Pemilu Dalam Demokrasi Hanyalah Alat Untuk Berbagai Kepentingan


Oleh : Eci 
Pendidik Palembang


Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengingatkan dana dari pihaknya asing atau luar negeri tidak boleh digunakan untuk kampanye oleh peserta pemilihan umum (pemilu).Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan partai politik dilarang menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.


Titi mengatakan partai politik yang melanggar ketentuan itu dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya, sebagaimana diatur Pasal 48 ayat (4) UU 2/2008.Kemudian, kata Titi, pada Pasal 339 ayat (1) huruf a UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa peserta pemilu, pelaksana kampanye, dan tim kampanye dilarang menerima sumbangan dana kampanye pemilu yang berasal dari pihak asing.( CNN Indonesia, Kamis 11/01/2024 )


Problem pemilu, mulai dari anggarannya yang fantastis hingga politik uang, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Problem utama pemilu bukan terletak pada proses pemilihannya, langsung atau tidak langsung. Karena pada kenyataannya, baik langsung ataupun tidak, pemilu lima tahunan ini tak pernah melahirkan penguasa yang amanah.


Rakyat Indonesia—khususnya kaum muslim—seharusnya belajar dan mengkajinya lebih dalam agar tak mengulang-ngulang sebuah aktivitas tanpa memahami arti penting dan substansinya. Persoalan mendasar yang seharusnya menjadi evaluasi bersama adalah apakah pemerintahan baru yang terbentuk nantinya akan berpihak pada rakyat? 


Apakah pemerintahan baru akan berpihak pada penerapan syariat Islam secara kaffah? Maka, kita akan mampu memprediksi bahwa pemerintahan baru yang terbentuk nanti tidak akan mengalami perubahan berarti. Kalaupun ada, perubahan hanya akan terjadi pada tataran cabang dan dangkal yang tidak menyentuh persoalan mendasar umat. Sebab, yang terjadi hanyalah pergantian penguasa. Padahal, akar permasalahannya terletak pada sistem yang menopang pemilu itu sendiri, yaitu demokrasi. 


Mustahil akan terlahir dari pemimpin pro umat dan mau menerapkan syariat dari rahim demokrasi. Dikatakan mustahil karena para kandidat tak bisa dilepaskan dari oligarki dan para pemilik modal. Kontestasi politik yang begitu mahal meniscayakan keterlibatan para pemilik cuan dan dukungan penuh oligarki. Terjadilah politik transaksional, yaitu jual beli jabatan dan jual beli kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka. 


Maka jangan heran, jika kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa. Sebagai contoh, UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba yang pro korporasi, diketok saat masyarakat menolak. Contoh lainnya, disahkannya revisi UU MD3 guna menambah pimpinan MPR dari 5 menjadi 10. Sungguh pekat tercium aroma kepentingan oligarki. Sehingga bisa dipastikan, pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tak akan pernah melayani umat, kecuali hanya sedikit yang itu pun hanya untuk politik pencitraan.


Apalagi pemimpin yang mau menerapkan syariat Islam secara kaffah, tak akan mungkin lahir dari pemilu demokrasi. Sebab, asas yang menopang demokrasi adalah sekularisme, agama tak boleh menjadi fondasi negara. Oleh karenanya, sistem sekuler demokrasi telah mutlak menolak syariat islam sebagai pedoman dalam membuat kebijakan. Agama hanya dijadikan alat untuk politik identitas demi meraup suara. Sungguh hina posisi agama dalam sistem politik sekuler demokrasi.


Dalam sistem Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota Majelis Umat, serta salah satu cara untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala negara (Khalifah). Fakta Majelis Umat dalam sistem Islam sangat berbeda dengan fakta parlemen yang ada dalam sistem pemerintahan demokrasi. Keanggotaannya, misalnya, Majelis Umat dalam sistem Islam terdiri dari muslim dan nonmuslim, laki-laki maupun perempuan. 


Akan tetapi, nonmuslim tidak diperkenankan memberikan aspirasi dalam hal pemerintahan maupun hukum. Mereka hanya berhak menyampaikan koreksi atau aspirasi yang berhubungan dengan penyelenggaraan dan penerapan hukum negara. Sedangkan dalam demokrasi, muslim dan nonmuslim diberi hak penuh untuk menyampaikan aspirasi dalam hal apa pun secara mutlak. Begitu pun tentang pengambilan pendapat


. Dalam Islam, tidak ada musyawarah dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum syarak dan pendapat-pendapat syariat. Sebab, perkara-perkara semacam ini telah ditetapkan berdasarkan nas-nas Al-Qur’an dan Sunah. Pengambilan pendapat dalam masalah hukum harus ditempuh dengan jalan ijtihad oleh mujtahid. Hanya mujtahid yang berhak mengambil hukum dengan merujuk pada dalil terkuat. Tidak ada musyawarah dalam perkara ini. 


Berbeda dengan demokrasi yang menyamakan semua kepala, menjadikan mufakat selalu lahir dari suara mayoritas yang kebanyakan dari mereka tidak paham agama. Inilah yang menyebabkan aturan yang lahir dari demokrasi disangsikan akan mampu sesuai syariat.


Adapun dalam hal perkara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, harus merujuk pada ahlinya dalam setiap pengambilan keputusan. Misalnya, apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri wabah, pendapatnya harus merujuk kepada ahli epidemologi. 


Sedangkan dalam demokrasi, sering kali pejabat publik yang tidak memiliki keahlian malah lebih didengar daripada pendapat ahli. Inilah yang menyebabkan kebijakan dalam demokrasi tidak menyelesaikan permasalahan umat dengan tuntas. Sedangkan perkara yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan, atau masalah teknis, pengambilan keputusan didasarkan pada suara mayoritas. Hanya pada perkara inilah musyawarah dilakukan. Berbeda dengan demokrasi yang melakukan musyawarah pada seluruh perkara.


Sungguh, biaya ratusan triliun rupiah untuk pemilu dan pilkada hanya akan terbuang percuma tanpa ada hasil nyata. Masuk ke kantong pejabat pemburu rente dan menzalimi APBN yang makin defisit. Karena sejatinya, pemilu dalam demokrasi hanya akan mengganti orangnya saja, sedangkan akar masalah tak terselesaikan. Benang kusut permasalahan kehidupan adalah sistem demokrasi itu sendiri. Mari kita tengok Pemilu 2019 yang penuh darah dan air mata. 


Kematian serentak lebih dari 700 anggota KPPS, hingga kini masih menjadi misteri yang tak pernah dibahas lagi. Pertarungan kubu “cebong” dan “kampret” di media sosial, nyatanya pun berakhir tragis tersebab para kandidat yang diusung kini malah asyik berkoalisi. Wahai kaum muslim, sungguh pengkhianatan pejabat pada para pendukungnya setelah mereka mendapatkan kursi, bukan terjadi kali ini saja. Jangan mau dibodohi lagi, sesungguhnya kalian hanya akan mengulangi kesalahan yang sama jika masih mempercayakan demokrasi sebagai jalan perubahan. Hanya dengan menerapkan sistem Islamlah—Khilafah Islamiah—perubahan besar dan mendasar akan terwujud, bi idznillah.

Post a Comment

Previous Post Next Post