Tarif Puskesmas Naik, Beginilah Sistem Kesehatan Kapitalistik


Penulis : Ariefdhianty Vibie


Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung melakukan penyesuaian tarif puskesmas. Tarif berobat ke Puskesmas pun naik dari Rp3.000 menjadi Rp15.000. Hal ini, menyusul terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


Menurut Penjabat (Pj) Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono, terbitnya Perda terbaru itu atas dasar pertimbangan kondisi ekonomi saat ini, serta untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. “Kita punya Perda terbaru terhadap penyesuaian tarif untuk layanan puskesmas dan ini perlu ada semacam edukasi dan sosialisasi secara masif,” katanya. (republika 10/1/2024).


Di sisi lain, masyarakat Kota Bandung keluhkan penyesuaian tarif puskesmas yang dianggap mencekik kebutuhan kesehatan warga. Salah seorang warga Kota Bandung, Ario (34) mengatakan, kebijakan tiba-tiba kenaikan tarif puskesmas dari Rp3.000 menjadi Rp15.000 mencekik kebutuhan kesehatan warga. Pasalnya, situasi ekonomi warga setelah pandemi belum sepenuhnya membaik. 


“Kenaikan tarif ini, seolah melarang kami warga miskin kota untuk memiliki akses kesehatan yang mudah,” ujar dia Saat ditemui di salah satu Puskesmas Dago, Kota Bandung. Pihaknya mengatakan, puskesmas yang biasanya diakses oleh masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah kini tak tergapai. Kecuali bagi yang memiliki BPJS, karena tarifnya sama (melansir , 11/1/2024).


Sungguh miris, di tengah berbagai kesulitan hidup, Puskesmas, sebagai fasilitas kesehatan masyarakat nomor satu justru tarifnya harus disesuaikan. Kenaikan tarif ini bisa dibilang cukup tinggi, yaitu dari 3000 rupiah ke 15.000 rupiah, lagipula belum tentu sebanding dengan pelayanan yang diberikan, mengingat selama ini banyak keluhan dari masyarakat untuk Puskesmas setempat. 


Bisa dibilang kesehatan saat ini sangat mahal harganya. Terlebih fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah pun minimalis, dalam artian layanannya setengah-setengah sehingga kemudian dikeluhkan oleh masyarakat. Untuk bisa mendapat pelayanan yang maksimal, maka masyarakat mesti membayar mahal. Mulai dari pelayanan dokter, penyediaan alat kesehatan, hingga obat-obatan. Terdaftar dalam BPJS pun belum tentu mendapat akses kesehatan yang mumpuni. Begitulah realitasnya. 


Tidak heran, dalam sistem kapitalisme pada akhirnya satu persatu lembaga pelayanan masyarakat akan didorong untuk mengelola keuangannya secara mandiri termasuk puskesma. Pemerintah tidak akan lagi memberi subsidi berupa pelayanan kesehatan, melainkan pasien sendiri yang harus membayar penuh. Kasarnya, pemerintah melepas tanggung jawabnya dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat. Padahal, kesehatan merupakan salah satu hak yang wajib disediakan oleh negara secara gratis atau murah. Namun kenyataannya, di negeri yang mengadopsi kapitalisme tidak seperti itu.


Islam menempatkan kesehatan pada posisi yang sangat penting. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari sehat badannya, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari).


Hadis ini bermakna bahwa kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Alhasil, negara wajib menyediakannya untuk rakyat dan memberikan pelayanan terbaiknya kepada seluruh rakyat. Negara juga tidak boleh membedakan antara yang satu dan yang lain, baik miskin maupun kaya, tua maupun muda. Status rakyat adalah sama di mata negara.


Setidaknya ada tiga prinsip layanan kesehatan dalam Islam. Pertama, diberikan untuk semua rakyat. Tidak ada perbedaan, baik ras, suku, warna kulit, kedudukan, serta muslim maupun nonmuslim. Kedua, diberikan secara gratis dan berkualitas. Ketiga, semua rakyat harus mudah mendapatkan layanan kesehatan tersebut.


Akibatnya, wajib bagi negara untuk mengalokasikan anggaran belanjanya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh melalaikan kewajibannya tersebut, serta tidak boleh mengalihkan tanggung jawab itu ke pihak lain, baik swasta maupun rakyatnya sendiri. 


Dengan tiga prinsip di atas, negara akhirnya wajib menyediakan anggaran besar bagi layanan kesehatan. Tidak seperti negara kapitalisme yang mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama, negara Islam memiliki berbagai sumber pendapatan yang telah ditentukan dalam syariat, seperti hasil pengelolaan SDA, kharaj, jizyah, ghanimah, fai, usyur, dan lainya. Semua pendapatan dikelola untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat, termasuk layanan kesehatan.


Dengan begitu, masyarakat tidak akan khawatir jika kondisi tubuhnya sakit. Tidak perlu lagi memikirkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan karena semuanya menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Namun, hanya negara yang menerapkan syariat Islam saja yang mampu menuntaskannya.


Wallahu’alam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post