Food estate merupakan proyek mercusuar pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah masuk ke dalam daftar program strategis nasional (PSN) 2020-2024. Program itu diatur dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 9 Tahun 2022.
Proyek Food Estate ini sudah diprogramkan sejak lama untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis bagi pertahanan negara. Food Estate sudah merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024 yang bertujuan membangun lumbung pangan nasional.
Nantinya, Food Estate akan menjadi upaya pemerintah RI untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan sebagai dampak pandemic Covid-19. Pembangunannya pun mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan pada satu kawasan.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa program Food Estate ini yang bertanggung jawab pada produksinya adalah kementrian pertanian yang bersinergi dengan kementerian lainnya. Diharapkan program food estate ini akan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional, termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional. (cnbc.id/28/9/2023)
*Food Estate Menguntungkan Rakyat?*
Proyek food estate yang telah terpogram tersebut, jika dilihat secara sekilas mungkin akan menjadi harapan yang sangat menjanjikan mengatasi persoalan kebutuhan pangan di Indonesia, karena tujuan adalah sebagai kawasan cadangan pangan nasional, sehingga terlihat menguntungkan negara bahkan akan membuka lapangan pekerjaan buat masyarakat petani. Namun, jika diamati secara lebih teliti dan mendalam, sesungguhnya proyek food estate ini lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama para investor atau pemilik modal. Karena yang namanya proyek pastinya berhubungan dengan anggaran-anggaran yang digunakan untuk merealisasikan kegiatan tersebut.
Adanya ketersediaan lahan potensial sebagai lahan cadangan pangan sebenarnya cukup luas (Khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali). Namun belum tergarap secara optimal, dan membutuhkan modal investasi yang cukup besar, di sisi lain dana Pemerintah terbatas, sehingga perlu peran investor dalam pengembangan Food Estate, dengan tahap memperhatikan /melindungi kepentingan masyarakat setempat.
Dari sini dapat diketahi bahwa pengembangan konsep food estate ini membahayakan, karena swasta asing bisa menguasai pertanian dari hulu sampai hilir. Sektor yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak ini tidak seharusnya dilepas pada mekanisme pasar, karena dapat mengganggu cita-cita kedaulatan pangan akibat kemungkinan terjadinya monopoli dan harga yang tak dapat dikendalikan.
Bagi kalangan investor besar, pengembangan food estate bisa memberikan jawaban. Tapi bagi peningkatan kesejahteraan petani yang berlahan sempit, food estate belum mampu menjawab persoalan malah makin memperparah keterpurukan petani setelah kebijakan-kebijakan berbau neoliberal yang diterapkan pemerintahan ini. Pengembangan food estate justru bertentangan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi kerakyatan, khususnya ekonomi kaum tani.
Sejatinya, akar masalah ketahanan pangan kita adalah liberalisasi pangan, yaitu dominasi swasta dalam menggarap proyek-proyek strategis terkait pangan dan penguasaan lahan-lahan strategis. Berkurangnya lahan pertanian secara masif juga merupakan dampak liberalisasi. Negara membiarkan swasta menguasai lahan pertanian dan melakukan alih fungsi lahan secara serampangan. Dari sini, negara terbukti gagal melindungi lahan pertanian dari alih fungsi yang masif terjadi.
Sebenarnya sudah ada regulasi untuk melindungi lahan pertanian dari alih fungsi, yaitu UU 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun, aturan dalam UU itu kemudian dianulir oleh UU Cipta Kerja yang merupakan karpet merah bagi investor untuk menguasai lahan dengan mudah, kemudian berdampak pada perlindungan kerja kepada petani akan melemah dan komoditas pangan inpor akan semakin mengimpit petani lokal
*Tata Kelola Berlandaskan Islam*
Dalam Islam, negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Karena demikian pentingnya masalah pangan ini, maka negara Islam akan menjamin persediaan pangan ini, dalam kondisi apapun.
Islam memandang bahwa sektor pertanian merupakan salah satu sumber primer ekonomi di samping perindustrian, perdagangan, dan tenaga manusia (jasa). Dengan demikian, pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi yang apabila permasalahan pertanian tidak dapat dipecahkan, dapat menyebabkan goncangnya perekonomian negara, bahkan akan membuat suatu negara menjadi lemah dan berada dalam ketergantungan pada negara lain.
Dalam Islam, pemerintah akan menyediakan beragam sarana yang dapat memudahkan para petani dalam mengelola lahan pertanian miliknya. Sebab lahan pertanian yang digarap dan ditanami akan menjadi hak milik para petani yang menanaminya. Sebaliknya jika tidak diolah maka akan diambil oleh negara.
Syariat Islam pun menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menarik tanah pertanian milik Bilal bin Al-Harits al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Syariat Islam juga menjadikan pada orang yang dapat menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) sebagai pemiliknya.
Aturan tentang kepemilikan lahan yang bersatu dengan produksi akan meningkatkan produktivitas pertanian. Ditambah kebijakan penguasa yang fokus pada kesejahteraan umat, seperti penyediaan saprodi yang dipermudah, akan makin menambah gairah para petani untuk terus menanam.
Secara teknis, pemerintah dalam Islam akan membangun infrastruktur yang dapat memudahkan distribusi hasil pertanian para petani kesegala penjuru negeri yang mereka mau, sehingga distribusi produk pertanian akan berjalan dengan baik, dan masyarakat akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan mudah. Pemerintah juga akan membangun jalan-jalan yang akan dilalui para petani untuk mendistribusikan hasil pertaniannya dan membawanya ke pasar-pasar.
Selain itu, pemerintah akan membangun pasar, dimana para pembeli dan penjual mudah bertemu dan bertransaksi, pemerintah akan membangun pabrik pupuk yang dibutuhkan oleh para petani dan mendistribusikannya kepada para petani dengan harga murah atau bahkan gratis, pemerintah akan membuat industri pembuatan alat dan mesin pertanian yang akan memudahkan para petani dalam beraktivitas dilahan pertaniannya dan mengolah hasil pertaniannya.
Pemerintah akan membangun lembaga-lembaga penelitian tempat dihasilkannya bibit unggul yang akan dipakai oleh para petani dilahan pertaniannya. Sehingga bisa dihasilkan food estate dalam skala besar yang kepemilikan lahan dan penggarapannya dilakukan seratus persen oleh para petani lokal dan masyarakat.
Demikianlah sejumlah mekanisme dalam Islam yang dapat mewujudkan swasembada pangan yang pada gilirannya akan mengantarkan pada kedaulatan negara, sehingga program food estate akan dengan sendirinya berjalan secara alami dan berkelanjutan. Namun, Semua mekanisme tersebut hanya bisa optimal diterapkan dalam sistem Khilafah Islamiah. Oleh karena itu, upaya mengembalikan sistem Khilafah harus terus diperjuangkan. Wallahu ‘alam bisshowab.
Post a Comment