Utang Dianggap Aman, Rakyat Jauh dari Kesejahteraan


Oleh: Izzah Saifanah 


Dikutip dari situs Viva (30/12). Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. 


Negeri yang kaya akan sumber daya nampaknya tidak mampu menjadi jaminan terbebas dari utang. Buktinya Indonesia sebagai negara dengan SDA melimpah justru tenggelam dalam kubangan utang yang semakin besar. Padahal, dalam kapitalisme utang adalah alat penjajahan ekonomi yang tidak ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Kalaupun ada, rakyat hanya mendapatkan recehannya. 

Utang lebih banyak digunakan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Sementara, mayoritas infrastruktur dinikmati oleh para kapitalis. Selain itu, kita juga bisa melihat jalan tol seolah menjadi jalan yang memisahkan antara yang punya uang dan yang tidak. Jalan tol hanya mampu diakses bagi yang membayar, itu pun berlaku untuk roda empat ke atas. 


Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan zaman penjajahan dahulu. Para penjajah membangun infrastruktur di negeri jajahannya bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan bisnis mereka sendiri. Para kapitalis itu pun memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, melalui bunga utang. 

Kedua, bisa mengeksploitasi negara yang berutang. Walhasil, yang mengambil untung dari utang ini jelas para kapitalis itu, bukan rakyat. Kedaulatan negara pun menjadi sandera akibat ketergantungannya pada utang. Namun, sangat sulit bagi negeri ini untuk lepas dari jerat utang selama sistem ekonomi yang dipakai masih pro kapitalis. Sistem kapitalisme inilah yang melestarikan adanya utang sebagai alat penjajahan ini.

Jika penguasa dan jajarannya menyadari bahwa bahaya utang luar negeri hanya berujung pada kesengsaraan, seyogyanya ada keinginan dan tekad kuat untuk mandiri, termasuk menyelesaikan problem ekonomi. Mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis.


Politik ekonomi Islam adalah menjamin tepenuhinya semua kebutuhan dasar (primer) rakyatnya, sementara untuk kebutuhan sekunder dan tersier rakyat diizinkan berkompetisi mendapatkan harga paling ekonomis. Bahkan, terkait kewajiban negara memenuhi kebutuhan asasi rakyat tersebut, diambil yang paling asasi, tidak harus mengikuti “state of art” dunia, kecuali jelas manfaat, efektivitas, dan efek berlapisnya. 

Maka ketika negara ingin membangun infrastruktur, negara akan memfokuskan pada fungsinya untuk memudahkan masyarakat. Para pejabat akan menjalankan tugas dengan amanah karena mereka meyakini bahwa segala sesuatunya akan dimintai pertanggungjawaban, sehingga akan muncul kepercayaan di tengah masyarakat dan berefek pada ketaatan rakyat terhadap penguasa. 


Tidak ketinggalan, negara dan masyarakat akan menjalankan dakwah agar bisa focus dengan tujuan untuk terikat dengan syariat Islam. Rakyat jauh dari hedonisme, biaya menjalankan negara tetap optimal dan minimal. Dengan demikian, jika Indonesia ingin menjadi negara mandiri tanpa tergantung utang dan investasi, bisa memulainya dari hal-hal berikut:

(1) Melakukan perubahan paradigma materialistis level masyarakat maupun elite kekuasaan menjadi paradigma pelayanan pada umat dan ketaatan pada Allah Taala.

(2) APBN harus diubah total, baik dari sisi pengeluaran maupun penerimaannya agar sesuai syariat Islam.

(3) Pengeluaran harus dikurangi dengan fokus pada kebutuhan asasi umat dan efisiensi pelayanan publik dengan memaksimalkan penggunaan teknologi.

(4) Tidak ada pengeluaran untuk membayar riba.

(5) Mengarusutamakan riset untuk menguasai teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi.

(6) Meningkatkan penerimaan dengan optimasi SDA milik umat yang berkelanjutan dan peningkatan penerimaan dari wakaf.

(7) Menerapkan syariat Islam kafah di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara.

Post a Comment

Previous Post Next Post