Pemilu Dalam Demokrasi, Produksi Pemimpin Minim Prestasi


Oleh : Ummu Fahri 

Aktivis Muslimah


Pesta Demokrasi pada 14 Februari 2024 mendatang segera di gelar, para kontestan  politik yang mencalonkan diri untuk menduduki jabatan berlomba-lomba dalam memikat suara rakyat. Mulai dari banyaknya spanduk yang membanjiri dari kota sampai pelosok desa, para paslon juga rela terjun di pedesaan, di mesjid-mesjid, di pusat pembelanjaan, guna memikat hati rakyat.


Siapa sangka janji-janji manis yang diucapkan ketika berkampanye, seperti tak ubahnya "madu berbalut racun".  Manis di luar, tapi mematikan dalam setiap kebijakannya. Menutupi bau busuk sistem politik demokrasi itu perkara yang mustahil. Sebab, pemilu yang diklaim sebagai metode baku pergantian kepemimpinan dan wakil rakyat, sejatinya hanyalah alat bagi industri bisnis oligarki. Money politic dan korupsi menjadi core business kepentingan para plutocrat (pemodal besar) meraih target kursi kekuasaan. Ini merupakan fakta telanjang yang kasat mata. Rakyat hanyalah pelengkap penderita layaknya keset kaki untuk memperpanjang usia demokrasi. 


Siapa yang berani menghentikan demokrasi akan dianggap melakukan “dosa besar” melawan kehendak rakyat. Sungguh sistem politik demokrasi sukses memproduksi hoaks terbesar di abad 21. Doktrin vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan) telah menumpulkan budaya berpikir kritis masyarakat dunia. Kaum muslimin menjadi korban utama propaganda konsep kufur demokrasi, melupakan akidahnya yang sahih bahwa Tuhan dan makhluk jelas berbeda dari aspek manapun. 


Dana Mubazir Pemilu dan Pilkada Mari kita perhatikan bagaimana demokrasi sukses menggarong uang rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan anggaran sebesar Rp86 triliun untuk membiayai penyelenggaraan Pemilu 2024 dan anggaran sebesar Rp26,2 triliun untuk Pilkada. Angka fantastis terus berlipat dari pemilu sebelumnya. Suatu lompatan yang sangat tinggi dari Rp16 triliun (Pemilu 2014), Rp27 triliun (Pemilu 2019) menjadi Rp86 triliun. 


Menurut Wakil Ketua DPD Sultan Najamudin hal tersebut merupakan jebakan dari sistem demokrasi liberal. Pemilu langsung sudah seperti industri dalam demokrasi. Senada, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 merupakan penyelenggaraan yang sangat mahal. (republika.co.id, 19/9/2021) 


Biaya pemilu yang terlampau jumbo rawan penyalahgunaan anggaran. Belum lagi ditambahkan dengan modal pemilu milik partai politik dan capres. Pemilu hanya jadi ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki. Politik balas budi akan mewarnai kepemimpinan yang terpilih. 


Argumentasi bahwa secara ekonomi mungkin bagus karena akan ada banyak uang politik yang beredar di masyarakat bisa saja benar tetapi sangat lemah, bila dibandingkan dengan potensi konflik horizontal, polarisasi masyarakat, penambahan biaya hutang negara pasca pemilu yang sudah pasti terjadi. Belum lagi jika memperhatikan minimnya prestasi pemimpin dan wakil rakyat hasil pemilu dan pilkada. Kesenjangan ekonomi, PHK, pengangguran, ancaman pelajar putus sekolah, mahasiswa gagal kuliah karena faktor biaya, kriminalitas, kejahatan seksual dan problem lain angkanya terus meroket. Prestasi rezim dan legislator produk pemilu demokratis jauh panggang daripada api dalam mewujudkan kondisi negeri yang rahmatanlil’aalamiin. Alhasil pemilu dalam sistem politik demokrasi sungguh mubazir. Demokrasi Cacat dari Asasnya Mengapa pemilu dalam demokrasi justru menampilkan wajah yang sangat buruk? Sebab dari aspek teologis, demokrasi berasaskan sekulerisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan politik. Agama hanya boleh menghiasi politik selama agama tidak bertentangan dengan kehendak demokrasi.


Pemilu dalam Islam Oleh karena itu seharusnya fokus kritik terhadap pemilu dan pilkada ada pada sistem yang menaunginya. Pemilu sendiri dalam sistem Islam hanyalah cara alternatif untuk memilih kepala negara, bukan metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai’at syar’i. Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi…yang mudah untuk dikumpulkan.” Sebagai sebuah cara (uslub) tetap saja pemilu wajib tetap terikat dengan nas-nas syariat tanpa menyelisihinya. Pemilu akan dilaksanakan bila dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu. Dalam kondisi berbeda ada cara lain untuk memilih kepala negara (khalifah), seperti melalui ahlu halli wal aqdi. Fikih Islam cukup rinci mengatur pemilihan khalifah dan bisa dipelajari dari kitab-kitab muktabar para ulama. Calon khalifah harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariat. Kepala negara harus laki laki, muslim, berakal sehat, baligh, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas mengemban amanah sebagai khalifah (memahami bagaimana menerapkan syariat Islam dengan benar). Tugas dan wewenang khalifah juga dibatasi oleh syariat hanya untuk menerapkan hukum Allah (syariat Islam) secara kafah. Khalifah tidak punya wewenang membuat hukum sebab hak membuat hukum hanyalah milik Allah Swt (QS al An’am:57). 


Wajar, pemilu dalam sistem Islam tidak memerlukan biaya fantastis dan penyelenggaraannya cukup sederhana. Tidak perlu ada dana kampanye pasang baliho, dana relawan, obral janji ini dan itu. Sekolah gratis, kesehatan gratis, BBM murah, infrastruktur yang layak, harga sembako terjangkau, pembatasan impor, dan lainnya memang kewajiban khalifah siapapun orangnya. Mengkomersilkan kebutuhan publik kepada rakyat adalah haram. Singkat kata pemilu dalam Islam tidak membutuhkan kampanye yang berbusa-busa. Khalifah adalah pelayan umat.


Tidak ada tempat bagi khalifah untuk menumpuk kekayaan. Khalifah tidak akan digaji, hanya mendapatkan santunan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Khalifah telah dibaiat untuk memberikan seluruh hidupnya mengurusi urusan umat menerapkan syariat kaffah. Dia terhalang untuk berbisnis. Bila ingin berbisnis menjadi pengusaha solusinya bukan menjadi khalifah! Demikian juga majelis umat bukanlah legislator, pembuat undang-undang. Mereka dipilih sebagai representasi umat dalam syura dan masyura (memberikan kritik dan masukan) dalam koridor hukum syariat.


Dia akan tegas dalam mengambil setiap keputusan dan menjamin kebutuhan dasar rakyatnya, memberikan jaminan kepada seluruh rakyat baik kepada yang kaya maupun miskin. Bukan hanya ganti pemimpin, tetapi sistem pemerintahannya.


Yaitu, dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, yang akan memberikan solusi tuntas. Sedang yang terjadi saat ini hanya mengedepankan ego elit-elit politik demi melanggengkan kekuasaan semata. Ambisius berebut kekuasaan, namun tak paham dengan kewajiban sebagai pemimpin yang mengayomi rakyat yang telah memberikan amanah sebagai pemimpinnya.


“ Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, dan mencukupkan nikmatku bagi kalian dan meridhai islam sebagai agama kalian.” (TQS. Al-Maidah:3).


Wallahu a’ lam bishowwab

Post a Comment

Previous Post Next Post