Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. Tapi selama peningkatan utang dilakukan untuk pembangunan bangsa khususnya infrastruktur, ini akan menambah aset pemerintah. Kalau aset pemerintah lebih besar dari utangnya, ini akan baik-baik saja," kata Hendi, dalam keterangan yang diterima, Sabtu, 30 Desember 2023.
Sebagai informasi, utang pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen. Melihat rasio utang Indonesia, lanjut Hendi, sejumlah negara di Asia Tenggara justru memiliki rasio yang lebih besar, misalnya Singapura yang mencapai 167 persen atau Malaysia dengan 66,9 persen. Sementara jika dibandingkan dengan negara G20, Indonesia berada di urutan ketiga terendah setelah Rusia (21,2 persen) dan Arab Saudi (24,1 persen). (Viva.co.id,sabtu,30/12/2023)
Sungguh, tak ada kata yang mengenakkan apalagi merasa aman dalam kondisi berutang, terlebih utang negara. Selain menjadi beban bagi pembiayaan dalam negeri (membebani APBN), utang juga bisa menjadi alat politik bagi satu negara kreditor untuk mendikte negara debitor. Untuk dalam negeri Indonesia, utang luar negeri ini sudah sangat membebani APBN. Indikasinya bisa dilihat dari aspek penerimaan maupun pengeluaran APBN. Dari sisi penerimaan, sumber utama RAPBN berasal dari pajak yang diambil dari rakyat kian meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam skala yang lebih luas, beban utang ini telah membuat Indonesia sulit untuk menjadi negara mandiri, kuat dan terdepan. Tawaran utang dari berbagai lembaga utang dunia, telah terbukti menjadi alat untuk mendikte starategi dan kebijakan suatu negeri termasuk Indonesia. Akibatnya, negeri ini dengan mudah tunduk pada tekanan asing yang cenderung memaksakan kepentingan dan ideologi mereka.
Hal ini terbukti dengan kian kacaunya kondisi negeri ini.
Mulai dari isu terorisme dan radikalisme yang sarat akan kepentingan barat, pembangunan infrastruktur yang cenderung tak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kebijakan tenaga kerja asing yang tak populer, hingga kriminalisasi ajaran Islam dan para ulama yang kian memicu islamfobia di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini. Alhasil, tak ada kata aman untuk utang. Negeri ini membutuhkan visi politik ekonomi yang mampu menjawab seluruh krisis dan ancaman perekonomian bangsa. Ini tentu hanya akan mampu dijalankan oleh sebuah negara yang memiliki kemandirian visi politik yang khas, dan jauh dari intervensi asing dan aseng.
Kita harus menyadari bahwa utang luar negeri adalah cara kapitalisasi yang berbahaya bagi negeri-negeri muslim. Dengan utang itu, negara-negara kapitalis menekan dan melakukan intervensi, bahkan menduduki wilayah negeri-negeri muslim tersebut.
Islam sejatinya memiliki aturan perihal utang negara. Berutangnya negara sejatinya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk hal-hal yang bisa ditangguhkan, maka semua itu menunggu hingga negara memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi, semisal penarikan pajak, akan dibebankan hanya pada orang-orang kaya.
Sistem Islam juga akan fokus untuk menyejahterakan rakyatnya, baik yang kaya, apalagi yang miskin. Ada satu orang yang tidak bisa makan dalam sehari saja sudah menjadi alarm keras akan buruknya distribusi harta. Kondisi ini harus segera menjadi perhatian oleh penguasa dalam sistem Islam. Oleh karenanya, tidak heran, indikator kesejahteraan ekonomi rakyat di negara Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah cukup.
Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing sumber tersebut memiliki nominal yang banyak sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya utang luar negeri. APBN tersebut justru sangat memungkinkan kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi, bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Demikianlah format negara mandiri, yakni secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara lain.
Allah Taala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).
Di abad ke-21 ini, kita bisa menyaksikan kisah pahit Zimbabwe dan Sri Lanka yang terjerat utang dari Cina. Utang tidak membuat kedua negara tersebut terbantu ekonominya, melainkan makin terperosok jauh ke dalam krisis. Keduanya tidak mampu membayar utang kepada kepada kreditur, tetapi negara lain juga ragu hendak membantu karena negara tersebut memang dipastikan tidak mampu membayar utang.
Akibatnya, krisis ekonomi di sana sampai harus menumbalkan rakyatnya. Aset-aset BUMN di negaranya pun terpaksa dikuasai pihak kreditur akibat gagal bayar utang. Lantas, apakah kita hendak diam saja dan membiarkan Indonesia senasib dengan Zimbabwe dan Sri Lanka? Wallahualam bissawab.
Post a Comment