Dilansir dari Gatracom (31/01/2023), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari mengklaim pinjaman pemerintah masih terkendali, masih dalam posisi wajar dan aman, baik dari dalam maupun luar negeri. Ia menjelaskan, total utang pemerintah per 30 November 2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Pinjaman tersebut dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun.
Pinjaman tersebut dipergunakan dalam memenuhi pembiayaan defisit APBN, sekaligus membiayai proyek-proyek prioritas secara langsung. Diantaranya, pembangunan infrastruktur jalan tol. proyek-proyek untuk institusi pendidikan, fasilitas kesehatan, pengembangan fasilitas kelistrikan, program pengembangan pertanian dan pedesaan serta fasilitas air bersih. Menurut Kemenkeu, proyek-proyek pembangunan yang dibiayai melalui pinjaman tersebut telah memberikan dampak positif bagi masyarakat, terutama dalam menggerakkan ekonomi di daerah.
Nyatanya semua proyek yang dibangun tidak dapat dirasakan seluruhnya oleh masyarat, hanya segelintir orang yang dapat menikmatinya. Padahal semua rakyat dikenakan pajak untuk membangun negeri ini. Belum lagi kekayaan sumber daya alam yang kita miliki seharusnya mampu memenuhi kebutuhan rakyat tanpa mengambil jalan pinjaman atau utang luar negeri.
Jika diingat kembali kenaikan nilai pinjaman negeri ini bertolak belakang dengan isi kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 yang menyatakan akan menyetop utang luar negeri. Jelasnya bahwa Indonesia akan mandiri dalam semua bentuk pembangunan dengan melakukan efisiensi APBN. Mirisnya, rezim ini tercatat dalam sejarah sebagai rezim yang paling banyak berutang. Dengan kelipatan tiga kali lipat dibandingkan dengan awal berkuasa pada tahun 2014.
Kita ketahui bahwa pinjaman yang ditarik oleh pemerintah adalah utang ribawi. Utang-piutang yang memberikan memberikan manfaat kepada pihak pemberi utang adalah riba dan haram. Sekecil apapun manfaat atau keuntungan berupa materi atau jasa yang dihasilkan dari utang, baik secara paksa ataupun sekurela, adalah riba nasi'ah yang jelas keharamnya.
Banyak dalil yang menjelaskan terkait riba ini. Bisa kita lihat diantara firman-Nya adalah QS. al-Baqarah [2]: 275, QS. al-Baqarah [2]: 278, QS. Ali Imran [3]: 130. Semua praktik utang-piutang yang mengandung riba adalah haram. "Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama". (Ibnu Qadamah, Al-Mughni, 64/436).
Rakyat perlu menyadari bahwa utang ribawi adalah beban berat untuk negeri ini. Bunga utang (riba) yang harus dibayar oleh Pemerintah sungguh mencekik. Bunga yang harus dibayar negeri ini pada tahun 2023 adalah Rp 437,4 triliun dan pada tahun 2024 adalah Rp 497,32 triliun. Selama ini Pemerintah mengklaim bahwa subsidi rakyat menjadi beban APBN. Padahal utang beserta bunganyalah yang menjadi beban utama APBN.
Semua proyek pembangunan lewat utang asing dan aseng pun tidak berdampak pada ekonomi rakyat banyak. Contoh pembangunan sejumlah bandara, ruas tol, Kereta Cepat, dan IKN. Malah utang luar negeri ini mengancam kedaulatan suatu negara. Sudah terbukti seperti negara Zimbabwe, Srilanka, Pakistan, Uganda, Kenya dan Maladewa adalah bagian negara yang mengalami kolaps akibat perangkap utang luar negeri.
Utang ribawi dengan alasan apapun tetap haram. Praktik yang dilakukan para pemimpin negeri Muslim jelas termasuk dosa besar. Dimana utang ribawi tersebut menimbulkan bahaya (dharar) terhadap kaum muslim. Hal ini yang menyebabkan kaum Muslim berada dalam kendali negara pemberi utang. Misalnya, penguasaan wilayah dan kekayaan alam oleh pihak asing pemberi pinjaman. Jelas utang negara yang mengandung riba adalah batil yang menjerumuskan negeri dalam cengkeraman asing. Sudah saatnya umat melepaskan negeri ini dari jerat utang ribawi yang dijadikan senjata penjajah oleh pihak asing.
Hal ini tidak dapat terwujud selama negeri ini masih menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang menghalalkan riba serta membolehkan swasta lokal, asing dan aseng mengeruk sumber daya alam milik rakyat. Sistem ekonomi Kapitalisme juga yang mengakibatkan riba merata keseluruh negeri. Bahkan orangbyang tidak bermuamalah ribawi pun terkena debunya.
Dengan pergantian Kepemimpinan, tidak mampu menyelesaikan ekonomi negeri ini dari jeratan utang ribawi yang mencekik. Tapi diperlukan perubahan ke arah penerapan syarih Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Artinya, cengkeraman utang ribawi itu baru akan terlepas jika umat kembali menerapkan syariah Islam dalam institusi daulah Islam (Khilafah), bukan dalam sistem Demokrasi dan Kapitalisme sebagaimana saat ini.
Siapapun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariah Islam, selamanya utang ribawi akan menyelimuti negeri ini. Dimana yang telah jelas tidak mampu menyejahterakan tapi menyengsarakan rakyat.
"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi." (TQS. Al-A'raf [7]: 96)
WalLaahu a'lam bi ash showaab
Post a Comment