Politik Demokrasi dalam Pusaran Oligarki


Oleh Suryani

Pegiat Literasi


Berbagai pemberitaan di media sosial dihebohkan oleh pernyataan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), yang menemukan aliran dana dari luar negeri sebesar 195 Miliyar yang telah masuk ke 21 rekening bendahara partai politik yang ada di negeri ini, dengan jumlah transaksi sebanyak 9.164 kali.


Nilai transaksi meningkat dibanding tahun 2022 lalu yang berkisar 83 Miliyar. Ketua PPATK Ivan Yustia Vanda juga menuturkan bahwa timnya menemukan laporan transaksi besar dari luar negeri yang melibatkan para Daftar Caleg Terdaftar (DCT) dengan Analisa mencapai 100 orang, dan jumlah penerimaannya senilai 7,77 Triliyun. (CNBC Indonesia, 12/01/2024) 


Dilansir pula oleh Liputan 6 com, bahwa hal Ini diperkuat dengan adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024, yakni tercatat ada 704 juta pembukaan. PPATK juga mendapat data tambahan  yang cukup menarik  terkait jumlah transaksi yang dilakukan oleh parpol-parpol hingga nominalnya menembus angka 80, 6 triliun. Angka paling tinggi untuk satu parpol tercatat 9, 4 triliun.


Dengan adanya aliran dana dari asing menunjukkan kontestasi pemilu tahun ini syarat akan kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Untuk itu umat harus waspada terhadap pembiayaan tersebut, karena akan tergadainya kedaulatan negara. "Tidak ada makan siang gratis." para pemodal menginginkan timbal balik atas dana yang mereka gelontorkan  jauh lebih besar.


Sebenarnya aliran dana dalam membiayai pemilu merupakan sebuah keniscayaan, karena politik demokrasi memerlukan biaya tinggi dan membutuhkan peran para pemodal, yang tentu mereka memiliki kepentingan.Konsekuensinya ketika kekuasaan dan jabatan sudah di tangan, hal pertama yang dilakukan adalah memuluskan kepentingan mereka atau paling tidak bagi-bagi kue kekuasaan.


Sehingga tugas utamanya sebagai raa'in (pengurus) rakyat tidak akan terpenuhi. Lihat saja bagaimana penguasa saat ini dalam melakukan pembangunan lebih menguntungkan kepentingan para pengusaha atau pemilik modal, dibanding kepentingan rakyat. Dengan dalih investasi atau Pembangunan Strategis Nasional (PSN) rela mengorbankan kepemilikan rakyat. Diantaranya pembangunan Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), proyek Rempang Eco City, serta infrastruktur lainnya. Belum lagi Undang-Undang Minerba yang semakin liberal, membuat para korporat semakin leluasa mengeruk kekayaan negeri ini.


Di samping itu legalitas pemimpin yang terpilih didapatkan dari suara terbanyak, sudah pasti memerlukan dana besar untuk meraup suara. Hal ini akan menjadi peluang bagi para pemilik modal untuk berpartisifasi dalam pembiayaan pemilu. Akibatnya parpol dalam sistem demokrasi akan kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak kepentingan. Sehingga siapapun yang berkuasa maka tetap oligarkilah pemenangnya.


Jika pemilu dalam sistem demokrasi hanya akan melahirkan penguasa oligarki, lain halnya dalam sistem Islam. Pemimpin yang terpilih benar-benar orang yang punya kemampuan dan kepribadian Islam yang tinggi. Pemilu hanya dijadikan cara (uslub), sedangkan satu-satunya metode baku yakni melalui baiat syar'i.


Baiat syar'i dilakukan ketika kepala negara telah terpilih. Adapun mekanisme pemilihannya sangat sederhana tanpa prosedur yang rumit dan panjang. Waktunya tidak lebih dari tiga hari, sesuai dengan ijmak sahabat. Dari situ saja sudah dijamin biaya pemilu akan lebih murah, sehingga tak ada celah bagi orang asing ataupun pengusaha untuk mengeluarkan uangnya. 


Adaupun tahapannya diawali dengan pembatasan calon kandidat yang dilakukan oleh ahlu halli wal'aqdi atau majelis syura. Menyeleksi hingga terpilih 2 orang saja, kemudian dipilih sesuai dengan suara mayoritas umat. Tentu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan syara yakni laki-laki, muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, dan mampu mengemban jabatan. Jiika diperlukan disyaratkan tambahan yaitu merupakan seorang mujtahid.


Hal ini juga yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra. Ketika beliau dalam keadaan sakit parah karena ditikam dari belakang sewaktu sedang shalat, beliau bersegera untuk mencari penggantinya karena dirasa ajalnya akan segera tiba. Lantas beliau memerintahkan sahabatnya untuk segera memilih pengganti dirinya ketika meninggal. Lalu terjadilah proses di atas hingga terpilihlah Usman bin Affan.


Mekanisme pemilihan seperti ini akan melahirkan penguasa yang benar-benar punya kredibilitas dan memiliki rasa takut kepada Allah. Menyadari amanah yang dipikulnya akan dimintai pertanggung jawaban.


Sedangkan parpol dalam sistem Islam bukanlah kendaraan bagi pemburu kekuasaan, tetapi berfungsi sebagai pengawas berjalannya penerapan syariat itu sendiri, mencegah penyimpangan dan mengoreksi penguasa dengan aktivitas utamanya amar ma'ruf nahi mungkar, dengan landasan kepemimpinan berpikirnya adalah ideologi Islam. Tentunya akan jauh dari ambisi mengeruk kekayaan dan pemburu uang. Maka bisa dipastikan tak akan ada para pengusaha atau pemilik modal yang mampu menggeser fungsi tersebut. 


Itulah pemilu di dalam Islam, mudah dan berbiaya murah. Hingga tak akan ada kesempatan dari pihak manapun yang terlibat di dalamnya. Dari situ pemimpin yang terpilih akan leluasa menjalankan fungsinya, tidak ada intervensi dari siapapun baik para korporat dalam maupun luar negeri. Hingga negara akan kuat dan mampu berdiri di kaki sendiri, tidak ada ketergantungan pada asing apalagi yang notabene kafir harbi.


".......Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."   (TQS An-Nisa ayat 141)


Maka sudah seharusnya kaum muslim mulai memikirkan perubahan hakiki, yakni dengan mencampakan demokrasi kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam, yang di dalamnya ada aturan untuk diterapkan secara sempurna (kaffah) dalam semua aspek kehidupan baik individu, masyarakat bahkan negara.


Wallahu alam bi sawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post