Oleh: Fatimah Azzahrah Hanifah
Mahasiswa Universitas
Indonesia
Seakan
tidak ada habisnya, narasi kesetaraan gender terus dihembuskan lewat berbagai
lini termasuk media dan teknologi digital. Bertepatan pada hari International
Women Day 2023 yang jatuh pada 8 Maret, UN Women mengusung tema DigitALL:
Innovation and technology for gender equality. Tema ini selaras dengan tema
prioritas Commision on the Status of Women sesi ke-67 (CSW-67) mendatang yaitu
inovasi dan perubahan teknologi, dan pendidikan di era digital untuk mencapai
kesetaraan gender dan pemberdayaan semua perempuan dan anak perempuan.
Dalam
rangka mendukung tema tersebut, 14 media alternatif perempuan Indonesia
bersepakat bersekutu untuk memperjuangkan media dan teknologi digital yang
ramah gender serta inklusif. Ada empat poin kesepakatan yang akan diperjuangkan
oleh media-media tersebut yaitu, teknologi inklusif dan non diskriminatif;
konten media berspektif gender dan inklusif; ruang redaksi yang ramah gender
dan kesejahteraan jurnalis; stop segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan
sensasionalisme terhadap perempuan.
Menurut
para feminis, saat ini telah terjadi ketimpangan gender dalam media dan
teknologi digital. Misalkan saja, penggambaran perempuan sebagai pihak yang
lemah, korban tak berdaya, objek seksualitas, atau penggambaran perempuan
sebagai sebab utama terjadinya kriminalitas. Selain itu, berdasarkan analisis
Web Foundation ditemukan bahwa laki-laki memiliki akses terhadap teknologi
lebih tinggi 21% dibandingkan perempuan. Bahkan angka tersebut meningkat hingga
52% di negara-negara paling kurang berkembang. Namun, benarkah kesenjangan
akses teknologi hanya dirasakan kaum perempuan saja? Dan mengapa perempuan
selalu menjadi bahan objektifikasi di media?
Salah
Kaprah Feminis dalam Membaca Masalah
Berdasarkan
laporan dari Badat Pusat Statistik yang berjudul Statistik Telekomunikasi
Indonesia 2021, ditampilkan persentase pengguna internet selama 2019-2021
berdasarkan jenis kelamin. Terdapat 46,87% perempuan yang telah mengakses
internet pada 2019 dan terus meningkat hingga 47,48% pada 2021. Berbanding
terbalik dengan laki-laki dimana pengakses internet mengalami penurunan dari
53,13% pada 2019 menjadi 52,52% pada 2021. Angka ini menunjukkan tidak hanya
perempuan, laki-laki pun mengalami kesulitan dalam mengakses teknologi digital
khususnya internet di Indonesia.
Mengaitkan
tidak meratanya akses teknologi digital dengan ketimpangan gender adalah sebuah
kekeliruan. Sebab, sulitnya akses digital tidak lepas dari tingginya
kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat. Kesenjangan ini pun tidak hanya
dirasakan perempuan dan anak perempuan saja. Menurut World Inequality Report
2022 dalam 20 tahun kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan
signifikan. Sepanjang
periode 2001-2021 sebanyak 50% masyarakat Indonesia hanya memiliki 5%
kekekayaan rumah tangga nasional (seluruh aset finansial dan nonfinansial).
Laporan tersebut juga menuliskan bahwa kelas ekonomi teratas memiliki
pendapatan 19 kali lipat lebih tinggi daripada kelas ekonomi terbawah.
Sementara
itu, berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik hingga Maret 2022
terdapat 19,08% penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. 9,40%
di antaranya
laki-laki dan 9,68% lainnya perempuan. Meskipun jumlah perempuan yang hidup di
bawah garis kemiskinan lebih besar, angka tersebut tidak menutup fakta bahwa
ada laki-laki yang hidup dengan kesulitan ekonomi. Maka, kesenjangan
sosial-ekonomi yang terjadi tidak dirasakan oleh perempuan saja. Hanya berfokus
pada angka perempuan akan menyebabkan tidak terselesaikannya permasalahan
dengan tuntas.
Hubungan
antara kesenjangan sosial-ekonomi dengan akses teknologi digital juga dapat
dilihat dari laporan World Bank berjudul Beyond Unicorns: Harnessing Digital
Technologies for Inclusion in Indonesia dimana dari 10% kelompok masyarakat
dengan pendapatan tertinggi telah terhubung dengan internet sebesar 71% pada
2019. Sementara itu, 10% kelompok dengan pendapatan terendah hanya sebesar 14%
(katadata.co.id 05/08/2021)
Tingginya
kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat
tidak lepas akibat penerapan sistem Kapitalisme. Ketidakniscayaan dari
penerapan sistem ini adalah beredarnya uang hanya di kalangan kelas atas atau
para kapital saja. Sebab sistem ini mengagungkan kebebasan kepemilikan individu atau segolongan. Individu bebas memiliki
apa pun
yang menjadi sumber hartanya bahkan termasuk SDA seperti tambang batu bara,
minyak bumi, hingga emas. Kebebasan inilah yang menjadi asal muasal munculnya
kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Hal
tersebut diperparah dengan tidak meratanya distribusi pasar pada Kapitalisme
karena pembangunan ekonomi pada sistem ini berfokus pada produksi
sebanyak-banyaknya. Akibatnya, peredaran uang berkumpul di orang-orang kaya
saja. Sebab, uang yang ada di masyarakat akan terus kembali kepada
industri-industri yang dimiliki oleh para kapital atau pemilik modal. Karena
itu, kita mengenal istilah “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin”.
Tidak
hanya itu, sistem Kapitalisme dengan asasnya keuntungan materil telah
menjadikan perempuan selama bertahun-tahun menjadi bahan objektifikasi.
Berbagai program acara, iklan, dan konten-konten media telah mengeksploitasi
keberadaan perempuan. Ajang-ajang Miss World, Miss Universe dan
sejenisnya telah menciptakan standar kecantikan dan keindahan bagi perempuan.
Standarisasi ini akhirnya menstimulus industri-industri kecantikan untuk meraih
keuntungan dari objektifikasi perempuan. Selama Kapitalisme mendapatkan
keuntungan dari konten media yang menjadikan perempuan sebagai objek, maka
selama itu pula perempuan akan selalu menjadi bahan sensasional bagi
media.
Sekularisme-Kapitalisme Akar
Masalah
Narasi-narasi
pendorong keikutsertaan perempuan pada teknologi dan media digital pun tidak
akan mampu menjawab persoalan perempuan. Melainkan, perempuan sekali lagi
menjadi korban penerapan sistem ini, keberadaannya
hanya digunakan sebagai tuas pendongkrak perekonomian Kapitalisme yang
keuntungannya kembali hanya dirasakan para pemilik modal. Akibatnya, perempuan
dan anak perempuan akan terus menjadi korban yang tertindas, tereksploitasi dan
terdiskriminasi oleh sistem Sekuler-Kapitalis.
Maka,
persoalan mendasar yang dihadapi perempuan saat ini adalah penerapan sistem
Sekularisme-Kapitalisme di
dalam kehidupan. Sistem Kapitalisme dengan akarnya Sekularisme telah menjadikan
agama dipisahkan dari pengaturan kehidupan. Akhirnya, prinsip-prinsip kebebasan
dan keuntungan ala Kapitalisme digunakan menjadi landasan dalam aturan
kehidupan. Berbagai problematika pun lahir mulai dari tidak meratanya
kesejahteraan, ketimpangan sosial-ekonomi, hingga digadaikannya kemuliaan
perempuan.
Kembalikan
Perjuangan kepada
Islam
Oleh
karena itu, perempuan seluruh dunia perlu mengembalikan visi misi perjuangannya
ke arah Islam. Karena hanya Islam lah yang mampu memberikan solusi atas seluruh
permasalahan perempuan saat ini. Sejak diturunkannya Islam telah mengembalikan
kemuliaan perempuan-perempuan jazirah Arab. Islam tidak pernah menjadikan
perempuan sebagai makhluk tertindas, terdiskriminasi, tereksploitasi bahkan sebagai
bahan objektifikasi. Sebagaimana sabda Rasulullah saw “Aku wasiatkan kepada
kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan,”
De
M. D’Ohsson, seorang pria Armenia yang bekerja di kedutaan Swedia Khilafah
Ottoman pada abad ke-18, menulis tentang perlakuan Khilafah terhadap perempuan:
“Siapa pun yang berperilaku buruk terhadap seorang wanita, terlepas dari
posisi atau agamanya, tidak dapat lepas dari hukuman, karena agama pada umumnya
memerintahkan wanita untuk dihormati” (Mouradgea D’Ohsson, Tableau Général De
L'empire Ottoman).
Selanjutnya,
ekonomi dalam sistem Islam menjamin pemerataan kebutuhan masyarakat termasuk
kebutuhan teknologi dan digital. Karena dalam Islam penguasa hadir sebagai
pengurus dan pelindung rakyatnya. Sistem Islam dengan tegas telah mengatur
hak-hak kepemilikan dimana terbagi menjadi tiga yaitu individu, negara, dan
umum. SDA yang melimpah tidak diperbolehkan dimiliki oleh individu atau
sekelompok individu, namun kekayaan SDA dikembalikan pemanfaatannya kepada
rakyat yang dikelola lewat negara.
Maka,
penuntasan permasalahan perempuan tidak bisa dengan narasi absurd ala feminis
lewat kesetaraan gendernya. Perempuan-perempuan haruslah menjadikan Islam
sebagai jalan perjuangan untuk mengembalikan kembali kehidupan yang mulia.
Hanya dengan penerapan Islam sebagai ideologi yang mampu mencabut sistem
Kapitalis-Sekuler saat ini.[]
Post a Comment