

Praktisi Kesehatan dan Pegiat Literasi Dakwah

 

Februari 2024 menjadi bulan yang dinanti, mungkin oleh sebagian rakyat negeri ini yang masih bersembunyi di balik dinding demokrasi. Pesta rakyat yang menjadi simbol kemeriahan dan uforia. Kebebasan memilih katanya. Hikmah kemerdekaan katanya. Untuk memilih pengemban amanah yang setia katanya. Betulkah seindah lagu yang selalu berkumandang saat Pemilu 5 tahunan tiba?


Faktanya tidak semua rakyat sadar betul apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah harga bahan pokok yang melejit, perut yang menjerit, kebutuhan hidup yang melilit, kemudian Bansos hadir bak bintang yang jatuh dari langit. Duhai bapak pemimpin betapa engkau adalah malaikat penolong. Rakyat lupa jika itu kewajiban negara, mereka lupa jika harga pun sebenarnya ada dalam genggaman pemimpin–pemimpin negara. Sungguh drama usang yang berulang setiap setengah dasawarsa.


Bansos atau Bantuan Sosial menjadi salah satu cara untuk membajak hati dan pikiran rakyat. Menjadikan rakyat tidak berpikir jernih. Apalagi ditambah keadaan yang seolah dibuat menghimpit, sudah pasti Bansos menjadi solusi cepat. Setelah itu, bisa dipastikan rakyat akan condong pada pihak yang digaungkan sebagai pemberi. Masih masuk akal jika sarana dan dana yg digunakan adalah milik individu atau kelompok pendukungnya, tapi jika sarana dan dana yang digunakan adalah milik negara diatasnamakan individu, itu sudah di luar nalar.


Seperti yang dikutip dari BBCNEWSIndonesia (bbc.com/Indonesia), menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo dan menteri-menteri yang tergabung dalam tim kampanye pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dinilai kian masif menggunakan program bantuan sosial sebagai alat kampanye pendongkrak suara. Meski telah memberi imbauan agar kepala negara tidak keluar jalur, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) diharapkan bersikap lebih tegas. (30 Januari 2024). Ditegaskan lagi dikolom berita yang sama yaitu jika ditotal, alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp496,8 triliun. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp433 triliun. Bahkan tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada masa Pandemi Covid-19, yaitu Rp468,2 triliun (2021) dan Rp460,6 triliun (2022).


Ini luar biasa culas. Kebijakan kenaikan dana negara untuk bansos ini dikeluarkan oleh rezim yang berkuasa, ini disinyalir untuk mendongkrak perolehan suara salah satu paslon yang tidak lain adalah anak dari pemimpin rezim. Ini dapat dilihat dari berbagai video yang beredar dari acara-acara pembagian bansos yang sengaja direkam. Penerima bantuan sosial diminta mengatakan terima kasih kepada pemimpin rezim dan diakhiri dengan iklan kampanye paslon tersebut. Apakah Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) diam, tentu saja tidak. Namun sebatas mana taring Bawaslu, sebatas apa yang dinyatakan oleh anggota Bawaslu Puadi sebagai koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi yaitu, "Kita (Bawaslu) nanti akan memberikan imbauan kepada pihak terkait dalam kaitannya dengan bansos yang berhubungan dengan kampanye pemilu. Tapi tidak kemudian penyelenggara untuk menahan (bansos)," (bawaslu.co.id/7 Januari 2024). Sebatas Imbauan. Padahal bisa lebih dari itu, diantaranya menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP.


 

Bansos hanya salah satu dugaan pelanggaran kode etik pemilu, masih banyak yang lain seperti mencuri start kampanye dengan mengumpulkan kepala desa dan lain sebagainya. Semua dilakukan demi mempertahankan dinasti. Melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan yang memperkaya pribadi dan kelompoknya. Berbagai peraturan dibuat demi mencapai tujuan. Semua aksi ini lahir dari sistem demokrasi yang menerapkan kebebasan. Selama demokrasi yang masih dijadikan pegangan dalam bernegara maka semua aksi itu akan berulang bahkan lebih dahsyat. Siapapun pemimpinnya selama menggunakan demokrasi maka permasalahan kehidupan bermasyarakat dalam negara akan rusak. Ditambah lagi paham sekularisme yang menyertainya. Demokrasi sekuler berarti kebebasan yang memisahkan agama dari kehidupan. Apakah rakyat tidak punya pilihan untuk merubah sistem? Tentu punya. Solusi Islam. Mengapa Islam?


 

Karena Islam memiliki sistem bernegara yang paripurna. Bagaimana seorang pemimpin seharusnya. Bagaimana memilih seorang pemimpin tanpa cawe-cawe dan tanpa politik transaksional. Dalam Islam pemimpin adalah periayah rakyat atau mengurusi urusan umat atau pelayan rakyat. Pemimpin tersebut mengurusi rakyatnya dengan syariat dari Allah azza wajalla. Menjaga nyawa, menjaga kehormatan dan menjaga agama rakyatnya. Menjaga seluruh rakyat di bawah naungannya baik muslim maupun nonmuslim. Selayaknya Rasulullah saw. memimpin di Madinah dan sebagaimana para sahabat serta khalifah–khalifah yang banyak pernah memimpin. Sebut saja Umar bin Khataab, Umar bin Abdul Aziz, Mu’tazim billah, Muhammad Al Fatih sampai Abdul Hamid II. Memilih pemimpin dalam Islam sangat sederhana cukup ada tujuh syarat, yaitu: Muslim, laki-laki, berakal (‘aaqil), balig (dewasa), merdeka (bukan budak), adil (bukan fasik), dan mampu. Namun, tidak ada 1 saja diantara 7 maka tidak bisa dipilih. Meski dia kaya, ganteng, gemoy, pintar berargumentasi, tetapi tidak merdeka atau di bawah kekuasaan oligarki maka tak memenuhi syarat dipilih menjadi pemimpin. Meskipun bansos bertriliun-triliun, tapi rakyat tidak akan tergiur, karena paham syarat dipilihnya seseorang menjadi pemimpin dalam Islam.


 

Tujuan utama terselenggaranya pemerintahan termasuk memilih kepala negara adalah agar kepala negara itu menegakkan agama Allah Swt. di muka bumi. Dan memilih pemimpin adalah wajib sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: من ماث وليس يف عنقه بيعةمات ميتةجاهلية “Barang siapa yang meninggal tanpa mengikat sumpah setia (bai`at) dilehernya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.” Dan Yusuf al-Qaradhawi mengomentari hadis tersebut, bahwa diharamkan bagi seorang muslim untuk membai`at atau mengucapkan sumpah setia kepada pemimpin yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Untuk menyelamatkan ummat Islam dari dosa, maka mereka harus membai`at penguasa yang sejalan dengan ajaran Islam. Jika hal tersebut tidak terlaksana, maka ummat Islam berdosa sampai tercapainya penerapan hukum Islam (Qaradhawi, Yusuf al-, 1997. Min Fiq al-Daulah fi al-Islam. Kairo: Dar al-Syurq).

 


Maka nyatalah buah dari demokrasi sekuler adalah kebebasan dengan memisahkan agama dari kehidupan, bahkan mencampakkan agama. Dan itu adalah puncak dari kekufuran. Kekufuran mendatangkan kerusakan lebih dari sekadar mempertahankan dinasti. Dengan berpedoman kepada tali agama Allah dalam memilih pemimpin maka Allah rida. Ketika Allah Swt. ridaa maka rahmat-Nya turun ke negeri-negeri itu. Dengan rahmat-Nya maka cukuplah negeri itu dalam lindungan Allah Swt.


 

Wallahualam bissawab

 

 

 

 

 

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post