Oleh Suci Halimatussadiah
Ibu Pemerhati Umat
Setiap muslim wajib memperhatikan kehalalan semua jenis makanan yang akan dikonsumsi sebagai wujud ketaatannya kepada Sang Khalik. Makanan halal, baik, dan bersih juga akan membawa dampak pada kesucian jiwa, kesehatan jasmani, dan kekhusyukan beribadah dalam meraih rida Allah.
Maka, penting bagi negara memberikan jaminan halal bagi rakyat. Untuk mewujudkan jaminan halal tersebut, Kementerian Agama mewajibkan pedagang makanan dan minuman termasuk pedagang kaki lima (PKL) agar memiliki sertifikat halal. (media online kompas.com, 2/2/2024)
Untuk penerapan awal, batas waktu kewajiban ini hingga 17 Oktober 2024. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag, Muhammad Aqil Irham. Tidak main-main, negara pun akan menegakkan sanksi bagi pedagang yang kedapatan tidak memiliki sertifikat halal.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk, sanksi yang diberikan dapat berupa peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan produk dari pasar. Di samping itu, negara juga memberikan kemudahan kepengurusan sertifikasi halal dengan menyediakan 1 juta kuota Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) yang dapat dimanfaatkan oleh PKL dalam memenuhi kewajiban tersebut. (tirto.id, 2/2/2024)
Hanya saja ternyata faktanya, 1 juta kuota Sehati tidak sebanding dengan jumlah pedagang yang ada. Jika hanya 1 juta kuota maka akan banyak pedagang, termasuk PKL yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke tidak dapat merasakan Sertifikat Halal Gratis tersebut.
Pada akhirnya mereka harus mengikuti program reguler yang berbayar demi memenuhi kewajiban ini. Selain keterbatasan kuota gratis, ada pula batas waktu berlakunya sertifikat halal, yakni 4 tahun sejak diterbitkan, kecuali bila terdapat perubahan komposisi bahan seperti dalam Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Pasal 42 maka batas waktu bisa lebih cepat.
Setiap pedagang juga diwajibkan membayar perpanjangan sertifikat halal mereka secara berkala. Tentu hal ini membuka peluang terjadi komersialisasi di balik penerapan kewajiban sertifikat halal.
Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya jaminan kehalalan produk yang seolah memihak rakyat, nyatanya malah menyusahkan rakyat. Padahal, bagi setiap pedagang muslim yang taat, produk yang mereka jual pun pasti sesuai syariat. Alhasil, kewajiban sertifikat halal berbayar akan menjadi tambahan beban modal yang harus dikeluarkan demi melaksanakan regulasi yang ditetapkan.
Kondisi ini tidaklah membuat kita heran karena layanan negara saat menjalankan perannya telah terkontaminasi oleh tujuan komersial. Ini tidak terlepas dari sistem yang dianut negara di mana negara menuntut banyak peluang adanya pemasukan dari rakyat untuk negara. Sistem tersebut yaitu kapitalisme.
Sistem kapitalisme telah menjadikan negara hanya sebagai pemegang regulasi yang memfasilitasi para kapitalis meraup keuntungan dari pengaturan dan pelayanan yang dilakukan oleh negara. Akibatnya, setiap kebijakan yang diterapkan mengandung nilai materi yang senantiasa diperhitungkan dan diutamakan. Dengan kata lain, setiap kebijakan harus menghasilkan materi serta keuntungan.
Begitu pula dengan kebijakan sertifikasi halal ini. Semestinya, jaminan sertifikasi halal adalah murni pelayanan negara terhadap rakyat. Tidak disertai dengan embel-embel lain, apalagi berbayar dan berjangka waktu sehingga perpanjangannya pun wajib bayar. Sebab, fungsi negara yang sebenarnya adalah sebagai pelindung dan pelayan rakyat. Apalagi jika jaminan kehalalan ini adalah bagian dari perintah agama maka tanggung jawab negara juga langsung kepada Pencipta.
Urusannya tidak hanya di dunia, tetapi juga di kehidupan akhirat kelak. Negara juga seharusnya memberikan edukasi kepada pelaku usaha dan masyarakat agar sadar halal sebagai perintah dan kewajiban agama. Oleh karenanya, tumbuh persepsi individu dan perilaku terhadap apa yang mereka konsumsi, baik itu makanan dan minuman ataupun produk lainnya sebagai bagian dari kepentingan keimanannya, sesuai dengan perintah Allah Swt., “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS ‘Abasa [80]: 24)
Begitulah pandangan Islam terhadap fungsi negara. Islam menjadikan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Dalam hadis riwayat Bukhari, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
Oleh karena itu, sudah seharusnya kepengurusan rakyat wajib diemban oleh negara termasuk menjaga akidah dan agamanya. Hal ini tidaklah mungkin dilakukan dalam sistem kapitalisme saat ini. Dengan asas sekulernya, agama tidaklah menjadi aturan dalam kehidupan sehingga negara kurang serius dalam memberikan jaminan halal dan sibuk mendulang cuan dari rakyatnya.
Oleh karenanya, kemudahan dan ketenangan rakyat akan jaminan produk halal hanya dapat diraih dengan tegaknya aturan Islam dalam naungan sistem Islam sebagai satu-satunya sistem sempurna yang akan menjadi solusi dari segudang problematika di dunia.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment