Dilansir dari tirtoid - Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dengan demikian, regulasi yang kerap disalahgunakan karena “pasal karet” ini resmi berlaku.
Dalam revisi UU ITE ini memuat sejumlah perubahan. Pertama, pemerintah dan DPR sepakat mengubah isi Pasal 27. Kini, ditambahkan klausul “mereka yang sengaja dan tanpa hak menunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diakses dokumen elektronik yang memiliki muatan kesusilaan untuk diketahui umum maupun dokumen muatan perjudian.”
Revisi Jilid I
--
Mengutip laman resmi Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), revisi pertama UU ITE ditandatangani Presiden dan berlaku mulai 25-11-2016. Perubahan tersebut dari UU 11/2008 menjadi UU 19/2016.
Muatan materi pokok revisi pertama UU ITE itu diharapkan mampu menjawab dinamika TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di Indonesia. Melalui revisi UU ITE tersebut, pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum.
Revisi UU ITE jilid I ini pun diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi.
--
Pasal Karet
--
Di antara PR besar UU ITE selama ini adalah adanya pasal-pasal karet. Pasal karet tersebut di antaranya perihal pencemaran nama baik dan ancaman pribadi.
Salah satu pasal karet tentang pencemaran nama baik adalah pasal 27. Pasal tersebut sudah menjadi salah satu pasal karet UU ITE sejak versi I mengalami sejumlah perubahan. Pasal ini dirampingkan dari empat ayat menjadi dua ayat. Ayat yang mengatur penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan atau pengancaman dihapus. Namun, ada dua pasal baru yang mengatur hal serupa, yaitu pasal 27A dan 27B.
“Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik,” bunyi pasal 27A. Sedangkan pasal 27B mengatur larangan mengancam orang lain menggunakan saluran elektronik.
Untuk pasal karet ancaman pribadi, revisi UU ITE mengubah ketentuan pasal karet lainnya, yaitu pasal 29. Awalnya, pasal itu mengatur ancaman kekerasan yang ditujukan secara pribadi. Versi revisinya menghilangkan ketentuan “pribadi” sehingga pasal 29 di UU ITE jilid II berubah menjadi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.”
Respon korban UU ITE
Rio Suryanto, warga di Kabupaten Manggarai Barat, yang saat ini sedang menghadapi kasus dugaan pelanggaran UU ITE mengatakan, UU ini – – termasuk hasil revisi kedua – “menunjukkan penguasa yang tidak boleh dikritik.”
“Para aktivis ke depan sangat terancam,” karena “ tetap saja ada upaya dari pemerintah untuk membungkam suara-suara kritik,” katanya kepada Floresa pada 6 Januari.
Rio, yang didampingi SAFEnet menjadi tersangka pada 11 September 2023 karena mengkritik Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi melalui media sosial.
Pria yang juga berprofesi sebagai wartawan ini mendapat surat penangkapan pada 7 Desember 2023, tetapi kemudian suratnya dianggap batal dan tidak berlaku oleh polisi.
Rio berkata, UU ITE menjadi rentan dipakai untuk membungkam kritik, kendati kritikan kepada pejabat pemerintah, seperti yang ia lakukan, adalah terkait kebijakan, bukan pribadi pejabat itu.
“Kita tidak mengkritik pribadinya, tetapi kita mengkritik dia sebagai pemerintah, sebagai orang yang berkuasa,” ujarnya.
--
Alat Pukul Baru?
--
Namun demikian, kita tidak bisa menampik bahwa UU ITE jilid II ini juga berpotensi menjadi alat pukul baru. Hal ini tersebab revisi UU tersebut memberikan wewenang kepada penyidik kepolisian atau pejabat ASN tertentu di lingkungan pemerintah yang relevan di bidang ITE untuk menutup akun media sosial. Ini sebagaimana aturan dalam pasal 43 huruf i.
Selain itu, revisi ini membuka pintu intervensi pemerintah sehingga pemerintah punya wewenang mengintervensi penyelenggaraan sistem elektronik berkat revisi UU ITE. Ini diatur dalam pasal 40A. Berikutnya, ayat (2) pasal tersebut mengatur pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan penyesuaian pada atau melakukan tindakan tertentu guna mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif.
Juga ayat (3) yang berbunyi, “Penyelenggara Sistem Elektronik wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).” Dalam hal ini, penyelenggara sistem elektronik diancam sanksi administratif; teguran tertulis; denda administratif; penghentian sementara; hingga pemutusan akses jika tidak taat.
Lebih aneh lagi, revisi UU ini justru melegalisasi pengecualian sanksi bagi pelanggar aturan informasi kesusilaan dan pencemaran nama baik. Hal itu diatur pasal 45 yang berbunyi, “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal: a. dilakukan demi kepentingan umum; b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau, c. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.”
Ini semua menunjukkan bahwa revisi jilid II UU ITE justru rawan konflik kepentingan. Hal ini sekaligus menyamarkan batas antara kawan dan lawan. Dengan kata lain, selama ada kepentingan dan kemanfaatan, UU tersebut berpotensi digunakan untuk memukul pihak-pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa kendati sebelumnya adalah kawan. Begitu pun sebaliknya, pihak yang sebelumnya menjadi lawan juga akan sangat mungkin dirangkul ketika itu dianggap menguntungkan penguasa.
--
Strategi Media dalam sistem Islam
--
Bongkar pasang UU sebagaimana revisi jilid II UU ITE ini sejatinya tidaklah mengherankan. Hal yang demikian itu sudah biasa terjadi dalam demokrasi kapitalisme yang senantiasa berasas pada kemanfaatan dan berjalan demi memuluskan berbagai kepentingan.
Akibatnya, standar benar (hak) dan salah (batil) menjadi samar dan tidak jelas. Begitu pula dengan fungsi teknologi informasi yang semestinya memudahkan urusan manusia, nyatanya di tangan sistem yang batil malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Inilah yang tidak boleh terjadi.
Kondisi ini sangat berbeda dengan strategi penggunaan teknologi informasi dalam sistem islam, yang tidak lain adalah sebagai sarana dakwah dan penyampai kebenaran. Di dalamnya, penguasa yang bertakwa berperan menerapkan aturan Allah Taala secara kafah.
Dalam bidang teknologi informasi, sistem islam tidak akan menggunakannya untuk tindakan spionase kepada rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Ini karena aktivitas memata-matai sesama muslim adalah sebuah keharaman.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Di sisi lain, teknologi informasi beserta sarana media lainnya akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan umat, penyalur aspirasi rakyat, serta alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman.
Sungguh, sistem Islam akan memosisikan teknologi informasi dan media sebagai sarana untuk berperan aktif menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa dalam keridhaan Allah Taala. Wallahualam bissawab
Post a Comment