Pegiat Literasi
Baru-baru ini, Presiden RI mengeluarkan Peraturan Presiden No 78/2023 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional. Regulasi ini diduga merupakan bagian dari kinerja satu tahun terakhir masa kepemimpinannya. Perpres tersebut sejatinya memang dikhususkan untuk kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Dan melalui kebijakan baru tersebut akan lebih memperluas lagi ruang lingkupnya. (www.walhi Kamis 21 Desember 2023)
Namun demikian, walhi menilai adanya beberapa logika hukum yang bertentangan dengan konstitusi RI. Misalnya, dalam pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemda, BUMN, atau badan usaha milik daerah dianggap memiliki tanah, padahal dari beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa negara hadir untuk merumuskan kebijakan, serta melakukan pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Tidak dalam posisi menguasai sumber daya alam termasuk kepemilikan tanah.
Berikutnya, diduga Kepala negara menganggap rakyat tidak memiliki hak atas tanah yang dikuasainya. Hal itu tampak dari sikap tidak berpihaknya negara pada berbagai konflik agraria yang terjadi. Seperti pada kasus Rempang, permasalahannya bukan karena masyarakat tidak memiliki hak penguasaan lahan, namun justru pemimpin telah abai dari sisi pengakuan dan perlindungan atas sesuatu yang telah dikuasai secara turun temurun. Bahkan pada Perpres nomor 78/2023 yang baru dikeluarkan, entitas badan pemerintahan berpotensi untuk mencabut kepemilikannya. Mereka sering disebut “penduduk liar” yang solusi kemanusiaannya hanya dicukupkan dengan pemberian santunan.
Masalah sertifikasi tanah memang mendapatkan perhatian ekstra dari orang nomor satu di negeri ini, bahkan ia menargetkan bisa selesai pada tahun depan. Meskipun demikian, Jokowi mengakui bahwa penyelesaiannya tidaklah mudah. Sejak tahun 2015, dari total 216 juta lahan hanya 46 juta yang telah memiliki surat. Karena Badan Pertanahan Nasional hanya bisa mengeluarkan 500 ribu sertifikat setiap tahunnya. Hal ini disampaikannya saat memberi sambutan dalam sebuah acara pembagian sertifikat di Sidoarjo Jawa Timur, ditemani Hadi Tjahjanto selaku Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, juga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Dalam sebuah sistem kapitalisme, konflik lahan adalah sesuatu yang niscaya. Dari sinilah lahir politik oligarki yang menuntut penguasa untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui maraknya pembangunan. Sayangnya, alih-alih ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, semua itu dilakukan demi kepentingan para pengusaha sebagai pihak pemodal dunia perpolitikan, sehingga mereka tetap aman menduduki tampuk kepemimpinan.
Dari sini nampak suatu hubungan yang saling menguntungkan antara penguasa yang memerlukan kekuasaan dan pencitraan dengan pihak pengusaha yang ingin memperbesar bisnisnya dengan menanam investasi. Segala cara pun dilakukan untuk meraup keuntungan, walau harus membuat rakyat menderita dengan mengambil hak milik mereka.
Maraknya kasus perampasan lahan adalah buah dari politik oligarki, di mana penguasa sebagai regulatornya. Padahal penggusuran yang dilakukan menyebabkan hilangnya sumber penghasilan, berubahnya struktur ekonomi, kemiskinan, tercemarnya lingkungan, banjir, kekeringan juga kebakaran hutan. Solusi yang diberikan pun dinilai gagal karena belum mampu memberi rasa adil bagi masyarakat. Pembangunan ekonomi dan UU cipta kerja hanya berpihak pada para pemilik modal, yang telah memberi support saat berjuang meraih kursi kekuasaan. Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, negara justru memberi izin konsesi dan melakukan pemutihan terhadap sawit secara berlebihan tanpa aturan.
Namun tidak demikian dengan Islam. Konsep tentang kepemilikan lahan diatur dengan sangat jelas. Sistem ini mengakui tiga jenis kepemilikan, yaitu: individu, umum dan negara. Sesuatu yang telah menjadi hak milik individu akan dilindungi dan dijamin keamanannya agar terhindar dari perampasan. Dengan syarat tanah itu harus dikelola dan tidak boleh ditelantarkan. Sementara itu, yang terkategori kepemilikan umum seperti: padang rumput, hutan, pertambangan dan lain sebagainya hanya boleh dikelola oleh negara untuk dikembalikan hasilnya kepada masyarakat.
Seorang penguasa tidak boleh berpihak pada pengusaha terkait masalah konflik lahan, berapapun besarnya modal yang mereka berikan. Mengingat kedudukannya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. muslim:
“ Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung….”
Berbagai pembangunan yang dilaksanakan oleh penguasa ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan semata untuk keuntungan para pemilik modal. Oleh karenanya, kebijakan yang ditetapkan hanya untuk melindungi dan menyejahterakan masyarakat. Sehingga berbagai konflik lahan tidak akan pernah terjadi dan dapat tersolusikan hingga ke akar.
Tentunya, semua akan dapat terlaksana sempurna dan menyeluruh ketika syariat diberlakukan sebagai solusi bagi seluruh permasalahan kehidupan. Dan menerapkannya di bawah naungan kepemimpinan Islam. Wallahu alam Bissawab
Post a Comment